Macro Insight

Dunia Geger Gara-gara Bos Fed Powell, BI Terancam Ganti Arah

mae, CNBC Indonesia
09 March 2023 09:00
Ilustrasi Jerome Powell (CNBC Indonesia/ Edward Ricardo)
Foto: ilustrasi Jerome Powell (Edward Ricardo/ CNBC Indonesia)
  • The Fed mengubah arah stance nya dari dovish ke hawkish
  • Kebijakan The Fed yang hawkish diperkirakan akan menekan rupiah
  • BI diperkirakan akan mengubah stance moneternya kembali menjadi hawkish setelah pernyataan Powell

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) kembali menegaskan sikapnya untuk tetap hawkish ke depan. Kebijakan The Fed ini bisa memaksa Bank Indonesia (BI) untuk berbalik arah, yakni dari dovish ke hawkish.

Chairman The Fed Jerome Powell di depan senat AS, Selasa (7/3/2023), menegaskan jika mereka tidak ragu untuk menaikkan suku bunga acuan lebih tinggi dengan periode yang lebih panjang.

Powell menilai kenaikan suku bunga saat ini belum mampu menekan inflasi ke target mereka di kisaran 2%. Data-data terbaru juga menunjukkan ekonomi AS masih berlari kencang.

Sebagai catatan, inflasi AS masih menembus 6,4% (year on year/yoy) pada Januari 2023. Data terbaru juga menunjukkan adanya tambahan tenaga kerja baru sebanyak 517.000 di non-farm payroll Januari lalu. Tambahan tenaga kerja jauh di atas ekspektasi pasar yakni 185.000.

Inflasi AS dan pasar tenaga kerja AS masih kencang meskipun The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 450 basis points (bps) menjadi 4,50 - 4,75% dalam setahun terakhir.

Pernyataan tegas Powell kemarin langsung membuat nilai tukar rupiah jeblok. Pada penutupan perdagangan hari ini, Rabu (8/3/2023), rupiah ditutup di posisi Rp 15.430/US$1. Rupiah anjlok 0,55%.

Penurunan hari ini memperpanjang tren pelemahan menjadi dua hari. Pada perdagangan Selasa (7/3/2023), rupiah juga anjlok 0,36% ke posisi Rp 15.345/US$1. Dalam dua hari terakhir, rupiah melemah 0,92%.

Nilai tukar rupiah dikhawatirkan terus melemah jika The Fed sangat agresif ke depan. Pasalnya, kenaikan suku bunga The Fed akan membuat dolar AS semakin menarik sehingga investor lebih memilih melepas rupiah dan beralih ke dolar AS.

Ekonom Bank Danamon Irman Faiz memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga jika tekanan terhadap rupiah semakin kencang. Menurutnya, BI masih memiliki ruang untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25-50 basis points (bps).

"Kita melihat ruang untuk BI (menaikkan suku bunga acuan 25-50) bps lagi. Jika dampak hawkishnya The Fed terhadap rupiah membawa rupiah ke atas Rp 15,500 untuk waktu yang cukup persisten, ada kemungkinan BI bisa hike lagi," tutur Irman, kepada CNBC Indonesia.

Seperti diketahui, BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 225 bps sejak Agustus 2022 menjadi 5,75% pada saat ini. BI memilih menahan suku bunga di level 5,75% pada Februari 2023 dan mengisyaratkan tidak akan ada kenaikan ke depan.

Irman menjelaskan suku bunga acuan BI saat ini di level 5,75% dengan menghitung The Fed hanya akan menaikkan suku bunga acuan hingga 5,25%.

Sementara itu, ekspektasi pasar kini sudah bergerak jauh. Setelah pernyataan Powell, pasar kini berekspektasi The Fed akan menaikkan suku bunga hingga 5,75-6,0%.

"Pak Perry (Warjiyo) menyatakan bahwa perkiraan terminal rate The Fed di 5,25% sekarang ada kemungkinan lebih tinggi. Berarti asumsi awal BI juga ada kemungkinan berubah dengan kondisi sekarang," imbuhnya.

Senada, kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro juga memperkirakan BI kemungkinan akan menaikkan suku bunga acuan hingga 50 bps lagi.

"Mungkin saja naikin suku bunga 25-50 bps kalau The Fed agresif," ujar Andry, kepada CNBC Indonesia.

Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro juga melihat ada kemungkinan besar BI untuk menaikkan suku bunga. Kenaikan suku bunga diperlukan untuk menjaga stabilitas rupiah, menjaga appetite investor, serta mengantisipasi naiknya kembali inflasi inti.

"Stance Fed telah berubah dan ini akan mempersempit yield spread antara aset berdenominasi dolar dan rupiah. Kami memperkirakan BI akan memberi sinyal kenaikan sebagai upaya pre-emptive unuk menjaga stabilitas rupiah," tutur Satria, kepada CNBC Indonesia.

Dia mengingatkan permintaan dolar AS akan meningkat pada periode Mei-Juni untuk pembayaran dividen. Kenaikan permintaan ini akan memberatkan perusahaan jika dolar AS terus menguat.

"Pelaku pasar kini berekspektasi Fed akan menaikkan suku bunga acuan hingga 5,75%. Langkah yang aman bagi BI adalah dengan menaikkan suku bunga acuan hingga 6,50% bps, dimulai dengan 25 bps bulan ini," imbuhnya.

 Namun, ekonom Bank Rakyat Indonesia Suryaputra Wijaksana melihat hal yang berbeda. Menurutnya, BI masih akan mempertahankan suku bunga acuan saat ini karena BI sudah ahead the curve.

"Kita prediksi masih stay karena tekanan ke rupiah masih minim dan sebelumnya (BI) sudah ahead of curve," ujar Surya, kepada CNBC Indonesia.

Sejak BI mengenalkan kebijakan moneter sebagai kerangka kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF)) pada 2005, Bi beberapa kali memberlakukan kebijakan yang sangar agresif yakni pada 2005,2008, 2013, dan 2018.

BI memberlakukan kebijakan moneter ketat pada 2013 dengan menaikkan suku bunga secara kumulatif 175 bps dalam rentang tujuh bulan. Suku bunga naik dari 5,75% pada Mei menjadi menjadi 7,50 % pada Desember 2013.

Kebijakan ketat kembali diberlakukan BI pada 2018. BI secara keseluruhan mengerek suku bunga acuan sebesar 175 bps dalam kurun waktu tujuh bulan, dari 4,25% pada April 2018 menjadi 6,0% pada November 2018.

Kebijakan ketat pada dua periode tersebut memiliki kesamaan yakni adanya tekanan besar dari sisi eksternal berupa kebijakan ketat suku bunga The Fed.

Pada 2013, kebijakan agresif ditempuh untuk menekan goncangan ketidakpastian global pada periode "taper tantrum" setelah The Fed mengetatkan kebijakan longgarnya (quantitative easing).

Pada 2018, kebijakan moneter ketat diambil sebagai langkah pre-emptive dan ahead the curve mengantisipasi kebijakan ketat suku bunga global.

Namun, ada perbedaan besar dari periode tersebut yakni laju inflasi. Pada 2018, inflasi terbilang rendah yakni di kisaran 3% dari 3,25% (yoy) pada Januari 2018 menjadi 3,13% (yoy) pada Desember 20018.

Sebaliknya, inflasi pada 2013 melonjak tajam karena ada kenaikan harga BBM subsidi pada Juni. Inflasi melonjak dari 4,57% pada Januari 2013 menjadi 8,38% pada Desember.

Kondisi berbeda terjadi pada 2018 di mana kenaikan suku bunga sangat dipengaruhi oleh kondisi eksternal tetapi tidak ada persoalan inflasi di dalam negeri.

Pada 2023, inflasi diperkirakan akan melandai dibandingkan pada 2022 yang tercatat 5,51%. Namun, tekanan besar dari eksternal berupa kenaikan suku bunga The Fed bisa memaksa BI kembali berputar arah yakni mengerek suku bunga kembali.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular