CNBC Indonesia Research

Dolar Rp 16.000 & Suku Bunga Tinggi: Awas Ancaman PHK - Utang Bengkak

Revo M, CNBC Indonesia
24 April 2024 13:28
Infografis, Selamat atau Jatuh ke Jurang Resesi? Ini Daftarnya
Foto: Infografis/ Resesi/ Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelemahan nilai tukar rupiah dan tingginya suku bunga berdampak besar terhadap sendi perekonomian masyarakat Indonesia. Rupiah yang melemah bisa mendongkrak barang kebutuhan sehari-hari sementara suku bunga tinggi bisa membuat masyarakat kesulitan memiliki rumah.

Saat ini, suku bunga Bank Indonesia (BI) berada di level 6%. Posisi ini telah ditahan oleh BI sejak November 2024 atau lima bulan beruntun. Suku bunga sekarang ini juga menjadi yang tertinggi sejak Juli 2016 atau enam tahun lebih.

Selain itu, rupiah juga terpantau anjlok terhadap dolar AS khususnya pasca Lebaran 2024. Setelah libur lebaran berlangsung, rupiah overshoot ke atas level Rp16.000/US$. Tepatnya pada 19 April 2024, rupiah ditutup di level Rp16.250/US$. Posisi ini merupakan yang terendah sejak April 2020 atau sekitar empat tahun terakhir.

Berikut ini hal-hal yang diakibatkan tingginya suku bunga BI serta pelemahan rupiah.

1. Harga Barang Impor Melonjak

Melemahnya rupiah sangat erat kaitannya dengan impor yang terganggu karena untuk mengimpor barang dari luar negeri, secara umum Indonesia perlu menggunakan dolar AS. Oleh karena itu dengan rupiah yang semakin terdepresiasi menembus level Rp16.000/US$, maka biaya untuk mengimpor barang akan semakin mahal. Hal ini berbeda jika rupiah masih berada di angka Rp15.500/US$.

Sebagai informasi, total impor Indonesia pada 2023 sebesar US$221,89 miliar. Sementara impor komoditi juga masih cukup tinggi.

Sepanjang 2023, impor komoditi tertinggi yaitu gandum dan meslin dengan total US$3,66 miliar dengan total 10,58 juta ton.

Indonesia tidak menghasilkan gandum dan harus menggantungkan 100% gandum dari negara lain. Padahal, masyarakat Indonesia sangat menggemari mie instan yang berbahan dasar gandum. Jika rupiah terus melemah maka harga mie instan bisa semakin mahal.

Selain itu harga tempe juga bisa terus menanjak jika rupiah terus melemah. Volume impor kedelai Indonesia sepanjang 2023 mencapai 2,27 juta ton atau senilai US$1,47 miliar. Negara pemasoknya adalah Amerika Serikat, Kanada, Argentina, Brazil, dan Malaysia.

Untuk diketahui, harga kedelai saat ini memang lebih rendah yakni dikisaran US$1.100an per bushel. Hal ini berbeda dengan akhir 2023 yang menembus level US$1.300 per bushel.

Namun jika harga kedelai mengalami kenaikan dan diikuti dengan pelemahan rupiah, maka nilai impor kedelai akan melonjak dan semakin membebani Indonesia.

Begitu pula dengan impor gula yang cukup tinggi dengan total 5,07 juta ton atau senilai US$2,88 miliar. Indonesia mengimpor gula mayoritas dari Thailand, Brasil, Australia, India, dan Vietnam.

Harga gula di pasaran dapat melambung tinggi selain akibat rupiah yang ambles, juga karena produksi dalam negeri yang cukup rendah.

Jika Indonesia tidak mengembangkan industri-industri gula berbasis tebu skala besar, yang mempunyai kapasitas giling diatas 10.000 ton tebu per hari, baik di Jawa maupun di luar jawa, maka impor gula akan terus terjadi.

2. Utang Perusahaan Membengkak

Bagi perusahaan yang sangat erat kaitannya dengan dolar AS baik dari pembelian barang untuk operasional bisnis maupun pembayaran utang, rupiah yang terdepresiasi akan memperburuk keuangan perusahaan.

Hal ini terjadi karena semakin melemahnya mata uang Garuda, maka perusahaan membutuhkan dana yang lebih besar untuk mengimpor barang dalam jumlah yang sama.

Kerugian perusahaan juga terjadi di tengah pelemahan rupiah dalam hal membayar utang khususnya yang berbasis dolar AS.

Jika kreditor luar negeri menagih utang ke perusahaan domestik dalam bentuk dolar AS, maka dibutuhkan biaya yang lebih besar agar pembayaran utang dapat berjalan dengan lancar.

3. Kenaikan Kredit Macet Perusahaan

Kredit macet atau yang dikenal juga Non-Performing Loan berpotensi akan meningkat di tengah era suku bunga yang tinggi.

Terkhusus bagi masyarakat yang meminjam uang/kredit ke perbankan dan akan memasuki era floating rate (suku bunga mengambang), maka suku bunga yang tinggi akan membebankan nasabah.

Jika nasabah masih memiliki dana atau ruang yang cukup untuk membayar utang kredit, maka rasio NPL perbankan (sebagai kreditur) tidak akan terganggu.

Namun berbeda ceritanya jika dana nasabah (debitur) terbatas, maka besar kemungkinan nasabah tidak mampu membayar utang hingga akhirnya kredit macet.

Ketika nasabah mengalami kredit macet, maka hal ini akan terhitung menjadi NPL dan angka NPL perbankan akan mengalami kenaikan.

Bila hal ini terjadi, maka perspektif investor terkhusus pihak asing kepada Indonesia dan perusahaan perbankan akan menjadi kurang baik.

4. Kredit Rumah dan Kendaraan Bermotor Makin Mahal

Masyarakat yang memiliki utang untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) maupun Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) akan semakin terbebani apalagi jika sudah memasuki floating rate.

Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan responden/masyarakat cukup banyak mengalokasikan dananya untuk KPR. Per Februari 2024, 11,5% dari total jawaban responden mengatakan pembiayaan untuk keperluan KPR. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan periode Januari 2024.

Begitu pula untuk KKB yang masih cukup tinggi yakni sebesar 22,6% dari total jawaban responden.

5. Biaya Sekolah di Luar Negeri Makin Mahal

Bagi orang tua yang menyekolahkan anaknya di luar negeri akan semakin terbebani dengan melemahnya nilai tukar rupiah.

Nilai tukar rupiah pada dasarnya bukan hanya melemah terhadap dolar AS, melainkan juga terhadap Euro dan Poundsterling.

Jika biasanya para orang tua memberikan anaknya Rp10 juta per bulan, namun ketika kondisi rupiah terdepresiasi, maka untuk mendapatkan sejumlah dolar yang sama, para orang tua perlu mentransfer lebih dari Rp10 juta.

6. Tingkat Pengangguran dan PHK Semakin Merajalela

Beban perusahaan yang meningkat di era suku bunga tinggi dan rupiah yang menurun akan membebankan perusahaan dalam menjalankan bisnisnya atau dengan kata lain, operational cost perusahaan akan mengalami peningkatan dari biasanya.

Ketika keuangan perusahaan terguncang, maka agar perusahaan tetap bertahan, salah satu caranya yakni dengan menekan pengeluaran yaitu dengan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Suku bunga tinggi juga bisa menghambat perusahaan untuk melakukan ekspansi bisnis karena ongkos pinjaman yang mahal.  Sementara itu, pelemahan nilai tukar akan membebani perusahaan yang mengimpor bahan mentah dalam jumlah besar seperti farmasi dan tekstil dan produk tekstil.

Sejumlah perusahaan tekstil bahkan terpaksa gulung tikar atau melakukan PHK secara besar-besaran. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Tanah Air setidaknya mencapai 1 juta orang.
Sebagai informasi, di awal tahun 2024, sebuah pabrik ban di Cikarang melakukan PHK hingga 1.500 orang.

Ini jadi berita buruk pertama yang berasal dari sektor manufaktur RI di tahun 2024. Setelah tahun 2023 lalu, setidaknya ada 7.200-an pekerja jadi korban PHK di 36 perusahaan, baik karena tutup total, tutup hengkang atau relokasi, maupun efisiensi biaya. Data itu baru mencakup perusahaan tempat anggota KSPN bekerja, belum menghitung pabrik lain non-anggota gabungan serikat pekerja tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation