
Dunia Geger Gara-gara Bos Fed Powell, BI Terancam Ganti Arah

Sejak BI mengenalkan kebijakan moneter sebagai kerangka kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF)) pada 2005, Bi beberapa kali memberlakukan kebijakan yang sangar agresif yakni pada 2005,2008, 2013, dan 2018.
BI memberlakukan kebijakan moneter ketat pada 2013 dengan menaikkan suku bunga secara kumulatif 175 bps dalam rentang tujuh bulan. Suku bunga naik dari 5,75% pada Mei menjadi menjadi 7,50 % pada Desember 2013.
Kebijakan ketat kembali diberlakukan BI pada 2018. BI secara keseluruhan mengerek suku bunga acuan sebesar 175 bps dalam kurun waktu tujuh bulan, dari 4,25% pada April 2018 menjadi 6,0% pada November 2018.
Kebijakan ketat pada dua periode tersebut memiliki kesamaan yakni adanya tekanan besar dari sisi eksternal berupa kebijakan ketat suku bunga The Fed.
Pada 2013, kebijakan agresif ditempuh untuk menekan goncangan ketidakpastian global pada periode "taper tantrum" setelah The Fed mengetatkan kebijakan longgarnya (quantitative easing).
Pada 2018, kebijakan moneter ketat diambil sebagai langkah pre-emptive dan ahead the curve mengantisipasi kebijakan ketat suku bunga global.
Namun, ada perbedaan besar dari periode tersebut yakni laju inflasi. Pada 2018, inflasi terbilang rendah yakni di kisaran 3% dari 3,25% (yoy) pada Januari 2018 menjadi 3,13% (yoy) pada Desember 20018.
Sebaliknya, inflasi pada 2013 melonjak tajam karena ada kenaikan harga BBM subsidi pada Juni. Inflasi melonjak dari 4,57% pada Januari 2013 menjadi 8,38% pada Desember.
Kondisi berbeda terjadi pada 2018 di mana kenaikan suku bunga sangat dipengaruhi oleh kondisi eksternal tetapi tidak ada persoalan inflasi di dalam negeri.
Pada 2023, inflasi diperkirakan akan melandai dibandingkan pada 2022 yang tercatat 5,51%. Namun, tekanan besar dari eksternal berupa kenaikan suku bunga The Fed bisa memaksa BI kembali berputar arah yakni mengerek suku bunga kembali.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mae/mae)
