Newsletter

Waspada! "Badai" dari Barat Hampir Tiba

ras, CNBC Indonesia
22 February 2023 06:43
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
  • IHSG masih dirundung sentimen negatif
  • Sinyal ekonomi AS kuat, pasar waspada diguncang kebijakan The Fed. Wall Street langsung ambruk 2% pada perdagangan Selasa waktu setempat.
  • Ekonomi Indonesia diprakirakan tumbuh hingga 5,7%

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia masih akan diselimuti oleh awan mendung dari Barat, khususnya oleh The Fed. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan perdagangan Selasa (21/2/23) berakhir di 6.873,40 atau merosot 0,31% secara harian.

Hingga akhir sesi II, sebanyak 294 saham turun, 210 saham mengalami kenaikan dan 221 lainnya mendatar. Perdagangan menunjukkan nilai transaksi sekitar Rp 7,86 triliun dengan melibatkan 16,95 miliar saham. Transaksi hari ini cenderung sepi dibandingkan dengan perdagangan sebelumnya.

Tumbangnya IHSG juga tak lepas dari melemahnya saham-saham dengan kapitalisasi raksasa. Saham bank menjadi yang paling memebebani IHSG dengan Bank Rakyat Indonesia menjadi laggard utama disusul bank Central Asia, Bank Mandiri dan Bank Mega.

Kinerja IHSG bergerak senada dengan mayoritas bursa utama Asia juga membukukan kinerja negatif karena investor cenderung khawatir bahwa bursa saham Amerika Serikat (AS) diprediksi bakal koreksi parah pada Maret mendatang.

Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup melemah 0,21% ke posisi 27.473,1, Hang Seng Hong Kong ambruk 1,71% ke 20.529,49, ASX 200 Australia terkoreksi 0,21% ke 7.336,3, dan Straits Times Singapura turun tipis 0,06% ke 3.306,86.

Sedangkan nilai tukar rupiah kembali tak berdaya di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) setelah pada perdagangan sebelumnya mampu menguat. Melansir data Refinitiv, rupiah melemah 0,2% ke Rp 15.185/US$.

Indeks utama Wall Street anjlok hingga 2% karena sentimen suku bunga yang lebih tinggi menekan sentimen pasar.

Dow Jones ditutup turun 2,06% ke 33.129,59. Sementara indeks S&P500 turun 2% ditutup menjadi 3.997,34 dan indeks NASDAQ Composite turun 2,5% ke 11.492,3.

Imbal hasil Treasury 10 tahun naik menjadi 3,9%, sedangkan tingkat 2 tahun naik menjadi 4,69%. Imbal hasil yang naik karena para pedagang bergulat dengan data inflasi yang lebih panas dari perkiraan.

"Saya pikir itu adalah pasar ekuitas yang akhirnya menangkap apa yang dikatakan pasar Treasury selama beberapa minggu," kata kepala strategi pasar B. Riley Wealth Art Hogan.

"Kami memiliki serangkaian data ekonomi yang lebih baik dari perkiraan. Dengan setiap titik data baru, kami melihat peningkatan imbal hasil di pasar Treasury."

Hogan menambahkan bahwa alih-alih satu katalis utama untuk penurunan pasar, efek kumulatif dari data dan pesan Fed menyebabkan investor memperhatikan.

"Sekarang, saya pikir pasar ekuitas mengejar fakta bahwa pembicara Fed serius, dan data ini mungkin berarti suku bunga yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama ... Ini hanya mengejar ketinggalan," lanjutnya.

Para pelaku pasar khawatir inflasi yang "membandel" akan menyebabkan bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) mempertahankan suku bunga lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama, yang dapat menyebabkan ekonomi resesi.

"Sementara kami percaya bahwa Q1 pada awalnya dapat tetap kuat, konfirmasi mendasar untuk reli berikutnya mungkin akan kurang," tulis analis JPMorgan Mislav Matejka pada catatan Selasa.

Matejka menambahkan, "Kami tidak melihat resesi saat ini, dan yakin reli akan memudar saat kami melewati Q1."

Para pelaku pasar saat ini fokus pada The Fed pada hari Rabu dijadwalkan untuk merilis risalah dari pertemuan 31 Januari dan 1 Februari. Bank sentral menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin setelah pertemuan itu.

 

Sentimen dari dalam negeri ada kabar baik dari prakiraan ekonomi Indonesia yang masih bertumbuh di tengah guncangan ekonomi dunia 2023.

Pemerintah telah mendesain Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) pada 2024. Salah satunya target pertumbuhan ekonomi yang dipatok 5,3%-5,7% secara tahunan atau year on year (yoy).

Dengan target itu, pemerintah memastikan akan menjaga ketahanan ekonomi dari tekanan global. Sederet regulasi sudah siap untuk memenuhi kebutuhan tersebut, antara lain Undang-undang Cipta Kerja, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), hingga UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK).

Agenda lain yang perlu diperhatikan investor adalah konferensi pers APBN KiTA. Dalam konferensi pers tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani akan membeberkan realisasi anggaran hingga Januari 2023.

Dalam setiap konferensi pers APBN KiTA, pemerintah biasanya juga akan memaparkan perkembangan kebijakan baru.

Perlu disimak apakah Sri Mulyani akan menjelaskan mengenai pajak mobil listrik, tarif BPJS, kebijakan BBM, insentif di dunia usaha, atau kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE).

Di sisi lain, tanda-tanda ekonomi AS makin solid tergambar pada pembacaan awal aktivitas manufaktur Februari yang menguat ke level 47,8. Posisi ini lebih tinggi dari bulan sebelumnya yakni 46,9 dan lebih tinggi dari ekspektasi 47,1.

Data PMI ini semakin melengkapi rilis data sebelumnya yang mengindikasikan bahwa ekonomi Paman Sam masih kuat. Dampaknya adalah kebijakan suku bunga The Fed.

Sebelumnya, AS dilaporkan mampu menyerap 517.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian, jauh lebih tinggi dari sebelumnya yakni 260.000 orang. Tingkat pengangguran pun turun menjadi 3,4% dan merupakan angka terendah sejak Mei 2969.

Kemudian, rata-rata upah per jam masih tumbuh 4,4% year-on-year, lebih tinggi dari prediksi 4,3%.

Masalahnya data-data yang positif ini membuat para pelaku pasar tidak tenang. Pasalnya ekonomi yang solid dipandang menjadi momentum bagus untuk terus menaikkan suku bunga dalam upaya menurunkan angka inflasi.

Goldman Sachs dan Bank of America memperkirakan masih akan ada tiga kenaikan suku bunga lagi masing-masing naik 25 basis poin (bp).

Selaras dengan Sachs, pasar kini melihat The Fed akan menaikkan suku bunga tiga kali lagi pada Maret, Mei dan Juni masing-masing sebesar 25 basis poin hingga menjadi 5,25% - 5,5%. Ini artinya pasar melihat suku bunga bisa lebih tinggi dari proyeksi yang diberikan The Fed 5% - 5,25%.

Investor menantikan pembacaan risalah pertemuan The Fed pada Kamis (23/2/2023) untuk melengkapi puzzle teka-teki sikap The Fed dalam kebijakan suku bunganya,].

Berikut sejumlah agenda dan rilis ekonomi yang terjadwal untuk hari ini:

  • Inflasi Jerman (Pk13.30 WIB)

Agenda Event:

  •  Menteri Luar Negeri (Menlu) China Qin Gang akan menggelar Join Press-Statement Menlu RI Retno Marsudi (09:00 WIB)
  • Peluncuran Perdagangan Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik di Indonesia (09:00 WIB)
  • Menteri Keuangan akan menggelar konferensi pers APBN KiTa untuk realisasi anggaran Januari 2023 (09:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional.

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q4-2022 YoY)

5,01%

Inflasi (Januari 2023 YoY)

5,28%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2023)

5,75%

Defisit Anggaran (APBN Desember 2022)

-2,38% PDB

Surplus Transaksi Berjalan (2022)

1,0% PDB

Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q4-2022 YoY)

US$ 4,7 miliar

Cadangan Devisa (Januari 202)

US$ 139,4 miliar

CNBC INDONESIA RESEARCH

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular