Newsletter

Duh! Microsoft PHK 10 Ribu Karyawan, BI Mau Tahan Suku Bunga?

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
19 January 2023 05:54
BI Pertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate 5,25%
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Hari ini, pelaku pasar masih mencermati sejumlah isu penting yang menjadi sentimen pasar utama sebagai harapan bahwa pasar keuangan bisa bangkit kembali dan mencatatkan kinerja positif.

Wall Street yang ditutup melemah pada perdagangan semalam tentunya membuka peluang penurunan IHSG pada hari ini. Tiga indeks utama Wall Street gagal mempertahankan posisinya seperti saat pembukaan perdagangan karena kekecewaan terhadap rilis data penjualan ritel yang mengecewakan. 

Dow Jones Industrial Average turun 613,89 poin atau 1,81% menjadi 33.296,96, sementara S&P 500 ambles 1,56% menjadi 3.928,86, sekaligus level terendah sejak 15 Desember, dan Nasdaq Composite jatuh 1,24% berakhir di posisi 10.957,01, menghentikan kenaikan 7 hari beruntun.

Penguatan memang sempat terjadi di awal perdagangan setelah pembacaan terbaru pada indeks harga produsen (IHP), yang mengukur biaya input dari perusahaan dan dapat menjadi indikator utama inflasi di masa depan.

IHP menunjukkan penurunan 0,5% untuk bulan Desember. Angka ini lebih tinggi dari perkiraan disurvei oleh Dow Jones memperkirakan penurunan 0,1%. Data ini akhirnya bisa memberikan angin segar bagi para pelaku pasar yang berharap inflasi turun dan Federal Reserve memperlambat atau menghentikan kenaikan suku bunga.

Namun, penguatan Wall Street tak bisa dipertahankan setelah rilis data penjualan ritel AS yang mengecewakan di mana menunjukkan penurunan sebesar 1,1% di bulan Desember, angka ini sedikit lebih tinggi dari perkiraan ekonomi yakni sebesar 1%.

Di sisi lain, kabar tak menyenangkan juga datang dari Microsoft yang mengumumkan rencana untuk memberhentikan sekitar 10.000 karyawan, ini menjadi kabar buruk bagi pelaku pasar. Sahamnya pun jatuh, berkontribusi pada penurunan Dow Jones pada perdagangan hari ini.

Kebijakan BI Jadi Kunci Gerak Pasar Keuangan

Saat ini, para pelaku pasar tengah fokus memasang mode 'wait and see' kebijakan suku bunga Bank Indonesia (BI). BI sudah memulai Rapat Dewan Gubernur (RDG) kemarin, dan hasilnya akan diumumkan hari ini.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia mayoritas memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan. Namun yang menarik beberapa memperkirakan bank sentral akan menahan suku bunga acuan.

Dari 13 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus, 10 lembaga/institusi memperkirakan bank sentral akan mengerek mengerek BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 menjadi 5,75%.

Sebanyak tiga institusi/lembaga memproyeksi BI akan menahan suku bunga di level 5,50%.

Hal ini membuat pelaku pasar menaruh perhatian penuh, sebab jika suku bunga ditahan, tentunya ada risiko rupiah kembali tertekan.

Sebagai catatan, BI sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 200 basis poin pada periode Agustus-Desember 2022 menjadi 5,50%.Suku bunga Deposit Facility sebesar 4,75%, dan suku bunga Lending Facility ada di 6,25%.

BI bahkan secara agresif menaikkan suku bunga sebesar 50 bps selama tiga bulan pada September, Oktober, dan November 2022. Kenaikan suku bunga sebesar 200 bps adalah yang paling agresif sejak 2005.

Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mempekirakan BI akan mempertahankan suku bunga acuannya pada level 5,50% pada bulan ini sejalan dengan melandainya inflasi umum dan inti.

Sebagai catatan, inflasi umum tercatat 5,51% (year-on-year/yoy) pada Desember 2022 sementara inflasi inti 3,36% (yoy).

"Selain terkendalinya inflasi, kinerja dolar Amerika Serikat (AS) terhadap mata uang utama, cenderung terkoreksi sehingga mendorong penguatan rupiah," tutur Josua, kepada CNBC Indonesia.

Di lain sisi, bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) juga diperkirakan akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya pasca rilis data inflasi yang menunjukkan penurunan.

Pasar kini melihat The Fed akan menaikkan suku bunga masing-masing 25 basis poin pada Februari dan Maret menjadi 4,75% - 5%. Proyeksi tersebut lebih rendah dari sebelumnya di mana pasar melihat puncak suku bunga The Fed di 5% - 5,25%.

Jika selisih suku bunga yang dipertahankan sebesar 125 bp, maka capital inflow bisa semakin membanjiri pasar obligasi Tanah Air.

Sentimen Luar Negeri

Sementara sentimen mancanegara yang mampu menggerakkan pasar hari ini tentunya dari Amerika Serikat (AS). Hari ini bakal ada beberapa pidato dari pejabat The Fed terkait kebijakan suku bunganya. Pelaku pasar pun semakin yakin bank sentral AS (The Fed) akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya.

Seperti diketahui, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan inflasi AS melandai ke 6,5% (year on year/yoy) pada Desember 2022 dari 7,1% (yoy) pada November 2022. Inflasi tersebut adalah yang terendah sejak Oktober 2021.

Secara bulanan (month to month/mtm), AS bahkan mencatatkan deflasi 0,1% pada Desember. Deflasi ini adalah yang pertama kalinya terjadi sejak Mei 2020.

Melandainya inflasi ini tentu saja menjadi kabar positif bagi pelaku pasar saham. Dengan inflasi yang terus melandai, bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) diharapkan makin melonggarkan kebijakan moneter mereka.

Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga masing-masing 25 basis poin pada Februari dan Maret dengan probabilitas sebesar 94% dan 76%. Dengan proyeksi tersebut, puncak suku bunga The Fed berada di 4,75% - 5%.

Selain itu, kalender ekonomi AS juga akan menampilkan data investasi obligasi, rilis data aliran modal bersih, Klaim Pengangguran Rata-rata 4 minggu, dan berbagai rilis data terkait perminyakan dari EIA seperti Perubahan Stok Gas Alam, minyak mentah, serta bensin EIA.

Selain AS, pelaku pasar juga patut mencermati rilis data dari Jepang diantaranya negara dagang Jepang serta ekspor impor negaranya. Terakhir, tak kalah penting pula menyimak data penting dari Australia.

Akan ada rilis data tingkat pengangguran dan tenaga kerja serta ekspektasi inflasi. Untuk diketahui, menurut Melbourne Institute ekspektasi inflasi konsumen di Australia turun menjadi 5,2% pada Desember 2022 dari 6% pada November, mencapai level terendah sejak Mei dan menandakan bahwa konsumen memperhitungkan pengetatan kebijakan moneter yang sedang berlangsung.

(aum/aum)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular