Newsletter

Hari Ini, Bukti China Alami Masa "Tergelap" Sejak 1976!

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
17 January 2023 05:57
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Hari ini, pelaku pasar masih mencermati sejumlah isu penting yang menjadi sentimen pasar utama hari ini sebagai harapan bahwa pasar keuangan terus bisa melanjutkan kinerja positifnya di tengah bayang-bayang tekanan ekonomi global hingga isu resesi tahun ini.

Dari dalam negeri, sentimen dari neraca dagang menjadi angin segar bagi pasar keuangan. Seperti yang diketahui, Indonesia berhasil mencetak surplus neraca perdagangan terbesar sepanjang sejarah. Badan Pusat Statistik (BPS) surplus US$ 54,46 miliar di sepanjang 2022.

Surplus ini disumbang oleh ekspor yang mencapai US$ 291,98 miliar atau naik 26,07% (year on year) dibanding periode yang sama tahun 2021. Sementara itu, impor Indonesia sepanjang 2022 mencapai US$ 237,52 miliar, naik sebesar 21,07% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Kepala BPS Margo Yuwono mengungkapkan surplus ditopang oleh kinerja ekspor yang tumbuh 53,76% secara tahunan.

"Ekspor tumbuh impresif yang tumbuh 53,76%, ini kinerjannya berkelanjutan," katanya dalam konferensi pers, Senin (16/1/2023).

Jelas, kinerja yang ciamik ini diperoleh di tengah pelemahan ekspor global. Komoditas yang menopang surplus ini adalah bahan bakar mineral alias batu bara. Dengan sentimen positif ini pasar keuangan bisa melanjutkan penguatannya dengan catatan tak ada kabar buruk yang datang dari China, Inggris, dan Eropa.

Kabar Penting Asia-Pasifik

Di sisi lain, para pelaku pasar pelaku pasar di Asia-Pasifik bakal memantau rilis data penting di kawasan tersebut, seperti data produksi industrial China, pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) China periode kuartal IV sekaligus satu tahun penuh 2022, dan kebijakan moneter terbaru bank sentral Jepang (Bank of Japan/BOJ).

Pelaku pasar di Asia-Pasifik bakal memantau rilis data tersebut secara cermat, terutama data pertumbuhan ekonomi China yang diprediksi akan tumbuh seiring dibukanya pembatasan terkait Covid-19 dan penghapusan kebijakan nol-Covid.

Siapa yang tidak kenal China, negara yang produk dagangannya ada di mana-mana. Negara dengan 1,4 miliar penduduk ini muncul sebagai kekuatan ekonomi baru mulai tahun 2000-an, tetapi kini memasuki era tergelap dalam beberapa dekade terakhir.

Sebelumnya, Ekonomi China tumbuh 3,9% secara tahunan di Q3-2022. Meski terbilang rendah, angka ini melampaui ekspektasi para ekonom yang hanya memproyeksikan pertumbuhan 3,4%.

Survei Reuters terhadap 40 ekonom menunjukkan pada 2022 perekonomian China diperkirakan hanya tumbuh 3,2%, Angka tersebut jauh di bawah target pemerintah 5,5%.

Jika tidak memperhitungkan tahun 2020, ketika dunia dilanda pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), maka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tersebut menjadi yang terendah sejak 1976.

Pertumbuhan ekonomi China memang patut diperhatikan. Maklum saja, China bukan hanya pasar ekspor terbesar Indonesia, tetapi juga sebaliknya. Impor dari negara pimpinan Presiden Xi Jinping ini tercatat nyaris 34% dari total impor Indonesia, paling besar dibandingkan negara lainnya. China menjadi mitra strategis Indonesia.

Jika PDB China tak sesuai ekspektasi, maka maka pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya tentunya menghadapi tantangan berat.

Selain PDB, China akan mengumumkan data penting lainnya diantaranya tingkat pengangguran, data penjualan retail, rilis data produksi industri.

Dari Inggris juga akan mengumumkan tingkat pengangguran. Sebagai informasi, Tingkat pengangguran di Inggris naik tipis menjadi 3,7% dalam tiga bulan hingga Oktober 2022 dari 3,6% pada periode sebelumnya, sesuai dengan perkiraan pasar. Tingkat ketenagakerjaan juga naik menjadi 75,6% dari 75,4%, dengan gaji karyawan naik 107 ribu ke rekor 29,9 juta.

Waspada! IMF Peringatkan Asia Bisa Menderita

Di sisi lain, pelaku pasar tengah khawatir akan laporan terbaru yang dirilis Dana Moneter Internasional (IMF) yang kembali memberi peringatan terkait risiko fragmentasi dalam ekonomi global.

Dalam catatan terbarunya yang dirilis Senin (16/1/2023), Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan disintegrasi perdagangan dan perubahan teknologi telah merugikan beberapa komunitas.

Dukungan publik terhadap keterbukaan ekonomi telah menurun di beberapa negara dan sejak krisis keuangan global, arus barang dan modal lintas batas telah mendatar.

Hal tersebut diperparah oleh ketegangan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia, China dan Amerika Serikat (AS) yang meningkatkan risiko pembatasan perdagangan baru.

"Sementara itu, invasi Rusia ke Ukraina tidak hanya menyebabkan penderitaan manusia, tetapi juga gangguan besar aliran keuangan, makanan, dan energi di seluruh dunia," tulisnya.

Adapun perkiraan dampak fragmentasi tersebut sangat bervariasi. Namun, lanjut Georgieva, biaya jangka panjang dari fragmentasi perdagangan saja dapat berkisar dari 0,2% dari PDB global dalam skenario fragmentasi terbatas hingga hampir 7% dalam skenario yang parah atau kira-kira setara dengan gabungan PDB tahunan Jerman dan Jepang.

"Jika pemisahan teknologi ditambahkan dalam perhitungan, beberapa negara dapat mengalami kerugian hingga 12% dari PDB," katanya.

Namun, menurut analisis IMF yang baru, dampak penuh kemungkinan akan lebih besar lagi, tergantung pada berapa banyak saluran fragmentasi yang diperhitungkan.

Dia mengatakan selain pembatasan perdagangan dan hambatan penyebaran teknologi, fragmentasi dapat dirasakan melalui pembatasan lintas sektor yang memicu berkurangnya aliran modal dan penurunan tajam dalam kerja sama internasional.

Adapun, negara berkembang dikhawatirkan tidak akan lagi mendapat manfaat dari limpahan teknologi yang telah mendorong pertumbuhan produktivitas dan standar hidup. Alih-alih mengejar tingkat pendapatan ekonomi maju, negara berkembang akan makin tertinggal.

(aum/aum)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular