Gambaran Seram Ekonomi 2023, Dunia Gelap, RI Waspada!

Badan Perdagangan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau UNCTAD memperkirakan nilai perdagangan global pada tahun ini akan menyentuh US$ 32 triliun pada 2022.
Nilai perdagangan barang naik 10% menjadi US$ 25 triliun sementara perdagangan jasa meningkat 15% menjadi US$ 7 triliun pada 2022.
Namun, UNCTAD mengingatkan perdagangan akan melandai pada tahun depan. Kondisi ini sudah tercermin dari semakin menurunnya nilai perdagangan pada kuartal IV-2022.
Melandainya perdagangan akan berimbas pada kinerja ekspor Indonesia. Padahal, ekspor menjadi salah satu tulang punggung pertumbuhan pada 2021-2022.
Ancaman resesi juga diperkirakan membuat harga komoditas andalan Indonesia melandai, termasuk batu bara, minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO), dan nikel.
Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) memperkirakan konsumsi batu bara masih akan tinggi. Namun, memadainya pasokan dan resesi akan membuat harga pasir hitam melandai.
Bank Dunia memproyeksi harga batu bara akan melandai pada 2023. Harga batu bara Australia akan berada di kisaran US$ 240 per ton pada 2023, dari tahun ini yang tercatat US$ 320 per ton.
Sementara itu, Fitch Ratings memperkirakan harga CPO aka nada di kisaran US$ 850 per ton pada 2023, jauh lebih rendah dibandingkan pada 2022 yang menembus US$ 1.175/ton.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor bahan bakar mineral (didominasi batu bara) serta lemak dan minyak hewani/nabati (didominasi CPO) menembus US$ 83,5 miliar pada Januari-November 2022. Nilai tersebut setara dengan 33% dari total ekspor Indonesia.
Bank Dunia menyebut rasio perdagangan Indonesia kepada nilai PDB memang masih kecil yakni sekitar 40% dari PDB. Rasio tersebut jauh lebih kecil dibandingkan Malaysia (130,6% dari PDB) dan Vietnam (186,5% dari PDB).
Dengan rasio yang lebih kecil maka ekonomi Indonesia relatif tahan banting jika perdagangan global melandai. Pasalnya, dampak perlambatan perdagangan global tidak akan sekencang negara-negara lain.
Namun, melandainya nilai ekspor tetap akan berdampak kepada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ekspor tidak hanya menyumbang penerimaan negara tetapi juga menggerakkan ekonomi daerah.
Bila ekspor melemah maka pendapatan masyarakat di wilayah yang mengandalkan komoditas akan melandai. Dengan pendapatan melemah maka daya beli menurun sehingga gerak ekonomi juga akan anjlok.
Ekspor yang lebih rendah juga akan berdampak negatif kepada transaksi berjalan serta rupiah. Jika ekspor melemah maka transaksi berjalan bisa kembali ke arah defisit dan hal tersebut bisa semakin menekan rupiah.
Dengan segala tantangan besar pada tahun 2023, pemerintah memang mesti meningkatkan kewaspadaan dan tidak boleh salah mengambil kebijakan. Jika terpeleset, bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang menjadi korban tetapi juga kesejahteraan masyarakat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
