Gambaran Seram Ekonomi 2023, Dunia Gelap, RI Waspada!

Sesuai aturan, defisit APBN 2023 akan kembali ke bawah 3% dari PDB pada tahun depan.
Seperti diketahui, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1/2020, pemerintah diizinkan untuk menetapkan defisit di atas 3% dari PDB pada 2020-2022.
Pemerintah sendiri sudah menetapkan batas defisit pada 2023 di angka 2,84% dari PDB. Pendapatan negara ditargetkan sebesar Rp 2.463 triliun sementara belanja negara sebesar Rp 3.061,1 triliun. Defisit diharapkan bisa ditutup dari pembiayaan sebesar Rp 696,3 triliun.
Batas defisit 3% dari PDB akan kembali diberlakukan berbarengan dengan proyeksi melandainya harga komoditas serta berakhirnya program burden sharing dengan BI.
Artinya, ada ancaman jika defisit melebar karena pendapatan negara tidak akan setinggi tahun lalu. Di sisi lain, pemerintah tidak bisa mengandalkan BI lagi untuk menjadi pembeli utama obligasi. Pemerintah pun mesti berhitung dengan cermat mengenai prioritas pengeluaran mereka.
Di tengah ketidakpastian global, pemerintah juga mesti berhitung secara seksama dalam mengambil pembiayaan karena ada risiko meningkatnya cost of borrowing.
Dengan defisit yang lebih rendah dan menipisnya wind fall dari komoditas, pemerintah tidak bisa berleha-leha lagi menggenjot pertumbuhan melalui APBN.
Sebagai catatan, pemerintah mendapatkan wind fall dari harga komoditas berupa tambahan penerimaan sebesar Rp 420 triliun pada tahun ini.
Dengan penerimaan sebesar itu, pemerintah bisa menahan kenaikan harga BBM hingga Agustus 2022 serta menyalurkan berbagai bansos.
Konsumsi rumah tangga dan pertumbuhan ekonomi pun bisa terjaga di kisaran 5% pada tahun ini. Namun, kondisi serupa sulit terulang pada tahun depan mengingat terbatasnya ruang defisit serta menurunnya wind fall.
Dengan perlambatan ekonomi global dan terbatasnya ruang fiskal, sejumlah lembaga memperkirakan ekonomi Indonesia tidak akan mencapai 5%.
(mae/mae)