
IHSG Harap-harap Cemas Nantikan Keputusan Suku Bunga BI

Investor dan pelaku pasar patut menyimak sejumlah isu penting yang dapat menjadi sentimen pasar utama perdagangan hari ini, khususnya pengumuman kebijakan moneter terbaru dari Bank Indonesia (BI).
Bank Indonesia (BI) yang telah melakukan Rapat Dewan Gubernur (RDG) sejak Rabu (16/11) kemarin, dijadwalkan akan mengumumkan siklus baru kenaikan suku bunga hari ini pada pukul 14.00 WIB.
Konsensus analis dan ekonom memproyeksikan BI akan melanjutkan kebijakan agresifnya bulan ini. BI diramal kembali mengerek BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis points (bps), berdasarkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia.
Dari 14 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut, delapan memperkirakan kenaikan 50 basis points (bps) menjadi 5,25%, dengan enam lainnya memprediksi kenaikan 25 bps menjadi 5,00%.
Keputusan ini merupakan siklus keempat beruntun, sebelumnya BI sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 125 bps hanya dalam waktu tiga bulan, masing-masing sebesar 25 bps pada Agustus, 50 bps pada September, dan 50 bps pada Oktober.
Sementara itu pada Oktober 2022 atau sebelum pengumuman terbaru BI siang ini, posisi suku bunga acuan BI berada di 4,75% sementara suku bunga Deposit Facility sebesar 4,00%, dan suku bunga Lending Facility ada di 5,50%.
Kenaikan suku bunga hari ini dapat menjadi suntikan tenaga baru bagi rupiah yang dalam tiga hari terus K.O. terus melawan dolar AS. Pelemahan ini terjadi meskipun RI kembali melaporkan surplus neraca perdagangan pada Oktober 2022 dan memperpanjang rekor menjadi 30 bulan.
Hal ini mengindikasikan bahwa perlu tindakan yang lebih agresif dan fundamental sehingga stabilitas rupiah dapat terjaga. Apalagi, ancaman capital outflow masih mengintai karena tren kenaikan suku bunga acuan global.
Data BI menunjukkan pada periode 1 Januari-10 November 20222, investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp 172,11 triliun pada pasar Surat Berharga Negara (SBN) tetapi membukukan net buy sebesar Rp 78,39 triliun di pasar saham.
Secara historis, BI memang kerap agresif saat pasar keuangan Indonesia terutama rupiah dalam tekanan besar akibat goncangan global.
Pada 2013, BI mengerek suku bunga sebesar 175 bps dalam kurun waktu enam bulan dari 5,75% pada Mei 2013 menjadi 7,50% pada November untuk menekan goncangan ketidakpastian global pada periode "taper tantrum" setelah The Fed menghentikan kebijakan quantitative easing.
Kebijakan ketat juga kembali diberlakukan BI pada 2018 sebagai langkah pre-emptive dan ahead the curve mengantisipasi kebijakan The Fed. Secara total BI mengerek suku bunga acuan sebesar 175 bps pada 2018. Sedangkan The Fed menaikkan 100 bps suku bunga acuannya.
Tahun ini karena inflasi yang meroket di AS, The Fed telah enam kali mengerek suku bunga dengan total kenaikan 375 bps (3,75%). Bulan depan bank sentral AS tersebut diproyeksi kembali menaikkan 50 bps sehingga Federal Funds Rate berada di rentang 4,35% - 4,50%. Artinya jika benar hari ini BI menaikkan 50 bps suku bunga menjadi 5,25% maka spread keduanya diproyeksikan akan semakin menyempit bulan depan.
Meski demikian strategi hati-hati BI juga memiliki sejumlah alasan kuat, termasuk yang paling utama adalah inflasi yang tampaknya sudah mulai melandai. Langkah preemptive dan forward looking BI pada siklus kenaikan sebelumnya tampaknya mampu membatasi dampak kenaikan BBM terhadap lonjakan harga barang dan jasa yang pada akhirnya inflasi tidak naik setinggi perkiraan awal.
Akan tetapi jika rupiah kembali ditindas dolar AS dengan laju yang sama seperti yang terjadi pekan ini, BI tampaknya perlu menyusun rencana baru dan mulai mengencangkan ikat pinggangnya.
Sentimen selanjutnya datang dari pasar modal AS yang mana tiga indeks utama Wall Street ditutup melemah pada perdagangan Rabu (16/11) setelah data penjualan ritel yang lebih kuat dari perkiraan membuat investor Kembali khawatir terhadap jalur kenaikan suku bunga yang akan diambil The Fed pada pertemuan selanjutnya.
Selanjutnya, investor juga perlu mencerna pengungkapan yang dilakukan oleh emiten, mulai dari laporan kinerja keuangan hingga aksi korporasi.
Kemarin, Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebut, sampai dengan tanggal 11 November 2022 terdapat 42 Perusahaan Tercatat yang berada pada pipeline right issue. Perkiraan total dana yang akan diperoleh melalui aksi korporasi ini sebesar Rp 39,4 triliun.
(fsd/fsd)