Newsletter

IHSG Harap-harap Cemas Nantikan Keputusan Suku Bunga BI

Feri Sandria, CNBC Indonesia
17 November 2022 06:15
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo Mengumumkan Hasil RDG Bulanan Bulan Oktober 2022 dengan Cakupan Triwulanan. (Tangkapan Layar Youtube)
Foto: Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo Mengumumkan Hasil RDG Bulanan Bulan Oktober 2022 dengan Cakupan Triwulanan. (Tangkapan Layar Youtube)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air ditutup tertekan pada perdagangan Rabu (16/11) kemarin. Hari terakhir perhelatan KTT G20 nyatanya tidak mampu membawa kabar gembira dengan Harga Saham Gabungan (IHSG) terdepresiasi, rupiah kembali diperdagangkan lebih rendah, serta mayoritas Surat Berharga Negara (SBN) dilepas oleh investor.

Indeks bursa saham acuan Tanah Air, IHSG melemah 0,30% pada penutupan perdagangan kemarin namun masih mampu bertahan di level 7.000, tepatnya berakhir di posisi 7.014,384. IHSG secara eksklusif bergerak di zona merah dan sempat terkoreksi 1% pada satu waktu selama perdagangan intraday.

Penguatan IHSG hari ini sejalan dengan pergerakan bursa utama Asia lain yang juga berakhir di zona merah, kecuali indeks acuan bursa Jepang dan India.

IHSG yang cenderung bergerak sideways sepanjang pekan ini tampaknya disebabkan oleh geliat investor yang masih menunggu keputusan BI terkait pengetatan kebijakan moneter yang akan diumumkan hari ini. Investor dan pedagang yang waswas akhirnya tidak mampu menggerakkan perdagangan ke zona positif, meskipun terdapat sejumlah sentimen positif baik dari data makroekonomi hingga perhelatan KTT G-20.

Aktivitas bursa kemarin sedikit lebih sepi dari hari sebelumnya, dengan nilai transaksi IHSG tercatat senilai Rp 13,31 triliun, melibatkan 23,24 miliar saham dan berpindah tangan 1,33 juta kali. Investor asing kembali melakukan aksi jual bersih (net sell) dalam tiga hari beruntun yang kemarin nilainya mencapai 1,37 triliun. Pada dua hari pertama pekan ini net sell asing masing-masing tercatat senilai Rp 1,12 triliun dan Rp 357,88.

Aksi jual asing utamanya terjadi di saham blue chip, dengan tiga saham paling diobral asing secara berurutan dari yang terbesar adalah Bank Central Asia (BBCA), Telkom Indonesia (TLKM) dan Bank Rakyat Indonesia (BBRI).

Sementara dua emiten batu bara yakni United Tractors dan Indo Tambangraya Megah (ITMG) menjadi yang paling diminati asing dengan net buy masing-masing Rp 37,5 miliar dan Rp 34 miliar.

Selanjutnya dari pasar keuangan lain, mata uang Garuda kembali keok melawan dolar AS untuk hari ketiga beruntun. Kemarin rupiah berakhir melemah 0,42% ke Rp 15.600/US.

Rupiah kembali keok salah satunya karena pasar masih bertaruh bahwa The Fed akan tetap menaikkan suku bunga secara moderat. Ekonom Senior Chatib Basri dalam wawancara dengan CNBC Indonesia mengungkapkan setidaknya ada tiga faktor yang membuat dolar mampu mebuat rupiah bertekuk lutut, mulai dari kondisi fundamental ekonomi AS yang dinilai bagus, AS berhasil menjadi negara net eksportir energi, hingga langkah The Fed menjinakkan inflasi lewat kebijakan moneter yang lebih ketat.

Terakhir dari pasar obligasi, mayoritas Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah, kecuali yang memiliki tenor pendek. Investor tercatat melego SBNyang ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield).

Tiga indeks utama Wall Street kompak ditutup melemah pada perdagangan Rabu (16/11) waktu New York. Pelemahanini terjadi setelah data penjualan ritel yang lebih kuat dari perkiraan membuat investor Kembali khawatir terhadap jalur kenaikan suku bunga yang akan diambil The Fed pada pertemuan selanjutnya. Selain itu, sejumlah perusahaan juga melaporkan kinerja yang suboptimal dan outlook yang kurang menjanjikan.

Dow Jones Industrial Average ditutup turun 0,12%. S&P 500 terdepresiasi 0,83% dan indeks padat teknologi Nasdaq anjlok 1,54%.

Investor tampaknya mencoba memastikan seberapa tangguh konsumen dan bisnis terhadap tekanan harga dan biaya pinjaman yang tinggi. Data hari Rabu menunjukkan penjualan ritel AS pada Oktober naik 1,3% dari bulan sebelumnya, di atas konsensus pasar yang memperkirakan kenaikan 1,2%.

The Fed telah secara agresif menaikkan suku bunga tahun ini untuk memperlambat perekonomian. Namun sejauh ini, belanja konsumen tetap relatif kuat, sementara suku bunga yang lebih tinggi membutuhkan waktu untuk mempengaruhi perekonomian.

Presiden The Fed Kansas City Esther George memperingatkan bahwa bank sentral mungkin tidak dapat mendinginkan inflasi tanpa menyebabkan resesi. Data produksi industri yang baru dirilis menunjukkan aktivitas yang melambat, menambah kekhawatiran bahwa bisnis padat modal sedang berjuang untuk menghadapi suku bunga yang lebih tinggi.

Laporan triwulanan dari peritel AS telah menawarkan gambaran yang tidak seragam dan lebih samar-samar.

Emiten pengelola jaringan supermarket Target pada hari Rabu mengatakan pelanggan tokonya mulai mengerem pengeluaran pada kuartal terakhir di tengah prospek ekonomi yang memburuk. Saham perusahaan turun 13%. Pernyataan tersebut kontras dengan hasil yang lebih optimis dari peritel Lowe's, yang melaporkan penjualan lebih kuat dari perkiraan dan meningkatkan ekspektasi di masa depan, didorong oleh belanja perbaikan rumah. Saham naik 2,9%.

Mencerminkan ketakutan akan melemahnya ekonomi, pasar obligasi AS memperpanjang inversinya-salah satu indikator utama resesi Wall Street. Selisih antara yield Treasury Note 10 tahun dan dua tahun yang biasanya positif telah turun menjadi negatif 0,670 poin persentase, mendekati laju selisih inversi paling tajam sejak 1982.

Imbal hasil pada obligasi AS 10-tahun turun menjadi 3,693% dari semula 3,798% pada Selasa malam. Yield obligasi dua tahun AS yang lebih sensitif terhadap ekspektasi suku bunga jangka pendek naik tipis menjadi 4,363% dari semula 4,359%.

Investor dan pelaku pasar patut menyimak sejumlah isu penting yang dapat menjadi sentimen pasar utama perdagangan hari ini, khususnya pengumuman kebijakan moneter terbaru dari Bank Indonesia (BI).

Bank Indonesia (BI) yang telah melakukan Rapat Dewan Gubernur (RDG) sejak Rabu (16/11) kemarin, dijadwalkan akan mengumumkan siklus baru kenaikan suku bunga hari ini pada pukul 14.00 WIB.

Konsensus analis dan ekonom memproyeksikan BI akan melanjutkan kebijakan agresifnya bulan ini. BI diramal kembali mengerek BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis points (bps), berdasarkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia.

Dari 14 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut, delapan memperkirakan kenaikan 50 basis points (bps) menjadi 5,25%, dengan enam lainnya memprediksi kenaikan 25 bps menjadi 5,00%.

Keputusan ini merupakan siklus keempat beruntun, sebelumnya BI sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 125 bps hanya dalam waktu tiga bulan, masing-masing sebesar 25 bps pada Agustus, 50 bps pada September, dan 50 bps pada Oktober.

Sementara itu pada Oktober 2022 atau sebelum pengumuman terbaru BI siang ini, posisi suku bunga acuan BI berada di 4,75% sementara suku bunga Deposit Facility sebesar 4,00%, dan suku bunga Lending Facility ada di 5,50%.

Kenaikan suku bunga hari ini dapat menjadi suntikan tenaga baru bagi rupiah yang dalam tiga hari terus K.O. terus melawan dolar AS. Pelemahan ini terjadi meskipun RI kembali melaporkan surplus neraca perdagangan pada Oktober 2022 dan memperpanjang rekor menjadi 30 bulan.

Hal ini mengindikasikan bahwa perlu tindakan yang lebih agresif dan fundamental sehingga stabilitas rupiah dapat terjaga. Apalagi, ancaman capital outflow masih mengintai karena tren kenaikan suku bunga acuan global.

Data BI menunjukkan pada periode 1 Januari-10 November 20222, investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp 172,11 triliun pada pasar Surat Berharga Negara (SBN) tetapi membukukan net buy sebesar Rp 78,39 triliun di pasar saham.

Secara historis, BI memang kerap agresif saat pasar keuangan Indonesia terutama rupiah dalam tekanan besar akibat goncangan global.

Pada 2013, BI mengerek suku bunga sebesar 175 bps dalam kurun waktu enam bulan dari 5,75% pada Mei 2013 menjadi 7,50% pada November untuk menekan goncangan ketidakpastian global pada periode "taper tantrum" setelah The Fed menghentikan kebijakan quantitative easing.

Kebijakan ketat juga kembali diberlakukan BI pada 2018 sebagai langkah pre-emptive dan ahead the curve mengantisipasi kebijakan The Fed. Secara total BI mengerek suku bunga acuan sebesar 175 bps pada 2018. Sedangkan The Fed menaikkan 100 bps suku bunga acuannya.

Tahun ini karena inflasi yang meroket di AS, The Fed telah enam kali mengerek suku bunga dengan total kenaikan 375 bps (3,75%). Bulan depan bank sentral AS tersebut diproyeksi kembali menaikkan 50 bps sehingga Federal Funds Rate berada di rentang 4,35% - 4,50%. Artinya jika benar hari ini BI menaikkan 50 bps suku bunga menjadi 5,25% maka spread keduanya diproyeksikan akan semakin menyempit bulan depan.

Meski demikian strategi hati-hati BI juga memiliki sejumlah alasan kuat, termasuk yang paling utama adalah inflasi yang tampaknya sudah mulai melandai. Langkah preemptive dan forward looking BI pada siklus kenaikan sebelumnya tampaknya mampu membatasi dampak kenaikan BBM terhadap lonjakan harga barang dan jasa yang pada akhirnya inflasi tidak naik setinggi perkiraan awal.

Akan tetapi jika rupiah kembali ditindas dolar AS dengan laju yang sama seperti yang terjadi pekan ini, BI tampaknya perlu menyusun rencana baru dan mulai mengencangkan ikat pinggangnya.

Sentimen selanjutnya datang dari pasar modal AS yang mana tiga indeks utama Wall Street ditutup melemah pada perdagangan Rabu (16/11) setelah data penjualan ritel yang lebih kuat dari perkiraan membuat investor Kembali khawatir terhadap jalur kenaikan suku bunga yang akan diambil The Fed pada pertemuan selanjutnya.

Selanjutnya, investor juga perlu mencerna pengungkapan yang dilakukan oleh emiten, mulai dari laporan kinerja keuangan hingga aksi korporasi.

Kemarin, Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebut, sampai dengan tanggal 11 November 2022 terdapat 42 Perusahaan Tercatat yang berada pada pipeline right issue. Perkiraan total dana yang akan diperoleh melalui aksi korporasi ini sebesar Rp 39,4 triliun.

Berikut beberapa data ekonomi penting yang akan dirilis hari ini:

Pidato pejabat The Fed Waller (02.35)

Data neraca dagang Jepang Oktober (06.50)

Data pengangguran Australia Oktober (07.30)

Pengumuman kenaikan suku bunga acuan BI (14.00)

Data tingkat inflasi kawasan euro Oktober (17.00)

Musim laporan keuangan untuk kuartal ketiga telah dimulai akhir bulan lalu dan masih akan terus berlangsung, dengan satu per satu perusahaan mulai melaporkan kinerja keuangan sembilan bulan terakhir.

Selain pelaporan kinerja keuangan, terdapat dua agenda korporasi yakni Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Ancora Indonesia Resources (OKAS) dan Bayan Resources (BYAN). Kemudian hari ini juga merupakan cum date dividen tunai Cisadane Sawit Raya (CSRA).

Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular