Polling CNBC Indonesia

Semua Demi Rupiah! BI Diramal Kerek Suku Bunga 50 Bps Lagi

Maesaroh, CNBC Indonesia
16 November 2022 07:35
Bank Indonesia
Foto: REUTERS / Fatima El-Kareem

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diproyeksikan melanjutkan kebijakan agresifnya bulan ini. BI diramal kembali mengerek BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis points (bps) pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung pada pada Rabu dan Kamis (16-17 November 2022).

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memproyeksikan BI akan menaikkan suku bunga acuan secara agresif pada bulan ini.

Dari 14 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut, delapan lembaga/institusi memperkirakan bank sentral akan mengerek BI7DRR sebesar 50 basis points (bps) menjadi 5,25%.

Sementara itu, enam lembaga/institusi memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 5,00%.


Sebagai catatan, BI sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 125 bps hanya dalam waktu tiga bulan, masing-masing sebesar 25 bps pada Agustus, 50 bps pada September, dan 50 bps pada Oktober.

Pada Oktober 2022, posisi suku bunga acuan BI berada di 4,75% sementara suku bunga Deposit Facility sebesar 4,00%, dan suku bunga Lending Facility ada di 5,50%.

Ekonom Bank Danamon Irman Faiz mengatakan BI akan menaikkan suku bunga secara agresif untuk menahan pelemahan rupiah. Kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) yang diperkirakan masih agresif juga menjadi pertimbangan BI untuk mengerek suku bunga sebesar 50 bps pada bulan ini.

"Tekanan nilai tukar rupiah masih tinggi. Kami memperkirakan BI akan melakukan front-loading kebijakan dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps. Ini akan memberi sinyal jelas jika stance kebijakan BI akan lebih hawkish," tutur Irman, kepada CNBC Indonesia.

Merujuk data Refinitiv, rupiah terpuruk sejak Oktober bahkan sempat melemah 0,51% pada pekan pertama November 2022. Dalam sepekan terakhir, rupiah sebenarnya sudah menguat sebesar 0,4% terhadap dolar AS.

Namun, mata uang Garuda terancam melemah kembali jika The Fed menaikkan suku bunga acuan agresif pada pertengahan Desember mendatang.

Ekspektasi pelaku pasar AS kini memperkirakan The Fed hanya akan menaikkan suku bunga sebesar 50 bps pada Desember 2022 dan kemudian akan melonggarkan kebijakan agresifnya pada 2023. Namun, pekan lalu, Gubernur The Fed Christopher Waller mengatakan investor bereaksi berlebihan terhadap data inflasi yang melandai. Dia mengatakan pasar harus bersiap untuk kenaikan suku bunga lebih lanjut.

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman menjelaskan kenaikan surplus neraca perdagangan pada Oktober 2022 memang menjadi modal positif bagi kubu MH Thamrin dalam menjaga stabilitas rupiah. Namun, ancaman capital outflow masih mengintai karena tren kenaikan suku bunga acuan global.

"Surplus akan menopang cadangan devisa dan stabilitas rupiah untuk level tertentu di tengah capital outflow," tutur Faisal dalam MacroBrief.

Seperti diketahui, Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan sebesar US$ 5,67 miliar pada Oktober 2022, jauh di atas ekspektasi pasar sebesar US$ 4,5 miliar.



Data BI menunjukkan pada periode 1 Januari-10 November 20222, investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp 172,11 triliun pada pasar Surat Berharga Negara (SBN) tetapi membukukan net buy sebesar Rp 78,39 triliun di pasar saham.

Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution melihat BI tidak perlu menaikkan bunga secara agresif sebesar 50 bps lagi pada bulan ini. Pasalnya, inflasi sudah melandai. Dia mengingatkan dampak kenaikan harga BBM ke laju inflasi tidak setinggi perkiraan sebelumnya sehingga tekanan inflasi jauh berkurang.

Dalam catatan Badan Pusat Statistik, inflasi Indonesia melandai ke 5,71% (year on year/yoy) pada Oktober 2022 dari 5,95% pada September 2022. Damhuri memperkirakan inflasi 2022 hanya akan menyentuh 5,5%, di bawah proyeksi awal BI sekitar 6,3%.

"Kita lihat inflasi sudah OK dan outlook inflasi ke depan akan turun. Dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi juga tidak seburuk yang diperkirakan sebelumnya, bahkan cukup jauh di bawah perkiraan. Saya perkirakan nggak perlu (kenaikan BI7DRR) 50 bps, tapi cukup 25 bps saja," tutur Damhuri, kepada CNBC Indonesia.

Secara historis, BI memang kerap agresif saat pasar keuangan Indonesia terutama rupiah dalam tekanan besar akibat goncangan global.

Pada 2013, BI mengerek suku bunga sebesar 175 bps dalam kurun waktu enam bulan dari 5,75% pada Mei 2013 menjadi 7,50% pada November.
Kebijakan agresif ditempuh untuk menekan goncangan ketidakpastian global pada periode "taper tantrum" setelah The Fed mengetatkan kebijakan longgarnya (quantitative easing). Juga, lonjakan inflasi akibat kenaikan harga BBM subsidi sebesar 30% pada Juni 2013.

Kebijakan ketat kembali diberlakukan BI pada 2018 sebagai langkah pre-emptive dan ahead the curve mengantisipasi kebijakan The Fed. Moneter ketat juga diberlakukan untuk mengurangi tekanan pada defisit transaksi berjalan. Sepanjang 2018,  The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 bps.

BI secara keseluruhan mengerek suku bunga acuan sebesar 175 bps pada 2018, dari 4,25% pada April 2018 menjadi 6,0% pada November 2018.

TIM RISET CNBC INDONESIA

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular