
Semua Demi Rupiah! BI Diramal Kerek Suku Bunga 50 Bps Lagi

Data BI menunjukkan pada periode 1 Januari-10 November 20222, investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp 172,11 triliun pada pasar Surat Berharga Negara (SBN) tetapi membukukan net buy sebesar Rp 78,39 triliun di pasar saham.
Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution melihat BI tidak perlu menaikkan bunga secara agresif sebesar 50 bps lagi pada bulan ini. Pasalnya, inflasi sudah melandai. Dia mengingatkan dampak kenaikan harga BBM ke laju inflasi tidak setinggi perkiraan sebelumnya sehingga tekanan inflasi jauh berkurang.
Dalam catatan Badan Pusat Statistik, inflasi Indonesia melandai ke 5,71% (year on year/yoy) pada Oktober 2022 dari 5,95% pada September 2022. Damhuri memperkirakan inflasi 2022 hanya akan menyentuh 5,5%, di bawah proyeksi awal BI sekitar 6,3%.
"Kita lihat inflasi sudah OK dan outlook inflasi ke depan akan turun. Dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi juga tidak seburuk yang diperkirakan sebelumnya, bahkan cukup jauh di bawah perkiraan. Saya perkirakan nggak perlu (kenaikan BI7DRR) 50 bps, tapi cukup 25 bps saja," tutur Damhuri, kepada CNBC Indonesia.
Secara historis, BI memang kerap agresif saat pasar keuangan Indonesia terutama rupiah dalam tekanan besar akibat goncangan global.
Pada 2013, BI mengerek suku bunga sebesar 175 bps dalam kurun waktu enam bulan dari 5,75% pada Mei 2013 menjadi 7,50% pada November.
Kebijakan agresif ditempuh untuk menekan goncangan ketidakpastian global pada periode "taper tantrum" setelah The Fed mengetatkan kebijakan longgarnya (quantitative easing). Juga, lonjakan inflasi akibat kenaikan harga BBM subsidi sebesar 30% pada Juni 2013.
Kebijakan ketat kembali diberlakukan BI pada 2018 sebagai langkah pre-emptive dan ahead the curve mengantisipasi kebijakan The Fed. Moneter ketat juga diberlakukan untuk mengurangi tekanan pada defisit transaksi berjalan. Sepanjang 2018, The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 bps.
BI secara keseluruhan mengerek suku bunga acuan sebesar 175 bps pada 2018, dari 4,25% pada April 2018 menjadi 6,0% pada November 2018.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mae/mae)