Ambruknya IHSG disebabkan oleh banyaknya sentimen negatif dari perekonomian global mulai dari kisruh di pasar obligasi Inggris, muramnya perekonomian China, hingga ekspektasi berlanjutnya kebijakan hawkish bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed). Pasar juga menunggu data inflasi AS yang keluar Kamis malam tadi.
Kembali meningkatnya kasus Covid-19 di China juga membuat pergerakan bursa saham Indonesia loyo. China menutup pusat kebugaran dan bar di lima distrik Shanghai, yakni Changning, Putuo, Jiading, Yangpu, dan Qingpu. Shanghai Disney Resort juga menutup beberapa fasilitas dan pertunjukan untuk mengikuti persyaratan pengendalian Covid-19.
Shanghai melaporkan tambahan kasus Covid-19 sebanyak 47 pada Rabu (12/10/2022) yang merupakan kasus terbanyak sejak 13 Juli 2022.
Peningkatan kasus di Shanghai semakin membuat Beijing sulit melepas kebijakan zero Covid-19 strategy. Kepala ahli dalam penanganan Covid-19 China Liang Wannian menegaskan jika China tidak memiliki batas dalam menerapkan kebijakan zero Covid-19 strategy.
Padahal, kebijakan tersebut diprotes banyak pihak karena membuat ekonomi Negara Tirai Bambu loyo.
China merupakan mitra dagang terbesar bagi Indonesia sehingga perkembangan di negara tersebut akan sangat menentukan ekonomi Indonesia.
Bursa Asia juga kompak berakhir di zona merah pada perdagangan kemarin. Indeks Nikkei 225 Jepang melemah 0,60%, Hang Seng Hong Kong ambruk 1,87%, dan Straits Times Singapura ambles 1,75%. Hal serupa terjadi pada indeks Shanghai Composite China yang jatuh 1,87%.
Dari pasar mata uang, nilai tukar rupiah masih saja melanjutkan perlemahan melawan dolar AS pada perdagangan kemarin. Mata uang Garuda dibuka rupiah menguat 0,07% ke Rp 15.345/US$. Namun, rupiah tidak mampu mempertahankan penguatan dan berbalik arah melemah.
Di penutupan perdagangan rupiah berada di Rp 15.360/US$ melemah tipis 0,03% di pasar spot. Rupiah masih bergerak di posisi terlemahnya dalam 2,5 tahun terakhir.
Rupiah sudah melemah sejak Jumat pekan lalu tetapi sempat bergerak stagnan pada Rabu pekan ini. Secara keseluruhan, rupiah sudah ambles 1,14% dalam sepekan.
Sementara itu, investor sudah banyak yang memburu SBN pada perdagangan kemarin. Hal ini ditandai dengan menguatnya harga dan turunnya imbal hasil (yield). Melansir data dari Refinitiv, hanya yield SBN tenor 15 tahun yang naik yakni meningkat 3 basis poin (bp) ke posisi 7,326%.
Yield SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara melandai 0,7 bp menjadi 7,353%. Artinya, yield sudah melandai selama dua hari berturut-turut.
"Keajaiban" menyambangi Wall Street pada perdagangan kemarin. Bursa saham Amerika Serikat tersebut berbalik secara frontal dari anjlok lebih dari 2% pada awal perdagangan menjadi menguat 2% lebih pada akhir perdagangan.
Pembalikan arah yang luar biasa pada perdagangan kemarin juga mengakhiri tren negatif bursa AS yang sudah berkutat di zona merah sejak Rabu pekan lalu atau dalam enam hari terakhir.
Indeks Dow Jones melonjak 827, 87 poin atau 2,83% dan mengakhiri perdagangan di posisi 30.038,72. Padahal, indeks sempat ambles 500 poin di awal perdagangan. Indeks S&P mengakhiri perdagangan di posisi 3.669,91. Indeks menguat 92,88 poin atau 2,6% setelah sempat ambruk 2,4% lebih pada awal perdagangan.
Indeks Nasdaq melesat 232,05 poin atau 2,23% dan mengakhiri perdagangan di posisi 10.649,15 padahal sempat anjlok hampir 3% pada awal perdagangan.
Pembalikan arah secara frontal merupakan respon pelaku pasar atas data inflasi AS September. Biro Statistik Tenaga Kerja AS melaporkan inflasi AS mencapai ke 8,2% (year-on-year/yoy) pada September.
Laju inflasi memang lebih rendah dibandingkan pada Agustus yang tercatat 8,3% (yoy) tetapi masih di atas ekspektasi pasar yakni 8,1% (yoy). Secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi tercatat 0,4% pada September atau meningkat dibandingkan pada Agustus yang tercatat 0,1%. Inflasi inti menyentuh 6,6 % (yoy) pada September, level tertingginya sejak 1982 atau 40 tahun terakhir.
Data inflasi membuat pelaku pasar menghapus harapan mereka jika The Fed akan melonggarkan kebijakan moneter dalam waktu dekat. Namun, pelaku pasar juga mulai meyakini jika inflasi AS sudah mencapai puncaknya dan akan terus melandai ke depan.
Kedua faktor itulah yang membuat perdagangan kemarin berlangsung sangat "liar". Bursa saham ambruk pada awal perdagangan sebagai respon atas data inflasi yang masih di atas ekspektasi.
Namun, pelaku pasar kemudian berbalik arah. Rally secara masif terjadi setelah dua jam perdagangan. Indeks Dow Jones melonjak hingga 600 poin sampai pukul 11: 30 pagi waktu setempat.
Indeks Dow Jones menguat hingga 1.500 poin dari posisi terendah hingga tertinggi selama perdagangan kemarin. Indeks S&P juga mencatatkan comeback luar biasa.
Pembalikan arah dalam perdagangan intraday indeks S&P kemarin adalah terbesar kelima dalam sejarah S&P dan empat terbesar dalam sejarah Nasdaq.
Pada indeks Dow Jones, saham dengan kinerja paling positif adalah JPMorgan Chase & Co yang melonjak 5,56%, Walgreens Boots Alliance Inc yang melesat 5,35%, dan Chevron Corp yang menguat 4,85%.
Pada indeks S&P, saham yang menjadi top gainers adalah Domino's Pizza yang terbang 10,48%, Warner Bros Discovery Inc yang melesat 7,20%, dan KeyCorp yang melonjak 7,18%.
Top gainers pada indeks Nasdaq adalah Nutex Health Inc yang terbang 72,40%, Fednat Holding yang melesat 56,48%, dan Digital Brands Group Inc yang melonjak 44,93%.
"Mungkin ini terakhir kali kita melihat inflasi yang lebih tinggi daripada ekspektasi dan selanjutnya inflasi akan melandai. Apa yang terjadi pada perdagangan intraday membuktikan sifat alamiah dari "pemburu" di bursa," tutur Liz Ann Sonders, chief investment strategist Charles Schwab, dikutip dari CNBC International.
Chief investment strategist Baker Avenue Asset Management King Lip mengatakan pembalikan arah lebih ditopang oleh teknikal.
"Pelaku pasar mungkin melihat data inflasi sebagai hal yang negatif dan mereka mulai melakukan aksi short covering. Pelaku pasar juga sudah melakukan priced in terhadap data inflasi," tutur King Lip, dikutip dari Reuters.
Namun, Greg Swenson dari investment bank Brigg Macadam mengingatkan pembalikan arah yang frontal kemarin juga menjadi sinyal jika perdagangan ke depan masih akan sangat volatile.
"Saya pikir kita salah jika terlaku bersemangat mengenai rally ini. Kenaikan mungkin hanya sementara. Ini adalah rally yang terjadi dalam kondisi bear market. Saya pikir kita harus bersiap mendengar banyak kabar buruk ke depan," tutur Swenson.
Menarik ditunggu apakah "keajaiban" bursa Wall Street akan menular ke bursa efek Indonesia hari ini. Pembalikan arah yang brutal pada bursa Wall Street bisa memberi suntikan semangat dan sentimen positif pada IHSG yang sudah terpuruk selama lima hari beruntun.
Selain kabar positif dari Wall Street, data inflasi AS akan menjadi penggerak utama perdagangan bursa Indonesia di hari terakhir pekan kedua Oktober.
Inflasi AS menyentuh ke 8,2% (yoy) pada September. Meskipun melandai dibandingkan Agustus (8,3%) dan menjadi yang terendah dalam tujuh bulan terakhir, inflasi masih di atas ekspektasi pasar, yakni 8,1% (yoy).
Secara bulanan (mtm), inflasi September juga masih meningkat tajam dari 0,1% pada Agustus menjadi 0,4% pada September. Inflasi bulanan masih dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar yakni 0,2%.
Inflasi inti AS yang menembus 6,6% (yoy) bahkan ada dalam level tertingginya dalam 40 tahun terakhir. Inflasi masih didorong oleh kenaikan harga energi yang tercatat melonjak 19,8% (yoy). Kendati demikian, kenaikan harga energi masih lebih rendah dibandingkan pada Agustus (23,8%).
Harga bahan bakar minyak, bensin, dan listrik sudah melandai. Namun harga gas masih lebih tinggi dibanding Agustus. Di mana harga gas September naik 33,1% dibanding Agustus 33%.
Kabar baik datang dari biaya makanan yang melandai pada September dibanding Agustus (11,2% vs 11,4%) serta harga mobil bekas dan truk (7,2% vs 7,8%). Sebaliknya, harga tempat tinggal meningkat lebih cepat (6,6% vs 6,2%).
"Inflasi umum dan inflasi inti lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar. Data ini sungguh mengecewakan. Kami berharap ada penurunan inflasi secara tajam tetapi kenyataan itu tidak terjadi," tutur Mace M. McCain, chief investment officer Frost Investment Advisors, dikutip dari CNBC International.
Dengan inflasi AS yang masih tinggi maka The Fed diperkirakan akan melanjutkan kebijakan hawkishnya dalam waktu lama. Dalam risalah FOMC yang terbit Kamis kemarin, The Fed juga sudah menegaskan jika mereka belum akan berhenti menaikkan suku bunga jika inflasi belum berada di kisaran target mereka yakni 2%.
Hari ini, AS juga akan mengeluarkan data penjualan ritel untuk September dan rilis Michigan Consumer Sentiment untuk Oktober.
Setelah data inflasi keluar, data tersebut juga akan menjadi pegangan pelaku pasar dalam membaca arah kebijakan The Fed ke depan.
Penjualan ritel AS tumbuh 9,1% (yoy) pada Agustus 2022, menurun dibandingkan yang tercatat pada Juli (10,1%). Sementara itu, survei Michigan University menunjukkan indeks sentiment konsumen AS naik ke 58,6 pada September dari 58,2 pada Agustus.
Jika penjualan ritel menguat dan sentimen konsumen membaik maka harapan pelonggaran kebijakan The Fed semakin musnah.
Hari ini, China juga akan merilis neraca perdagangan September. Menarik ditunggu apakah perdagangan China sudah bangkit setelah sempat terperosok pada Agustus. Surplus neraca perdagangan China anjlok menjadi US$ 79,39 miliar pada Agustus, level terendahnya dalam tiga bulan.
China adalah mitra dagang terbesar Indonesia sehingga pergerakan ekspor impor Negara Tirai Bambu akan sangat berdampak kepada kinerja ekspor Indonesia.
Dari dalam negeri, kabar baik datang dari penjualan mobil domestik. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) melaporkan penjualan mobil nasional September 2022 mencapai 99.986 unit. Jumlah tersebut melonjak 19% dibandingkan periode September 2021 yang tercatat sebanyak 84.113 unit.
Penjualan bulan September ini juga merupakan rekor baru sejak awal tahun 2022, bahkan sejak awal tahun 2021.
Secara total, penjualan mobil nasional sepanjang Januari-September 2022 adalah sebanyak 758.216 unit. Jumlah tersebut turun 14,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang tercatat 887.202 unit.
Lonjakan penjualan mobil pada September menjadi sinyal positif bagi perekonomian Indonesia. Penjualan mobil dan semen adalah indikator pergerakan konsumsi masyarakat Indonesia. Dengan kontribusi sebesar 56% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) maka pergerakan konsumsi masyarakat akan sangat menentukan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Mahendra Siregar mengatakan perekonomian Indonesia secara kesehatan maupun sosial sudah pulih sepenuhnya ke masa sebelum Pandemi Covid-19 dua tahun lalu.
"Dalam konteks itu kita bisa mengatakan we have done our best secara sinergi telah berhasil melampaui kondisi berat pandemi dan bahkan sejak kuartal kedua tahun ini sudah pulih PDB kita ke prapandemi. Namun pesannya jelas kita harus menjaga kelanjutan perekonomian Indonesia," ungkapnya dalam pembukaan acara Capital Market Summit & Expo 2022, Kamis (13/10/2022).
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
* Bank Indonesia akan mengeluarkan Statistik Sistem Pembayaran dan Infrastruktur Pasar Keuangan Indonesia (pukul 11: 00 WIB)
* China akan mengeluarkan data neraca perdagangan September (10:00 WIB)
* Amerika Serikat akan mengeluarkan rilis data penjualan ritel untuk September (19:30 WIB)
* Rilis Michigan Consumer Sentiment untuk Oktober (21:00 WIB)
Agenda korporasi:
- Tanggal ex Dividen Tunai Interim Astra Otoparts (AUTO)
- Tanggal ex HMETD PT Bank Oke Indonesia (DNAR)
- Tanggal Pembayaran Dividen Tunai Interim Reliance Sekuritas Indonesia Tbk
- RUPS Kimia Farma (KAEF) pukul 10:00 WIB
- RUPS Indonesia Prima Property (OMRE) pukul 10:00 WIB
Di bawah ini adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q II-2022 YoY) | 5,44% |
Inflasi (September 2022 YoY) | 5,95% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2022) | 4,25% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022) | (3,92% PDB) |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q II-2022) | (1,1%) PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q II-2022) | US$ 2,4 miliar |
Cadangan Devisa (September 2022) | US$ 130,8 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA