Kondisi bangkit perlahan juga terjadi di pasar keuangan lain, di mana kemarin rupiah ditutup menguat tipis 0,03% di Rp 1.120/US$ melawan dolar Amerika Serikat (AS).
Sepanjang perdagangan kemarin, nilai tukar rupiah sempat merosot 0,29% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 15.169/US$ pada perdagangan Selasa (27/9/2022). Level tersebut merupakan yang terlemah sejak 30 April 2020 lalu. Sebelum akhirnya ditutup menguat.
Tidak hanya rupiah, mayoritas mata uang Asia juga bangkit bahkan mencatat penguatan cukup signifikan, sehingga Mata Uang Garuda bukan yang terbaik.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan penguatan dolar AS masih cukup signifikan, bahkan mata uang negara maju, seperti euro dan poundsterling ikut melemah. Dalam kondisi ini, dia menilai intervensi BI untuk meredam pelemahan rupiah tidak tepat sasaran.
"Upaya intervensi terus dilakukan. BI akan selalu ada di pasar, tapi melihat kondisinya dolar terus menguat. Kemudian, euro dilanjut melemah, jadi memang saya pikir kalau pun BI melakukan intervensi dampaknnya tidak produktif karena dolarnya menguat secara global," kata Josua, Selasa (27/9/2022).
Artinya, lanjut Josua, bukan berarti BI tidak melakukan intervensi. BI tetap berada di pasar, tetapi ada pertimbangan dan penilaian tertentu.
"BI tetap melakukan triple intervention lalu juga saat ini melakukanoperation twistdengan menjual SBN jangka pendek, itu kelihatan di market tenor-tenor panjang yang membuat kurva imbal hasil kita pun cenderung flat atauĀ tightening," paparnya.
Operation twist ini akan menarik investor asing masuk ke dalam negeri sehingga menambah pasokan dolar dan pada akhirnya memperkuat nilai tukar.
Terakhir dari pasar obligasi, Pasar SBN di tutup nyaris tak berubah, dengan tingkat imbal hasil naik pada seri seri benchmark. Seri benchmark 5 tahun FR0090 misalnya di tutup dengan yield naik 5 poin ke 6,932. Benchmark 10 tahun FR0091 yang ramai diperdagangkan hari ini di segel pada yield 7,400 atau naik 5,7 basis points (bps).
Banyaknya tekanan jual terhadap seri seri benchmarks sebenarnya sudah bias di tebak dari hasil lelang obligasi kali ini.
Dalam lelang selera investor asing terhadap SBN drop. Ini tercermin dari jumlah penawaran pada lelang SBN hari ini, yang hanya Rp1,7 triliun atau 7,18% dari total bid Rp23,67 triliun. Bandingkan dengan lelang sebelumnya tanggal 13 September yang mencapai Rp8,35 triliun atau 16% dari total minat Rp52 triliun.
Pasar saham AS ditutup bervariasi pada perdagangan Selasa (28/9/2022) waktu New York pasca beberapa rilis data ekonomi AS. Meskipun investor masih waswas akan resesi pasca ramalan suku bunga yang lebih agresif meskipun akan memukul ekonomi.
Dow Jones Industrial Average ditutup turun 125,8 poin, atau 0,43%. Sedangkan S&P 500 dan melemah 0,21%, sementara NASDAQ justru rebound menguat 26,58 poin, atau 0,25%.
Indeks acuan S&P turun lebih dari 20% dari level tertinggi pada awal Januari ke level terendah pada 16 Juni, kondisi saat ini mengkonfirmasi pasar sedang bearish. Indeks kemudian reli ke pertengahan Agustus sebelum mereda.
Sebelumnya, tiga indeks utama Wall Street kompak dibuka menghijau. Dow Jones Industrial Average naik 182,28 poin, atau 0,62% pada sesi awal perdagangan. Sedangkan dua indeks utama Wall Street lain yakni S&P 500 dan Nasdaq masing masing melesat 1,02% dan 1,41% di sesi awal.
"Kami tidak melihat pengurangan cepat atau pengembalian ke inflasi 2%, menjaga The Fed dalam mode kenaikan. Ini menyiratkan lebih banyak volatilitas dan kebutuhan untuk kehati-hatian dan keseimbangan dalam alokasi ekuitas," Tony DeSpirito, kepala investasi BlackRock untuk Fundamental AS. Ekuitas, tulis dalam catatan yang dirilis pada hari Selasa yang dikutip dari CNBC International.
Pasar melihat kemungkinan 65% dari pergerakan 75 basis poin lebih lanjut pada pertemuan Federal Reserve AS berikutnya pada bulan November.
Aksi jual baru-baru ini tampaknya menjadi katalis, termasuk bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang agresif untuk menaikkan suku bunga. Akhirnya mengguncang pasar mata uang. Pada Senin (26/9), nilai tukar poundsterling merosot ke rekor terendah terhadap dolar AS, membuat investor cemas.
"Biasanya, investor AS tidak akan terlalu peduli dengan hal seperti itu. Menurut saya bahwa sekarang ada ketakutan yang mencengkeram investor lebih banyak daripada sebelumnya, dan pada akhirnya akan mengarah pada momen kapitulasi, di mana kita benar-benar berada di bawah," tutur Analis AlphaTrAI Max Gokhman yang dikutipĀ CNBC International.
Presiden Federal Reserve Chicago Charles Evans mengisyaratkan beberapa kekhawatiran tentang bank sentral The Fed yang menaikkan suku terlalu cepat untuk melawan inflasi..
Proyeksi tersebut yang akhirnya membuat pasar keuangan global kembali dilanda dengan koreksi dalam beberapa hari terakhir.
The Fed perlu menaikkan suku bunga setidaknya satu poin persentase tahun ini, Presiden Fed Chicago Charles Evans mengatakan pada hari Selasa, sikap yang lebih agresif daripada sebelumnya yang menggarisbawahi tekad bank sentral untuk meredam inflasi yang berlebihan.
"Bank sentral telah berjalan di atas tali mencoba untuk mengekang inflasi ketika mencoba untuk membatasi risiko resesi," tulis ahli strategi Bank of America dalam sebuah catatan yang dirilis Selasa yang dikutip dari Reuters.
"Namun, nada baru-baru ini dan kenaikan suku bunga 'jumbo' telah memperkuat bahwa prioritas utama adalah mengendalikan inflasi, bahkan dengan potensi biaya resesi." tambahnya.
Di sisi lain, AS baru saja merilis beberapa data ekonominya. Harga rumah AS mendingin pada Juli pada tingkat tercepat dalam sejarah Indeks S&P CoreLogic Case-Shiller, menurut sebuah laporan yang dirilis Selasa.
Harga rumah di bulan Juli masih lebih tinggi dari tahun lalu, tetapi turun secara signifikan dari kenaikan bulan Juni. Harga secara nasional naik 15,8% dibandingkan Juli 2021, jauh di bawah kenaikan 18,1% pada bulan sebelumnya, menurut laporan tersebut.
Sementara indeks kepercayaan konsumen (IKK) naik untuk bulan kedua berturut-turut pada bulan September, karena harga gas yang moderat dan harapan bahwa tekanan inflasi mungkin mereda membantu mengangkat kepercayaan konsumen di AS. IKK naik menjadi 108 dari 103,6 yang direvisi pada Agustus, angka ini juga menjadi yang tertinggi sejak April.
Hari ini sentimen utama yang berpotensi menggerakkan IHSG masih akan fokus pada implikasi kebijakan moneter berbagai negara terutama Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Sikap pelaku pasar saat ini cenderung lebih hati-hati dan menanti sinyal serta indikator yang jelas tentang perkembangan ekonomi global maupun domestik.
Mendekati akhir kuartal III-2022 pola pergerakan IHSG masih terlihat cenderung terkonsolidasi dengan potensi tekanan yang mulai menurun, tetapi para investor masih harus mewaspadai adanya potensi koreksi wajar dikarenakan sentimen dari fluktasi harga komoditas juga nilai tukar rupiah yang masih membayangi pergerakan IHSG pekan ini.
Sementara, sentimen negatif juga datang dari ramalam ekonomi global. Kemarin (27/9/2022) bank dunia memprediksi laju ekonomi Asia Timur dan Pasifik, termasuk China tahun ini, akan melambat ke 3,2%, jauh lebih rendah prediksi bulan April lalu di 5% dan capaian tahun lalu 7,2%.
Banyak ekonom yang telah memperkirakan bahwa dunia akan terjun bersama-sama ke jurang resesi pada 2023. Resesi ini tentunya dipicu oleh inflasi yang meninggi akibat melesatnya harga pangan dan energi di sejumlah negara, khususnya Eropa dan AS. Inflasi tinggi memicu bank sentral di negara maju menaikkan suku bunga dan mengetatkan likuiditas.
Sejalan dengan analisis Wells Fargo yang juga memperkirakan kenaikan suku bunga yang lebih curam oleh The Fed karena ketahanan ekonomi AS dan tekad bank sentral yang meningkat untuk menekan inflasi, kata ekonom bank Wall Street dalam sebuah catatan pada hari Selasa (27/9/2022).
Sebelumnya, Wells Fargo memperkirakan kenaikan 100 basis poin antara sekarang dan awal tahun depan, tetapi sekarang mengharapkan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) untuk menaikkan suku sekitar 175 bps.
The Fed telah secara agresif menaikkan suku bunga sebesar 300 basis poin sepanjang tahun ini dan melihat siklus kenaikan suku bunganya berakhir pada 2023 pada 4,50%-4,75% karena berjuang untuk memadamkan serangan inflasi tertinggi sejak 1980-an.
Analis memperkirakan kisaran target akan mencapai 4,75%-5,00% pada kuartal pertama 2023, termasuk kenaikan 75 bps pada pertemuan 2 November dan kenaikan 50 bps pada pertemuan kebijakan 14 Desember.
"Ekonomi menunjukkan tanda-tanda ketahanan, yang akan memerlukan lebih banyak pengetatan moneter untuk memperlambat pertumbuhan cukup untuk membawa inflasi kembali ke target Fed 2%," kata para analis, yang dipimpin oleh kepala ekonom Jay Bryson yang dikutip dari Reuters.
Menurut analis di Wells Fargo, FOMC tidak akan memangkas suku bunga pada tanda pertama kelemahan ekonomi. Mereka mengharapkan perubahan kebijakan Fed hanya menjelang akhir tahun depan.
Sementara, investor perlu memperhatikan pukulan keras yang terjadi di Eropa. Krisis energi yang menghantam Eropa telah memaksa sejumlah negara untuk mengambil kebijakan khusus demi melindungi perekonomian dalam negeri yang kian terancam.
Tekanan yang terjadi karena inflasi dan suku bunga yang kian meninggi, kan berdampak bagi pertumbuhan ekonomi dunia.
Semua perhatian investor masih berfokus pada pergerakan nilai tukar poundsterling dan pasar obligasi Inggris setelah aksi jual bersejarah kemarin. Hal tersebut terjadi setelah pemerintah Inggris mengumumkan kebijakan fiskal pada Jumat (23/9/2022) pekan lalu.
Pemerintah Inggris mengumumkan era baru perekonomian yang berfokus pada pertumbuhan, termasuk pemangkasan pajak serta insentif investasi untuk dunia usaha. Para pelaku pasar khawatir utang Inggris akan kembali meningkat. Padahal rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) saat ini lebih dari 100%, tertinggi dalam 60 tahun terakhir.
Apalagi, kebijakan pelonggaran fiskal yang dilakukan pemerintah juga berbanding terbalik dengan bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) yang mengetatkan moneter dengan menaikkan suku bunga guna menurunkan inflasi.
Ragam sentimen juga datang dari dalam negeri. Kinerja sektor eksternal Indonesia sangat positif, didukung neraca perdagangan yang melanjutkan tren surplus serta ekspor dan impor bulan Agustus 2022 yang merupakan tertinggi sepanjang masa.
Aktivitas manufaktur Indonesia masih terus menguat dengan tekanan inflasi bulan Agustus yang semakin berkurang. Peningkatan konsumsi listrik juga berlanjut, menunjukkan terus tumbuhnya aktivitas ekonomi masyarakat.
Bahkan, pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih akan tumbuh lebih baik di tahun 2022, sejalan dengan proyeksi yang dilakukan oleh lembaga internasional terkemuka seperti ADB sebesar 5,4%, IMF 5,3%, Bloomberg 5,2%, dan Bank Dunia 5,1%.
Bahkan, kinerja manufaktur Indonesia mencatat ekspansi di tengah tren pelemahan manufaktur di negara-negara besar, seperti Eropa, China dan Amerika Serikat (AS).
Kondisi ini tercermin dari Purchasing Managers' Index (PMI) per Agustus 2022. PMI Manufaktur Indonesia bulan Agustus 2022 tercatat sebesar 51,7, atau meningkat dari bulan lalu sebesar 51,3.
Dari negara-negara Asean-5 dan G20, hanya 24% negara-negara di dunia yang PMI-nya masih mengalami akselerasi, yaitu Thailand, Rusia, Vietnam dan Indonesia. Sementara itu, 40% negara-negara maju sudah mengalami kontraksi, yakni Eropa, Jerman, Italia, Inggris, Tiongkok dan Turki.
Meski demikian, ada dampak perang Rusia-Ukraina yang masih patut dicermati. Ancaman dunia yang 'gelap' di depan mata. Perang antara Rusia dan Ukraina yang memicu berbagai krisis menjadi alasan utama dunia kini dihantui ketidakpastian yang makin kronis. Termasuk Indonesia.
Beberapa negara seperti Yunani, Italia, Spanyol, hingga Jerman sudah merasakan dampak dari krisis energi. Belum lagi ditambah dengan ancaman perubahan iklim berupa kekeringan yang sudah terjadi.
Inflasi di negara maju dan negara berkembang kini meningkat dan mendorong bank sentral di banyak negara dengan mengeksekusi kebijakan moneter yang agresif.
Situasi ini tentu akan memberikan dampak terhadap dolar AS. Bukan tidak mungkin, hal ini akan memberikan tekanan pada sejumlah mata uang lainnya tak terkecuali nilai tukar rupiah.
Berikut beberapa pidato dan data ekonomi penting yang akan dirilis hari ini:
- Rapat pejabat bank sentral Jepang terkait kebijakan moneternya (06:50 WIB)
- Rilis data penjualan ritel Australia periode Agustus (08:30 WIB)
- Rilis data Indeks Keyakinan Konsumen Jerman (13:00 WIB)
- Pidato pejabat bank sentral Eropa (ECB) (14:15 WIB)
- Pidato pejabat bank sentral Inggris (BoE) (15:15 WIB)
- Rilis data Perubahan Stok serta produksi Bensin, minyak mentah, serta perubahan impor minyak mentah EIA (21:30 WIB)
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA