Kondisi yang lebih suram datang dari pasar keuangan lain, di mana kemarin nilai tukar rupiah merosot melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (26/9/2022). Dolar AS yang perkasa, ditambah dengan gejolak mata uang di Eropa membuat rupiah menembus ke atas Rp 15.000/US$.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,1% ke Rp 15.050/US$. Setelahnya jeblok hingga 0,63% ke Rp 15.130/US$, dan pada penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 15.125/US$, melemah 0,6% di pasar spot.
Dolar AS memang sedang menunjukkan keperkasaannya. Indeks dolar AS pada perdagangan Jumat lalu juga meroket hingga 1,65% ke 113,192, menjadi yang tertinggi sejak Mei 2002. Dalam sepekan, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini melesat 3,12%.
Sama dengan yang terjadi di pasar ekuitas, perkasanya dolar AS tidak lepas dari The Fed (bank sentral AS) yang menegaskan akan terus agresif menaikkan suku bunga sampai tahun depan. Targetnya, hingga inflasi kembali ke 2%.
Alhasil,yieldobligasi AS (Treasury) melesat naik. Hal ini memicu capital outflow yang masih dari pasar obligasi dalam negeri. Bank Indonesia (BI) mencatat hingga 22 September 2022 dana asing yang kabur mencapai Rp 148,11 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Sementara pada rentang waktu 19-22 September, beberapa saat sebelum The Fed mengumumkan kebijakan moneter dana asing yang kabur sebanyak Rp 3,80 triliun di pasar SBN yang membuat rupiah tertekan.
Selain itu, dolar AS yang menyandang status safe haven kini tengah jadi primadona, sebab ada risiko Eropa akan mengalami krisis mata uang. Nilai tukar poundsterling jeblok ke rekor terlemah sepanjang sejarah pada perdagangan kemarin.
Pasar saham AS ditutup ambrol lagi pada perdagangan perdananya pekan ini di tengah gejolak kenaikan suku bunga The Fed serta proyeksi mengejutkan terkait arah suku bunga ke depan yang lebih agresif oleh Komite Pengambil Kebijakan (FOMC) sehingga memicu kekhawatiran resesi.
Dow Jones Industrial Average ambles 329,6 poin, atau 1,11%. Sedangkan S&P 500 dan Nasdaq ditutup naik masing-masing ambrol 1,03% dan 0,6%.
S&P 500 mencatat penutupan terendah baru untuk 2022 dan Dow Jones Industrial Average tergelincir ke pasar bearish karena suku bunga melonjak serta gejolak mengguncang mata uang global.
S&P 500 turun 1,03% menjadi 3,655,04, jatuh di bawah penutupan terendah Juni di 3,666,77. Pada satu titik di siang hari, indeks merosot ke 3.644,76, kurang dari delapan poin dari intraday low 2022 yakni 3.636,87.
Saham Goldman Sachs turun 2,3%, menjadikan bank investasi itu salah satu yang berkinerja terburuk di Dow. JPMorgan dan Morgan Stanley masing-masing ambles hampir 2%, sementara Citigroup merosot 3%.
Keuangan non-bank juga mengalami nasib yang sama. American Express longsor 2%, sementara saham asuransi Travelers turun 3%.
Kebijaksanaan konvensional bahwa suku bunga yang lebih tinggi baik untuk saham bank telah menjadi taruhan bagi investor pada tahun ini, begitu pula pada perdagangan kemarin. Kekhawatiran resesi kian menghantui para pelaku pasar.
Proyeksi dan arah suku bunga ke depan yang dirilis oleh Komite Pengambil Kebijakan (FOMC). Dalam proyeksinya, FFR bisa sampai 4,4% akhir tahun ini. Apabila menganut proyeksi tersebut berarti dalam dua pertemuan terakhir, Fed tidak akan menaikkan suku bunga acuan di bawah 50 bp.
Bahkan ketika pelaku pasar memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga acuan tahun depan, proyeksi FOMC justru sebaliknya. Tahun depan mereka masih berpotensi kembali menaikkan suku bunga acuan.
Proyeksi tersebut yang akhirnya membuat pasar keuangan global kembali dilanda dengan koreksi dalam beberapa hari terakhir.
Sementara itu, depresiasi parah dari mata uang Inggris yakni poundsterling juga membuat pelaku pasar semakin khawatir.
Poundserling Inggris turun ke rekor terendah pada hari Senin terhadap dolar AS, jatuh 4% pada satu titik ke level terendah sepanjang masa di US$ 1,0382. Sejak itu turun dari level terburuknya karena spekulasi bahwa Bank of England (BoE) mungkin harus menaikkan suku bunga lebih agresif untuk menekan inflasi.
Kampanye kenaikan agresif Federal Reserve, ditambah dengan pemotongan pajak Inggris yang diumumkan minggu lalu telah menyebabkan dolar AS melonjak. Euro mencapai level terendah terhadap dolar sejak 2002.
Greenback yang melonjak dapat merugikan keuntungan perusahaan multinasional AS dan juga mendatangkan malapetaka pada perdagangan global, dengan begitu banyak yang ditransaksikan dalam dolar.
"Kekuatan dolar AS seperti itu secara historis menyebabkan semacam krisis keuangan maupun ekonomi," tulis Michael Wilson dari Morgan Stanley, kepala strategi ekuitas AS, dalam sebuah catatan yang dikutip dari CNBC International.
"Jika ada waktu untuk mencari sesuatu yang rusak, inilah saatnya."
Imbal hasil Treasury meningkat dengan cepat, karena suku bunga global melonjak dan investor mengantisipasi Federal Reserve yang lebih agresif. Pada Senin (27/9/2022), imbal hasil Treasury 10-tahun melampaui 3,9% pada satu titik di siang hari. Itu menandai level tertinggi sejak 2010.
Imbal hasil juga melonjak pada Treasury 2-tahun, yang sangat sensitif terhadap kebijakan Fed. Tingkat pada uang kertas melampaui 4,3%, level tertinggi sejak 2007.
The Fed mengirimkan gelombang kejutan di pasar suku bunga global Rabu dengan perkiraan yang lebih agresif untuk kenaikan suku bunga. "Saya pikir ada tiga hal" yang menggerakkan pasar, kata Greg Faranello dari AmeriVet yang dikutip dari CNBC International.
"Ini adalah penetapan harga ulang The Fed. Ini adalah kisah suku bunga global, dan ini adalah fungsi dari likuiditas," katanya.
Hingga hari ini sentimen utama masih didominasi oleh keputusan hasil rapat pejabat bank sentral serta proyeksi yang mengejutkan dari suku bunga The Fed.
Diketahui, otoritas moneter AS tersebut terhitung telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 5 kali. Pertama dilakukan pada Maret 2022 sebesar 25 bps. Selanjutnya di bulan Mei sebesar 50 bps.
Kemudian di bulan Juni, Juli dan terakhir September, The Fed menaikkan masing-masing 75 bps. Pelaku pasar tidak hanya menyorot soal kenaikan suku bunga acuan di bulan September karena memang sudah diantisipasi.
Namun pelaku pasar was-was terhadap ungkap Ketua The Fed yang memberikan sinyal akan membawa suku bunga menjadi 4,4% pada akhir 2022 mendatang dan menaikkan 4,6% untuk perkiraan tahun depan. Efek pengetatan ini, konsensus memperkirakan akan ada kenaikan 75 bp di bulan November.
Inilah yang menjadi ketakutan di pasar dan akan terasa di seluruh pasar baik itu pasar saham, tenaga kerja, serta perumahan.
Namun dalam meredam inflasi yang telah mencapai level tertingginya, Powell tidak pernah mengatakan bahwa resesi adalah proyeksinya, meskipun para ekonom di Nomura memperkirakan AS akan masuk ke jurang resesi tahun ini.
Potensi resesi global semakin nyata dan nyaring bunyinya. Pelaku pasar makin khawatir akan perekonomian global yang kembali lesu kedepannya. Negara-negara akan kembali mengalami perlambatan ekonomi dan tingkat pengangguran akan mengalami kenaikan akibat dari resesi global.
Kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) menciptakan gejolak pasar keuangan global. Aliran modal bergerak keluar alias outflow dari negara berkembang, termasuk dari Indonesia.
Aliran modal keluar menjadi tak terhindarkan. Sementara pada rentang waktu 19-22 September, dana asing yang kabur sebanyak Rp 3,80 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Sementara dari awal tahun hingga 22 September 2022 dana asing yang kabur mencapai Rp 148,11 triliun di pasar SBN.
"Tentu melihat dinamika ini perlu diwaspadai, volatilitas ini memicu outflow terutama bond holder," terang Sri Mulyani.
Kepemilikan asing pada SBN Indonesia kini tersisa 14,7%. Turun tajam dibandingkan 2019 yang mencapai 38%. Kondisi menimbulkan dampak positif dan negatif bagi perekonomian nasional.
"Di satu sisi menimbulkan stabilitas, karena tidak mudah terguncang dengan outflow. Namun bond holder oleh perbankan dan BI," pungkasnya.
Di sisi lain, kabar dari Eropa terutama di Inggris, mata uang Poundsterling mencetak rekor terendahnya terhadap dolar pada Senin (26/9/2022) hari ini, di tengah melonjaknya kekhawatiran tentang ekonomi Inggris setelah pemerintah mengumumkan anggaran pemotongan pajak yang besar.
Itu juga jatuh ke level terendah dua tahun terhadap euro, meskipun mata uang tunggal tetap di bawah tekanan terhadap dolar AS. Pengamat memperingatkan bahwa pound bisa jatuh lebih jauh.
"Kejatuhan poundsterling menunjukkan pasar kurang percaya diri di Inggris dan kekuatan finansialnya sedang dikepung," kata Jessica Amir, dari Saxo Capital Markets.
Tak hanya mata uang dan pasar saham saja, komoditas yang sebelumnya melesat akibat adanya perang dan inflasi pada hari ini juga terkoreksi parah. Seperti di komoditas minyak mentah yang pada pekan lalu merosot lebih dari 5%.
Kemudian batu bara pada pekan lalu ambruk 4,16% dan pekan ini diramal koreksinya akan berlanjut, dan beberapa komoditas lainnya yang juga terpantau ambruk.
Koreksi yang terjadi di hampir seluruh pasar keuangan global dikarenakan investor semakin khawatir bahwa potensi resesi akan menyebabkan krisis yang cukup besar. Ditambah lagi, Tahun depan The Fed masih berpotensi kembali menaikkan suku bunga acuan. Proyeksi tersebut yang akhirnya membuat pasar keuangan global kembali dilanda dengan koreksi.
Di tengah kekhawatitan pasar, ada kabar baik dari bank of Japan (BOJ) memutuskan untuk mempertahankan kebijakan moneter ultra-longgarnya, meskipun yen Jepang sempat anjlok terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pekan lalu.
Pada Senin (26/9/2022), BOJ menggelar pertemuan di Osaka Jepang. Dalam pidatonya, Gubernur BOJ Haruhiko Kuroda menyatakan bahwa ketidakpastian atas prospek ekonomi dunia meningkat karena langkah-langkah kebijakan moneter baru-baru ini oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) (Federal Reserve/The Fed) meningkatkan perlambatan pertumbuhan global.
Namun, Kuroda mengambil langkah berbeda dengan The Fed dan menyatakan akan melanjutkan pelonggaran moneternya untuk meningkatkan ekonomi Jepang dan membuat kondisi keuangan yang akomodatif dengan mengalihkan fokusnya dengan memenuhi berbagai kebutuhan pembiayaan pada bisnis.
Kuroda memperingatkan bahwa inflasi kemungkinan akan meningkat lebih jauh pada akhir tahun ini, tapi ia memproyeksikan bahwa inflasi akan turun di bawah 2% pada awal 2023.
Berikut beberapa pidato dan data ekonomi penting yang akan dirilis hari ini:
- Pidato 2 pejabat bank sentral Jerman (00:00 WIB)
- Pidato pejabat bank sentral Eropa (ECB) (08:00 WIB)
- Pidato pejabat The Fed (17.15 WIB)
- Rilis data Indeks Harga Rumah AS periode Juli (20:00 WIB)
- Rilis data Penjualan Rumah Baru AS periode Agustus (21:00 WIB)
- Rilis data Indeks Keyakinan Konsumen AS periode September (21:00 WIB)
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA