
'Hantu' Resesi Gentayangan, Pasar Keuangan RI Siaga 1!

Hingga hari ini sentimen utama masih didominasi oleh keputusan hasil rapat pejabat bank sentral serta proyeksi yang mengejutkan dari suku bunga The Fed.
Diketahui, otoritas moneter AS tersebut terhitung telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 5 kali. Pertama dilakukan pada Maret 2022 sebesar 25 bps. Selanjutnya di bulan Mei sebesar 50 bps.
Kemudian di bulan Juni, Juli dan terakhir September, The Fed menaikkan masing-masing 75 bps. Pelaku pasar tidak hanya menyorot soal kenaikan suku bunga acuan di bulan September karena memang sudah diantisipasi.
Namun pelaku pasar was-was terhadap ungkapĀ Ketua The Fed yang memberikan sinyal akan membawa suku bunga menjadi 4,4% pada akhir 2022 mendatang dan menaikkan 4,6% untuk perkiraan tahun depan. Efek pengetatan ini, konsensus memperkirakan akan ada kenaikan 75 bp di bulan November.
Inilah yang menjadi ketakutan di pasar dan akan terasa di seluruh pasar baik itu pasar saham, tenaga kerja, serta perumahan.
Namun dalam meredam inflasi yang telah mencapai level tertingginya, Powell tidak pernah mengatakan bahwa resesi adalah proyeksinya, meskipun para ekonom di Nomura memperkirakan AS akan masuk ke jurang resesi tahun ini.
Potensi resesi global semakin nyata dan nyaring bunyinya. Pelaku pasar makin khawatir akan perekonomian global yang kembali lesu kedepannya. Negara-negara akan kembali mengalami perlambatan ekonomi dan tingkat pengangguran akan mengalami kenaikan akibat dari resesi global.
Kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) menciptakan gejolak pasar keuangan global. Aliran modal bergerak keluar alias outflow dari negara berkembang, termasuk dari Indonesia.
Aliran modal keluar menjadi tak terhindarkan. Sementara pada rentang waktu 19-22 September, dana asing yang kabur sebanyak Rp 3,80 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Sementara dari awal tahun hingga 22 September 2022 dana asing yang kabur mencapai Rp 148,11 triliun di pasar SBN.
"Tentu melihat dinamika ini perlu diwaspadai, volatilitas ini memicu outflow terutama bond holder," terang Sri Mulyani.
Kepemilikan asing pada SBN Indonesia kini tersisa 14,7%. Turun tajam dibandingkan 2019 yang mencapai 38%. Kondisi menimbulkan dampak positif dan negatif bagi perekonomian nasional.
"Di satu sisi menimbulkan stabilitas, karena tidak mudah terguncang dengan outflow. Namun bond holder oleh perbankan dan BI," pungkasnya.
Di sisi lain, kabar dari Eropa terutama di Inggris, mata uang Poundsterling mencetak rekor terendahnya terhadap dolar pada Senin (26/9/2022) hari ini, di tengah melonjaknya kekhawatiran tentang ekonomi Inggris setelah pemerintah mengumumkan anggaran pemotongan pajak yang besar.
Itu juga jatuh ke level terendah dua tahun terhadap euro, meskipun mata uang tunggal tetap di bawah tekanan terhadap dolar AS. Pengamat memperingatkan bahwa pound bisa jatuh lebih jauh.
"Kejatuhan poundsterling menunjukkan pasar kurang percaya diri di Inggris dan kekuatan finansialnya sedang dikepung," kata Jessica Amir, dari Saxo Capital Markets.
Tak hanya mata uang dan pasar saham saja, komoditas yang sebelumnya melesat akibat adanya perang dan inflasi pada hari ini juga terkoreksi parah. Seperti di komoditas minyak mentah yang pada pekan lalu merosot lebih dari 5%.
Kemudian batu bara pada pekan lalu ambruk 4,16% dan pekan ini diramal koreksinya akan berlanjut, dan beberapa komoditas lainnya yang juga terpantau ambruk.
Koreksi yang terjadi di hampir seluruh pasar keuangan global dikarenakan investor semakin khawatir bahwa potensi resesi akan menyebabkan krisis yang cukup besar. Ditambah lagi, Tahun depan The Fed masih berpotensi kembali menaikkan suku bunga acuan. Proyeksi tersebut yang akhirnya membuat pasar keuangan global kembali dilanda dengan koreksi.
Di tengah kekhawatitan pasar, ada kabar baik dari bank of Japan (BOJ) memutuskan untuk mempertahankan kebijakan moneter ultra-longgarnya, meskipun yen Jepang sempat anjlok terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pekan lalu.
Pada Senin (26/9/2022), BOJ menggelar pertemuan di Osaka Jepang. Dalam pidatonya, Gubernur BOJ Haruhiko Kuroda menyatakan bahwa ketidakpastian atas prospek ekonomi dunia meningkat karena langkah-langkah kebijakan moneter baru-baru ini oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) (Federal Reserve/The Fed) meningkatkan perlambatan pertumbuhan global.
Namun, Kuroda mengambil langkah berbeda dengan The Fed dan menyatakan akan melanjutkan pelonggaran moneternya untuk meningkatkan ekonomi Jepang dan membuat kondisi keuangan yang akomodatif dengan mengalihkan fokusnya dengan memenuhi berbagai kebutuhan pembiayaan pada bisnis.
Kuroda memperingatkan bahwa inflasi kemungkinan akan meningkat lebih jauh pada akhir tahun ini, tapi ia memproyeksikan bahwa inflasi akan turun di bawah 2% pada awal 2023.
(aum/luc)