Newsletter

Deg-degan! Harga BBM & MH Thamrin Pengaruhi IHSG Hari Ini

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
Senin, 22/08/2022 06:15 WIB
Foto: Ilustrasi Bursa (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri pada pekan lalu cenderung beragam, di mana pasar saham dalam negeri terpantau kembali menghijau, sedangkan pasar mata uang dan pasar obligasi pemerintah cenderung kurang menggembirakan

Sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat masih menguat 0,61% secara point-to-point (ptp). Dengan demikian, IHSG berhasil menguat lima pekan beruntun.

Namun, pada perdagangan Jumat (19/8/2022) lalu, IHSG ditutup melemah 0,2% ke 7.172,43. Bahkan pada pekan ini, IHSG terus 'pepet' zona psikologisnya di 7.200.

Mengutip data bursa, pada pekan lalu, investor asing tercatat mengoleksi saham-saham di Tanah Air dengan catatan beli bersih (net buy) mencapai Rp 2,99 triliun di semua pasar.

Dari pasar reguler asing diketahui mengoleksi saham mencapai Rp 2,71 triliun, sedangkan di pasar negosiasi juga mengoleksi saham di RI sebesar Rp 271,59 miliar.

Di kawasan Asia-Pasifik, bursa sahamnya bergerak bervariasi pada pekan lalu. Selain IHSG, indeks saham lain yang menguat adalah PSEI Filipina (4,66%), Nikkei 225 Jepang (1,4%), Weighted Index Taiwan (0,78%), dan Sensex India (0,31%).

Sedangkan yang melemah adalah SETI Thailand (-0,33%), Shanghai Composite China (-0,57%), Straits Times Singapura (0,7%), dan Hang Seng (-2%).

Sedangkan dari pasar mata uang dalam negeri, yakni rupiah, sepanjang pekan lalu terpantau ambles hingga lebih dari 1%, tepatnya ambles 1,16% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) secara point-to-point (ptp).

Pada perdagangan akhir pekan lalu, mata uang Garuda ditutup di Rp 14.835/US$. Melemah tipis 0,03% dari posisi hari sebelumnya.

Meski melemah, tetapi depresiasi rupiah ternyata masih lumayan, tidak sedalam mata uang negara-negara tetangga. Yen Jepang, misalnya, melemah 2,48% sepanjang pekan lalu dan jadi yang terlemah di Benua Kuning.

Sementara won Korea Selatan melemah 2,37%, yuan China melemah 1,52%, dan dolar Singapura melemah 1,52%.

Sementara di pasar obligasi pemerintah RI atau surat berharga negara (SBN), imbal hasil (yield) SBN pada pekan lalu kompak menguat, menandakan bahwa investor cenderung melepasnya.

Mengacu pada data Refinitiv, SBN bertenor 5 tahun menjadi yang paling tinggi kenaikan yield-nya pada pekan lalu. Yield SBN tenor 5 tahun menguat 12,6 basis poin (bp) ke 6,415%, dari sebelumnya di posisi 6,289%.

Sedangkan, SBN tenor 25 tahun menjadi yang paling rendah kenaikan yield-nya sepanjang pekan lalu, yakni naik 0,6 bp ke posisi 7,557%, dari sebelumnya di 7,551%.

Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan obligasi acuan negara menanjak 12,3 bp ke posisi 7,094%, dari sebelumnya pada perdagangan Jumat dua pekan sebelumnya di 6,971%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Salah satu faktor penopang IHSG adalah keputusan Bank Indonesia (BI) yang belum menaikkan suku bunga acuan. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pekan depan, kemungkinan Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat belum akan menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate.

Sejak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid19), BI menurunkan suku bunga acuan secara agresif hingga ke 3,5%, yang bertahan hingga saat ini. Suku bunga acuan 3,5% adalah yang terendah sepanjang sejarah Indonesia merdeka.

"Alasan utama BI belum menaikkan suku bunga adalah inflasi inti yang masih relatif rendah, yang mencerminkan pemulihan ekonomi belum cukup cepat untuk menghadapi kenaikan suku bunga. BI akan menunggu sampai inflasi inti memanas. Selain itu, rupiah masih cukup kuat," papar Irman Faiz, Ekonom Bank Danamon, kepada Reuters.

Iklim suku bunga rendah kondusif bagi pasar saham. Sebab, biaya ekspansi emiten masih murah sehingga tetap menjanjikan laba. Saat emiten mampu mencatat pertumbuhan laba, maka investor boleh berharap akan dividen atau sekadar capital gain.

Sedangkan, melemahnya rupiah pada pekan lalu disebabkan karena masih kuatnya sang greenback (dolar AS). Pekan lalu, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 2,24%.

Sejak akhir 2021 (year-to-date/YTD), Dollar Index sudah melesat 12,51%. Dalam setahun terakhir, kenaikannya mencapai 15,4%.

'Beking' dolar AS adalah ekspektasi kenaikan suku bunga acuan. Sejumlah pejabat teras bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) kembali menyuarakan perlunya kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut, meski inflasi Negeri Paman Sam sudah mulai melandai.

Mengutip CME FedWatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebanyak 50 bp pada rapat 22 September 2022 adalah 44,5%. Sedangkan peluang kenaikan 75 bp ada di 55,5%. Bisa dibilang dua kemungkinan ini sama besarnya, tidak ada perbedaan yang mencolok.

Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengangkat imbalan investasi aset-aset berbasis dolar AS, terutama instrument berpendapatan tetap. Ini membuat permintaan dolar AS meningkat sehingga nilai tukarnya menguat. Jadi jangan heran kalau rupiah dan mata uang Asia berguguran.


(chd/chd)
Pages