Dunia Diramal Resesi Tahun Depan, Amankan Duit di Mana Nih?
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial Indonesia 'babak belur' pada pekan lalu. Kecemasan akan resesi, ditambah dengan inflasi di dalam negeri yang semakin meninggi membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dilanda aksi jual. Rupiah juga terkena imbasnya, tetapi pasar obligasi masih bervariasi.
Pada perdagangan Senin (4/6/2022), ada sedikit kabar baik dari Amerika Serikat (AS) yang bisa membuat pasar finansial Indonesia. Tetapi isu resesi dunia juga masih mempengaruhi sentimen pelaku pasar. Analis memberikan saran divestasi investasi melihat dunia menuju resesi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar hari ini akan di bahas pada halaman 3 dan 4.
Melansir data Refinitiv, IHSG sepanjang pekan lalu jeblok hingga 3,5% ke 6.794,328 yang merupakan posisi terendah sejak 19 Mei. Dalam 4 hari perdagangan IHSG juga tak pernah menguat, dengan investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih (net sell) sekitar Rp 3,9 triliun di pasar reguler, nego dan tunai.
Dengan capital outflow tersebut, sepanjang tahun ini net buy asing di pasar saham Indonesia berkurang menjadi Rp 6,1 triliun.
Sementara itu rupiah dalam sepekan tercatat melemah 0,61% ke Rp 14.935/US$, bahkan sempat menyentuh Rp 14.970/US$ yang merupakan level terlemah dalam lebih dari 2 tahun terakhir.
Selain itu, rupiah juga mencatat pelemahan 4 pekan beruntun dengan total sekitar 3,5%.
Dari pasar obligasi, beberapa yield Surat Berharga Negara (SBN) justru mengalami penurunan signifikan.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika yield turun harganya naik, begitu juga sebaliknya. Saat harga naik, berarti ada aksi beli.
Yield SBN tenor 3 tahun mengalami penurunan lebih dari 21 basis poin, tenor 5 tahun bahkan lebih dari 45 basis poin. Penurunan yang tajam berarti ada aksi beli yang besar.
SBN merupakan aset yang lebih aman ketimbang saham, memberikan return yang tetap. Penguatan beberapa SBN tersebut sementara IHSG jeblok mengindikasikan adanya rotasi investasi.
Itu artinya, para investor mengantisipasi terjadinya pelambatan ekonomi. Amerika Serikat memang diperkirakan akan mengalami resesi akibat bank sentralnya (The Fed) yang sangat agresif menaikkan suku bunga guna meredam inflasi.
Ketika negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu mengalami resesi, maka akan berimbas ke negara lainnya.
Indonesia juga tengah bersiap menghadapi inflasi yang semakin tinggi. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono Jumat pekan lalu melaporkan inflasi pada Juni 2022 tercatat 0,61% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Inflasi tahun kalender adalah 3,19%
Secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi Juni 2022 berada di 4,35%. Lebih tinggi dibandingkan Mei 2022 yang 3,55% sekaligus jadi yang tertinggi sejak Juni 2017.
Rilis tersebut lebih tinggi dari konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi secara bulanan sebesar 0,44%. Sedangkan inflasi tahunan 'diramal' 4,15%.
Kenaikan inflasi tersebut juga lebih tinggi dari konsensus Trading Economics sebesar 4,17%, tetapi jika dilihat inflasi inti justru lebih rendah.
BPS melaporkan inflasi inti tumbuh 2,63% (yoy) dari sebelumnya 2,58% (yoy), sementara konsensus di Trading Economics memperkirakan sebesar 2,72% (yoy).
Hal ini bisa menjadi sinyal jika daya beli masyarakat mulai tergerus akibat kenaikan inflasi, yang tentunya berdampak buruk bagi perekonomian.
Penurunan daya beli tersebut terjadi akibat inflasi kelompok volatile yang menembus 2,51% (mtm) dan 10,07% (yoy). Level tersebut menjadi yang tertinggi sejak Desember 2014 atau 7,5 tahun terakhir. Jika dilihat lagi inflasi volatile meroket di item bahan makanan yang mencapai 2,3% (mtm) dan 9,57% (yoy).
Inflasi Indonesia diperkirakan belum akan mereda pada paruh kedua tahun ini. Pemulihan ekonomi dalam negeri akan mendorong sisi permintaan sehingga tekanan inflasi, terutama inflasi inti akan meningkat.
Margo mengingatkan pemerintah juga akan menaikkan tarif dasar listrik untuk kalangan menengah ke atas mulai Juli sehingga inflasi pada kelompok harga diatur pemerintah bisa merangkak naik. Indonesia juga akan mengawali musim ajaran baru pada Juli-Agustus yang bisa mendongkrak inflasi.
Data BPS juga menunjukkan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) untuk komoditas impor dan berbahan baku impor mengalami peningkatan yang persisten. Termasuk di dalamnya adalah tepung terigu dan bubuk urea. IHPB industri mencapai 0,37% (mtm) dan 5,39 (yoy), IHPB pada pertanian 1,96% (mtm) dan 2,95% (yoy).
"Dampak dari pembatasan ekspor (sejumlah negara) sudah mulai sampai ke kita tetapi masih pada level perdagangan besar. Belum sampai ke konsumen," tutur Margo.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Lagi-Lagi Ambrol
(pap/pap)