Newsletter

Wall Street Jatuh ke Bear Market Lagi, IHSG Siaga 1!

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
17 June 2022 06:10
Ilustrasi Jerome Powell (CNBC Indonesia/ Edward Ricardo)
Foto: ilustrasi Jerome Powell (Edward Ricardo/ CNBC Indonesia)

Amblesnya bursa saham Wall Street kemarin bisa menjadi katalis negatif untuk bursa saham Asia, termasuk Indonesia tentunya.

Namun, pelaku pasar juga patut mencermati berbagai sentimen lainnya hari ini.

Sentimen internal yang masih patut diperhatikan adalah rilis penjualan kendaraan roda dua atau sepeda motor di Indonesia per Mei yang dijadwalkan akan dirilis malam ini waktu Indonesia.

Penjualan barang-barang kebutuhan tersier kerap menjadi indikator penanda ke mana ekonomi akan bergerak. Ketika penjualan barang tersier tumbuh tinggi, maka ekonomi pun demikian.

Wajar saja, salah satu indikator untuk mengeker arah pertumbuhan ekonomi adalah penjualan kendaraan bermotor, baik itu mobil maupun sepeda motor. Jika penjualan mobil dan motor melesat, maka pertumbuhan ekonomi juga kencang.

Sebagai contoh, saat ekonomi Indonesia tumbuh di kisaran 6% pada 2011, penjualan sepeda motor dan mobil mampu tumbuh dua digit. Bahkan mendekati 30%.

Sementara itu, sentimen eksternal yang patut dicermati para pelaku pasar yakni keputusan suku bunga dari bank sentral Jepang (BOJ) yang dijadwalkan akan dirilis pagi hari ini waktu Indonesia.

BOJ diprediksikan akan menahan suku bunga rendah ketika bank sentral lainnya berlomba-lomba untuk bertindak agresif untuk meredam inflasi.

Sebagai informasi, BOJ masih menerapkan suku bunga minus 0,1% dan menyatakan akan terus mempertahankannya hingga inflasi mencapai 2%. BoJ juga memproyeksikan inflasi di tahun fiskal 2022 yang dimulai April akan sebesar 1,1%, naik dari proyeksi sebelumnya 0,9%.

Artinya, proyeksi inflasi masih di bawah target BoJ 2%, sehingga suku bunga kemungkinan tidak akan dinaikkan setidaknya hingga satu tahun ke depan.

Hal tersebut memicu pelemahan pada nilai tukar yen Jepang yang terpuruk terhadap dolar AS. Padahal, yen Jepang merupakan salah satu aset safe haven paling populer. Bahkan, pada perdagangan Rabu (15/6), yen sempat menyentuh level terlemah sejak Oktober 1998 ke JPY 135,58/US$.

Di sepanjang tahun ini, yen terkoreksi lebih dari 6% di hadapan sang greenback. Sedangkan, yen terhadap rupiah terkoreksi lebih dari 10%.

Hasil survei terbaru yang dilakukan Reuters terhadap 25 ekonom menunjukkan 18 orang memperkirakan yen akan terus melemah. Dari 18 ekonom tersebut, 9 orang memperkirakan yen akan merosot hingga akhir tahun ini, 4 orang sampai semester pertama 2023, dan 5 orang memprediksi hingga semester kedua 2023.

Maka dari itu, investor sebaiknya menghindari yen Jepang untuk beberapa saat ini sambil melihat perkembangan dari BOJ.

Selain itu, investor juga patut mengamati pernyataan Ketua The Fed Jerome Powell yang akan memberikan pernyataanya pada malam hari ini waktu Indonesia.

Rilis data ekonomi di AS yang telah dirilis pekan ini menunjukkan tanda-tanda perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Sebagai contoh, data perumahan AS yang menunjukkan perlambatan secara bulanan di 14,4% per Mei, kontraksi pada produksi manufaktur di wilayah Philadelphia, dan klaim pengangguran secara mingguan naik dan melampaui ekspektasi pasar.

Tidak hanya itu, angka kepercayaan konsumen di AS menyentuh titik terendah sepanjang sejarah, belanja ritel turun di tengah harga produk dan barang melonjak, dan juga inflasi yang menyentuh rekor tertinggi selama 41 tahun.

Akibatnya, sentimen pasar menjadi suram dan berubah menjadi negatif hingga mengerek turun bursa saham Wall Street kemarin.

"Apa yang dikhawatirkan pasar, bahkan sebelum mengalami resesi adalah kesalahan pada kebijakan karena Thef Fed melanggar sesuatu. Pasar juga mempertanyakan komentarnya bahwa apakah ekonomi kuat," tutur Kepala Perencana Ekuitas LPL Financial Quincy Krosby dikutip dari CNBC International.

Dia juga menambahkan bahwa The Fed memiliki sedikit kendali atas pemicu inflasi seperti harga energi dan pangan. Menurutnya The Fed hanya bertindak agresif untuk mengendalikan harga bahan bakar.

Sebagai informasi, ada tiga faktor yang dapat memicu kenaikan pada Indeks Harga Konsumen (IHK) di AS, yang biasa digunakan sebagai acuan untuk mengukur inflasi di tingkat konsumen. Ketiga faktor tersebut berasal dari pangan, energi, dan sektor perumahan.

Ketiga faktor tersebut berkontribusi sebanyak 54% dari IHK yang menjadi input utama dalam inflasi.

Bahkan, Bank Dunia dalam laporan terbarunya menyebutkan Amerika Serikat (AS) yang tumbuh pada 2021 sebesar 5,7% harus rela turun menjadi 2,5% tahun ini.

Pelemahan ekonomi negeri Paman Sam tersebut disebabkan oleh lonjakan inflasi yang kini sudah mencapai 8,6% yoy yang diatasi dengan kenaikan suku bunga acuan yang agresif.

Perlambatan ekonomi AS tentunya juga akan berdampak pada Tanah Air karena AS merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia, sehingga dikhawatirkan ekspor Indonesia akan mengalami kontraksi. Ekspor merupakan indikator ekonomi atau fundamental yang dapat menjaga stabilitas ekonomi Indonesia.

Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani pada Kamis (16/6) memberikan pernyataan terhadap strateginya dalam menjaga stabilitas ekonomi Indonesia.

"Kami di Kementerian Keuangan akan tetap menjaga supaya fundamental kita juga makin kuat, seperti ekspor yang membaik, kemudian foreign direct investment bisa masuk, pertumbuhan ekonomi kita menguat, stabilitas dan inflasi kita tetap baik,"

"Kalau Indonesia bisa menjaga itu, maka Indonesia dalam posisi yang jauh lebih baik dan itu menyebabkan kita berbeda dengan negara-negara lain," tuturnya.

(aaf/luc)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular