Newsletter

Wall Street Jatuh ke Bear Market Lagi, IHSG Siaga 1!

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
17 June 2022 06:10
Ilustrasi IHSG
Foto: Ilustrasi IHSG (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja aset keuangan Tanah Air cenderung tak kompak pada perdagangan kemarin (16/6/2022), indeks saham dan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) menguat dan rupiah melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).

IHSG berhasil mempertahankan performa ciamiknya di perdagangan Kamis (16/6), di mana IHSG konsisten berada di zona hijau. Pada sesi I, IHSG melesat 1,62%, sebelum akhirnya memangkas keperkasaanya dan berakhir menguat 0,62% ke 7.050,33.

Investor masih rajin 'memarkir' dananya dengan net buy (pembelian bersih) senilai Rp 397,52 miliar di seluruh pasar, dengan rincian senilai Rp 392 miliar di pasar reguler dan Rp 5,38 miliar di pasar tunai dan negosiasi.

Beda nasib, mayoritas indeks saham di Asia justru tertekan. Indeks Hang Seng Hong Kong ambles 2,17% ke 20.845,43 dan menjadi pemimpin penurunan karena beberapa saham teknologi China yang terdaftar di bursa Hong Kong menjadi beban pergerakan indeks Hang Seng kemarin.

Indeks Shanghai ditutup melemah 0,61% ke 3.285,38, Straits Times terkoreksi 0,27% ke 3.097,43, dan ASX 200 turun 0,15%.

Sementara untuk sisanya yakni indeks Nikkei Jepang ditutup menguat 0,4% ke posisi 26.431,199, KOSPI Korea Selatan naik 0,16% ke 2.451,41.

Nasib kurang mujur justru dialami rupiah. Mata uang Tanah Air harus berakhir terkoreksi 0,17% ke Rp 14.765/US$ dan menjadi titik terendah sejak April 2020 atau 18 bulan yang lalu.

Sebenarnya, rupiah sempat menguat hingga di pertengahan perdagangan kemarin, bahkan penguatannya pun signifikan sebesar 0,34% ke Rp 14.690/US$.

Dengan begitu, rupiah telah melemah selama empat hari beruntun di hadapan si greenback.

Di pasar obligasi, harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) berakhir menguat kemarin, di mana investor masih mengevaluasi kebijakan moneter terbaru dari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).

Mayoritas investor memburu SBN setelah beberapa hari mereka melepasnya, ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield). Hanya SBN berjangka panjang yakni tenor 25 dan 30 tahun yang cenderung dilepas oleh investor ditandai dengan naiknya yield dan harganya yang melemah.

Yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara berbalik turun 2,4 bp ke 7,411% pada perdagangan kemarin.

Namun, di saat bersamaan yield US Treasury 10 tahun juga turun mencapai 3,246%.

Dengan begitu, spread (selisih) suku bunga AS dan Indonesia tidak terlalu jauh di 4,16% atau 416 basis poin. Sehingga, dapat memicu capital outflow dan investor beralih ke pasar obligasi AS, demi mencari keuntungan.

Hal tersebut mungkin saja menjadi biang kerok penurunan rupiah kemarin.

Menurut survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters, menunjukkan pelaku pasar menambah posisi jual (short) rupiah.

Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka positif berarti short mata uang rupiah dan beli (long) dolar AS dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.

Survei terbaru yang dirilis Kamis (16/6) menunjukkan angka untuk rupiah di 1,33. Semakin besar posisi long, maka nilai tukar dolar cenderung menguat, sehingga menjadi kabar kurang baik bagi rupiah.

piahSumber: Refinitiv

Bursa saham di Wall Street pada perdagangan Kamis (16/6) melemah.

Di mana indeks Dow Jones ambles dan berada di bawah level 30.000 untuk pertama kalinya sejak Januari 2021 karena investor cemas terhadap tindakan The Fed yang agresif untuk meredam inflasi dan akan membawa ekonomi AS ke jurang resesi.

Indeks Dow Jones anjlok 2,42% atau 741,46 poin ke 29.927,07 dan indeks S&P 500 ambles 3,25% ke 3.666,77. Sedangkan, Nasdaq jatuh 4,08% ke 10.646,10 dan menyentuh level terendahnya sejak September 2020.

Mayoritas indeks saham telah mengalami penurunan pekan ini, di mana indeks S&P 500 ambles 6% dan Nasdaq jath 6,1%. Hal serupa terjadi pada indeks Dow Jones yang merosot 4,7% dan berada pada jalur penurunannya selama 11 pekan beruntun.

Indeks S&P 500 dan Nasdaq resmi berada di bear market (zona penurunan) dan berada 24% dan 34% dari rekor tertingginya masing-masing karena inflasi dan perlambatan ekonomi membebani investor. Sementara indeks Dow Jones berada 19% di bawah titik tertingginya di Januari.

Data perumahan AS kian mempertebal kekhawatiran seputar resesi, setelah ambles 14% per Mei, atau lebih buruk dari ekspektasi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan koreksi hanya 2,6%.

"Saatnya keluar dari dunia artifisial yakni injeksi likuiditas masif yang terprediksi di mana semua orang terbiasa dengan suku bunga acuan nol, di mana kita bisa bertingkah dengan berinvestasi sebagian di pasar yang tak seharusnya menjadi tujuan investasi," tutur Kepala Penasihat Investasi Allianz Mohamed El-Erian kepadaCNBC International.

Sentimen pasar tampak suram pada perdagangan kemarin karena bank sentral di seluruh dunia mengadopsi sikap agresif pada kebijakan moneternya dan investor mempertanyakan apakah The Fed dapat melakukan "soft landing" tanpa mendorong ekonomi AS ke resesi.

Amblesnya bursa saham Wall Street kemarin bisa menjadi katalis negatif untuk bursa saham Asia, termasuk Indonesia tentunya.

Namun, pelaku pasar juga patut mencermati berbagai sentimen lainnya hari ini.

Sentimen internal yang masih patut diperhatikan adalah rilis penjualan kendaraan roda dua atau sepeda motor di Indonesia per Mei yang dijadwalkan akan dirilis malam ini waktu Indonesia.

Penjualan barang-barang kebutuhan tersier kerap menjadi indikator penanda ke mana ekonomi akan bergerak. Ketika penjualan barang tersier tumbuh tinggi, maka ekonomi pun demikian.

Wajar saja, salah satu indikator untuk mengeker arah pertumbuhan ekonomi adalah penjualan kendaraan bermotor, baik itu mobil maupun sepeda motor. Jika penjualan mobil dan motor melesat, maka pertumbuhan ekonomi juga kencang.

Sebagai contoh, saat ekonomi Indonesia tumbuh di kisaran 6% pada 2011, penjualan sepeda motor dan mobil mampu tumbuh dua digit. Bahkan mendekati 30%.

Sementara itu, sentimen eksternal yang patut dicermati para pelaku pasar yakni keputusan suku bunga dari bank sentral Jepang (BOJ) yang dijadwalkan akan dirilis pagi hari ini waktu Indonesia.

BOJ diprediksikan akan menahan suku bunga rendah ketika bank sentral lainnya berlomba-lomba untuk bertindak agresif untuk meredam inflasi.

Sebagai informasi, BOJ masih menerapkan suku bunga minus 0,1% dan menyatakan akan terus mempertahankannya hingga inflasi mencapai 2%. BoJ juga memproyeksikan inflasi di tahun fiskal 2022 yang dimulai April akan sebesar 1,1%, naik dari proyeksi sebelumnya 0,9%.

Artinya, proyeksi inflasi masih di bawah target BoJ 2%, sehingga suku bunga kemungkinan tidak akan dinaikkan setidaknya hingga satu tahun ke depan.

Hal tersebut memicu pelemahan pada nilai tukar yen Jepang yang terpuruk terhadap dolar AS. Padahal, yen Jepang merupakan salah satu aset safe haven paling populer. Bahkan, pada perdagangan Rabu (15/6), yen sempat menyentuh level terlemah sejak Oktober 1998 ke JPY 135,58/US$.

Di sepanjang tahun ini, yen terkoreksi lebih dari 6% di hadapan sang greenback. Sedangkan, yen terhadap rupiah terkoreksi lebih dari 10%.

Hasil survei terbaru yang dilakukan Reuters terhadap 25 ekonom menunjukkan 18 orang memperkirakan yen akan terus melemah. Dari 18 ekonom tersebut, 9 orang memperkirakan yen akan merosot hingga akhir tahun ini, 4 orang sampai semester pertama 2023, dan 5 orang memprediksi hingga semester kedua 2023.

Maka dari itu, investor sebaiknya menghindari yen Jepang untuk beberapa saat ini sambil melihat perkembangan dari BOJ.

Selain itu, investor juga patut mengamati pernyataan Ketua The Fed Jerome Powell yang akan memberikan pernyataanya pada malam hari ini waktu Indonesia.

Rilis data ekonomi di AS yang telah dirilis pekan ini menunjukkan tanda-tanda perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Sebagai contoh, data perumahan AS yang menunjukkan perlambatan secara bulanan di 14,4% per Mei, kontraksi pada produksi manufaktur di wilayah Philadelphia, dan klaim pengangguran secara mingguan naik dan melampaui ekspektasi pasar.

Tidak hanya itu, angka kepercayaan konsumen di AS menyentuh titik terendah sepanjang sejarah, belanja ritel turun di tengah harga produk dan barang melonjak, dan juga inflasi yang menyentuh rekor tertinggi selama 41 tahun.

Akibatnya, sentimen pasar menjadi suram dan berubah menjadi negatif hingga mengerek turun bursa saham Wall Street kemarin.

"Apa yang dikhawatirkan pasar, bahkan sebelum mengalami resesi adalah kesalahan pada kebijakan karena Thef Fed melanggar sesuatu. Pasar juga mempertanyakan komentarnya bahwa apakah ekonomi kuat," tutur Kepala Perencana Ekuitas LPL Financial Quincy Krosby dikutip dari CNBC International.

Dia juga menambahkan bahwa The Fed memiliki sedikit kendali atas pemicu inflasi seperti harga energi dan pangan. Menurutnya The Fed hanya bertindak agresif untuk mengendalikan harga bahan bakar.

Sebagai informasi, ada tiga faktor yang dapat memicu kenaikan pada Indeks Harga Konsumen (IHK) di AS, yang biasa digunakan sebagai acuan untuk mengukur inflasi di tingkat konsumen. Ketiga faktor tersebut berasal dari pangan, energi, dan sektor perumahan.

Ketiga faktor tersebut berkontribusi sebanyak 54% dari IHK yang menjadi input utama dalam inflasi.

Bahkan, Bank Dunia dalam laporan terbarunya menyebutkan Amerika Serikat (AS) yang tumbuh pada 2021 sebesar 5,7% harus rela turun menjadi 2,5% tahun ini.

Pelemahan ekonomi negeri Paman Sam tersebut disebabkan oleh lonjakan inflasi yang kini sudah mencapai 8,6% yoy yang diatasi dengan kenaikan suku bunga acuan yang agresif.

Perlambatan ekonomi AS tentunya juga akan berdampak pada Tanah Air karena AS merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia, sehingga dikhawatirkan ekspor Indonesia akan mengalami kontraksi. Ekspor merupakan indikator ekonomi atau fundamental yang dapat menjaga stabilitas ekonomi Indonesia.

Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani pada Kamis (16/6) memberikan pernyataan terhadap strateginya dalam menjaga stabilitas ekonomi Indonesia.

"Kami di Kementerian Keuangan akan tetap menjaga supaya fundamental kita juga makin kuat, seperti ekspor yang membaik, kemudian foreign direct investment bisa masuk, pertumbuhan ekonomi kita menguat, stabilitas dan inflasi kita tetap baik,"

"Kalau Indonesia bisa menjaga itu, maka Indonesia dalam posisi yang jauh lebih baik dan itu menyebabkan kita berbeda dengan negara-negara lain," tuturnya.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Keputusan suku bunga acuan Jepang (10:00 WIB)
  • Data Inflasi Eropa per Mei (16:00 WIB)
  • Indeks Harga Konsumen (IHK) Eropa per Mei (16:00 WIB)
  • Pernyataan Ketua The Fed Jerome Powell (19:45 WIB)
  • Produksi industri AS per Mei (20:15 WIB)
  • Angka penjualan motor Indonesia per Mei (21:00 WIB)

Agenda Korporasi Hari Ini:

  • Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Voksel Electric Tbk (10:00 WIB)
  • Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan dan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Metro Realty Tbk (10:00 WIB)
  • Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Gunung Raja Paksi Tbk (14:00 WIB)
  • Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Duta Pertiwi Nusantara Tbk (14:00 WIB)
  • Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Bakrie & Brothers Tbk (14:00 WIB)
  • Pembagian dividen PT Temas Tbk
  • Pembagian dividen PT Dana Brata Luhur Tbk
  • Pembagian dividen PT Indo Oil Perkasa Tbk
  • Pembagian dividen PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk
  • Pembagian dividen PT Cisarua Mountain Dairy Tbk
  • Pembagian dividen PT Alkindo NaratamaTbk

Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:

 

 Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q I-2022 YoY)

5,01%

Inflasi (Mei 2022 YoY)

3.55%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Mei 2022)

3,5%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022)

(4,85% PDB)

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q I-2022)

0,1% PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q I-2022)

(US$ 1,8 miliar)

Cadangan Devisa (Mei 2022)

US$ 135,6 miliar

 TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular