Newsletter

Alert! Wall Street Ambles Lagi, IHSG Waspada

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
14 June 2022 06:10
Bendera Amerika Serikat
Foto: Bendera Amerika Serikat (Photo by Win McNamee/Getty Images)

Pelaku pasar di dalam negeri perlu mencermat sentimen dari pergerakan bursa saham Wall Street yang ditutup ambles pada perdagangan Senin (13/6) karena pasar merespons negatif terhadap melonjaknya inflasi dari sektor konsumen (IHK) per Mei yang melampaui ekspektasi pasar.

Jatuhnya bursa saham AS, tentunya menjadi sinyal negatif bagi pasar saham Asia dan Indonesia karena bursa saham Paman Sam tersebut menjadi kiblat pasar saham dunia. Jika Wall Street anjlok, ada potensi IHSG ikut ambruk.

Pada pekan lalu, inflasi dari sisi konsumen AS yakni consumer price index (CPI) pada Mei 2022 melesat 8,6% secara tahunan (year-on-year/yoy). Inflasi tersebut naik dari bulan sebelumnya 8,3% (yoy) dan menjadi rekor tertinggi sejak 1981.

Hari ini, investor akan disuguhkan dengan dirilis data indeks harga produsen (producer price index/PPI) AS per Mei yang akan menunjukkan inflasi dari sektor produsen.

Ketika inflasi di produsen tinggi, maka ada risiko inflasi pada indeks harga konsumen juga akan melesat dalam beberapa bulan ke depan. Sebab, produsen kemungkinan besar akan menaikkan harga jual produknya.

Selain itu, inflasi yang melonjak membuat imbal hasil (yield) obligasi tenor 10 tahun kembali menyentuh level tertinggi ke 3,381% sejak 2011 kemarin. Yield obligasi tenor 2 tahun berada di 3,283% menjadi titik tertinggi sejak Desember 2007, sedangkan yield obligasi tenor 5 tahun naik ke 3,489% dan menjadi titik tertinggi sejak Juli 2008.

Para investor tak berani memegang obligasi jangka pendek dan membuat harganya tertekan sehingga yield nya naik.

Yield obligasi 2 tahun naik dan sempat melampaui yield tenor 10 tahun untuk pertama kalinya sejak April. Hal tersebut menandakan inversi imbal hasil yang dianggap sebagai indikator resesi.

Kenaikan yield obligasi tentu menjadi sentimen negatif bagi pasar global, terutama bagi saham-saham berbasis teknologi yang berkolerasi negatif denngan pergerakan yield obligasi.

Selain itu, pasar juga perlu mencermati pergerakan harga minyak mentah yang telah menanjak selama tujuh pekan beruntun.

Baru-baru ini, pemimpin Uni Eropa sepakat untuk melarang impor 90% minyak mentah Rusia pad akhir tahun.

Embargo minyak Rusia tersebut merupakan bagian dari paket sanksi keenam Uni Eropa terhadap Rusia sejak menyerang Ukraina. Organisasi Negara Pengekspor Minyak Mentah (OPEC) yang menaikkan tingkat produksinya juga belum mampu meredam kenaikan harga minyak mentah.

Tingginya harga minyak mentah dan komoditas energi lainnya menjadi pemicu utama inflasi tinggi di beberapa negara.

Harga energi berkontribusi besar terhadap kenaikan inflasi. Sepanjang Mei harga energi naik 3,9% dari bulan sebelumnya. Sementara dibandingkan Mei 2021, harga energi melonjak hingga lebih dari 34%.

(aaf/luc)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular