Kemarin, IHSG mengakhiri hari di 7.096,58. Anjlok 1,2% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Sementara indeks saham utama Asia ditutup cenderung variatif. Meski demikian, koreksi IHSG adalah yang terdalam, indeks saham negara-negara tetangga tidak ada yang minus sampai 1%.
Volume perdagangan tercatat melibatkan 25,09 miliar unit saham. Sedikit di bawah rata-rata 2022 yakni 23,36 miliar unit saham.
Sementara frekuensi perdagangan adalah 1,49 juta kali, juga di atas rerata 2022 yang 1,44 juta kali. Namun nilai perdagangan adalah Rp 14,99 triliun, agak jauh di bawah rata-rata 2022 yang Rp 16,06 triliun.
Investor asing masih betah 'bermain' di pasar saham Tanah Air, dengan mencatatkan beli bersih (net buy) Rp 396,84 miliar di seluruh pasar. Dengan begitu, investor asing membukukan net buy Rp 86,12 triliun sepanjang tahun ini.
Koreksi tidak hanya terjadi di pasar saham, tetapi juga pasar valas. Kemarin, rupiah melemah 0,1% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pasar spot. Rupiah menutup hari di posisi Rp 14.450/US$.
Seperti halnya di pasar ekuitas, pasar valas Benua Kuning pun bergerak variatif. Setidaknya rupiah kali ini tidak menjadi yang terlemah di Asia.
Beralih ke bursa saham AS, tiga indeks utama ditutup di zona hijau. Dow Jones Industrial Average (DJIA), S&P 500, dan Nasdaq Composite menguat masing-masing 0,04%, 0,31%, dan 0,4%.
Walau demikian, perdagangan berjalan tidak terlampau mulus. Investor sepertinya masih mengambil sikap hati-hati, terlihat dari kenaikan indeks yang relatif terbatas.
Rilis data ketenagakerjaan akhir pekan lalu sepertinya masih menancap di benak pelaku pasar. Departemen Ketenagakerjaan AS mengumumkan perekonomian Negeri Paman Sam menciptakan 390.000 lapangan kerja non-pertanian (non-farm payroll) pada Mei 2022. Ini adalah pencapaian terendah sejak April 2021.
Meski demikian, realisasi tersebut jauh di atas ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan non-farm payroll berada di 325.000.
Jadi meski angka perciptaan lapangan kerja relatif rendah, tetapi tetap jauh di atas perkiraan. Artinya, pemulihan ekonomi di Negeri Adidaya masih berada di jalur yang tepat.
"Pertanyaan besarnya adalah, apakah akan terjadi resesi? Saya rasa jawabannya tidak. Ini tentu kabar yang bagus," kata Chistopher Grisanti, Chief Equity Strategist di MAI Capital Management, seperti dikutip dari Reuters.
Akan tetapi, data yang cukup positif tersebut bisa menjadi pembenaran bagi bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) untuk mengetatkan kebijakan moneter secara agresif. Suku bunga acuan sepertinya akan dikerek sangat tinggi.
Berdasarkan CME FedWatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 1,25-1,5% pada rapat 15 Juni mendatang mencapai 98%. Pada akhir tahun, pasar memperkirakan suku bunga acuan Negeri Adikuasa berada di 2,75-3%, peluangnya 52,5%.
Agar lebih yakin lagi, pasar akan menunggu rilis data inflasi pada akhir pekan ini. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan inflasi AS pada Mei sebesar 8,3% year-on-year/yoy. Tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya, masih bertahan di level tinggi.
"Data inflasi mungkin tidak tertalu baik. Namun kita berharap lebih baik ketimbang Februari dan Maret," lanjut Grisanti.
Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu Wall Street yang finis di jalur hijau. Semoga hijaunya Wall Street bisa menjadi penyemangat pelaku pasar di Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah perkembangan seputar harga minyak. Arab Saudi memutuskan untuk menaikkan harga jual minyak ke pasar Asia, pembeli terbesar mereka.
Untuk kontrak Juli, harga jual resmi (Official Selling Price/OSP) untuk minyak jenis Arab Light naik dalam kisaran US$ 2,1-6,5/barel dibandingkan acuan Oman dan Dubai. Tidak jauh dari rekor tertinggi sepanjang masa yang tercipta bulan lalu. Lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan kenaikan US$ 1,5/barel.
 Sumber: Refinitiv |
"Kenaikan harga ini di luar dugaan. Kami bertanya-tanya dengan keputusan ini," tegas seorang trader, seperti diwartakan Reuters.
Sepertinya penyebab Negeri Raja Salman menaikkan harga minyak adalah ekspektasi peningkatan permintaan. Pembatasan sosial (social ditancing) yang semakin longgar seiring meredanya pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) membuat mobilitas orang-orang Asia meningkat, sehingga permintaan energi akan terangkat.
Kebijakan ini tentu akan dirasakan oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Bagi Indonesia, minyak dari Arab Saudi memegang peranan penting.
Indonesia adalah negara net importir minyak, produksi dalam negeri belum bisa memenuhi permintaan sehingga harus mengimpor. Arab Saudi adalah pemasok minyak terbesar bagi Negeri +62.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat volume impor minyak mentah dari Arab Saudi pada Januari-Maret 2022 adalah 1,81 juta ton. Nilainya US$ 1,3 miliar.
Kenaikan harga minyak Arab Saudi bagi Indonesia bisa berbuntut panjang. Betul bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkomitmen untuk tidak menaikkan harga BBM jenis Pertalite dengan menambah subsidi. Namun untuk BBM non-subsidi, kenaikan harga bukanlah sebuah hil yang mustahal.
Jadi, tekanan inflasi akibat harga energi bisa semakin terasa. BPS melaporkan Indeks Harga Komsumen (IHK) komponen energi pada Mei ada di 104,2. Rekor tertinggi setidaknya sejak 2019.
Saat inflasi makin tinggi, maka yang dipertaruhkan adalah daya beli. Penurunan daya beli akan menyebabkan perlambatan ekonomi, karena konsumsi adalah kontributor terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Selain itu, percepatan laju inflasi akan membuat Bank Indonesia (BI) kian yakin untuk mengikuti jejak bank sentral lain, menaikkan suku bunga acuan. Sampai saat ini, suku bunga acuan masih bertahan di 3,5%, terendah sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
Kenaikan suku bunga acuan memang menjadi obat untuk meredam ekspektasi inflasi. Namun sebagaimana obat, ada efek samping yang perlu diperhatikan.
Efek samping itu (lagi-lagi) adalah risiko perlambatan ekonomi. Sebab kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek suku bunga di level perbankan, termasuk untuk kredit.
Saat suku bunga kredit perbankan naik, maka biaya ekspansi rumah tangga maupun dunia usaha akan lebih mahal. Ekspansi pun bakal terbatas, sehingga membatasi pertumbuhan ekonomi Ibu Pertiwi.
Halaman Selanjutnya --> Simak Agenda dan Rilis Data Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Pembagian dividen PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.
- Pembagian dividen PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk.
- Pembagian dividen PT Merck Tbk.
- Pembagian dividen PT Bank Bumi Arta Tbk.
- Pembagian dividen PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk.
- Pembagian dividen PT Midi Utama Indonesia Tbk.
- Pembagian dividen PT Chitose Internasional Tbk.
- Pembagian dividen PT Phapros Tbk.
- Pembagian dividen PT Medikaloka Hermina Tbk.
- Pembagian dividen PT Mahkota Group Tbk.
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Indonesia Fibreboard Industry Tbk (09:00 WIB).
- Rapat Kerja Komisi V DPR dengan Menteri Perhubungan (10:00 WIB).
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Onix Capital Tbk (10:00 WIB).
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Supreme Cable Manufacturing & Commerce Tbk (10:00 WIB).
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Mitrabara Adiperdana Tbk (10:00 WIB).
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Obm Drilchem Tbk (10:00 WIB).
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Golden Eagle Energy Tbk (14:00 WIB).
- Rapat Umum Pemegang Saham PT Surya Esa Perkasa Tbk (15:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA