Newsletter

Harga Minyak Arab Naik! Ampun, Raja Salman...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 June 2022 06:05
Infografis: Raja Salman Paling Tajir Sedunia
Foto: Infografis/Raja Salman Paling Tajir Sedunia/Arie Pratama

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu Wall Street yang finis di jalur hijau. Semoga hijaunya Wall Street bisa menjadi penyemangat pelaku pasar di Asia, termasuk Indonesia.

Sentimen kedua adalah perkembangan seputar harga minyak. Arab Saudi memutuskan untuk menaikkan harga jual minyak ke pasar Asia, pembeli terbesar mereka.

Untuk kontrak Juli, harga jual resmi (Official Selling Price/OSP) untuk minyak jenis Arab Light naik dalam kisaran US$ 2,1-6,5/barel dibandingkan acuan Oman dan Dubai. Tidak jauh dari rekor tertinggi sepanjang masa yang tercipta bulan lalu. Lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan kenaikan US$ 1,5/barel.

crudeSumber: Refinitiv

"Kenaikan harga ini di luar dugaan. Kami bertanya-tanya dengan keputusan ini," tegas seorang trader, seperti diwartakan Reuters.

Sepertinya penyebab Negeri Raja Salman menaikkan harga minyak adalah ekspektasi peningkatan permintaan. Pembatasan sosial (social ditancing) yang semakin longgar seiring meredanya pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) membuat mobilitas orang-orang Asia meningkat, sehingga permintaan energi akan terangkat.

Kebijakan ini tentu akan dirasakan oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Bagi Indonesia, minyak dari Arab Saudi memegang peranan penting.

Indonesia adalah negara net importir minyak, produksi dalam negeri belum bisa memenuhi permintaan sehingga harus mengimpor. Arab Saudi adalah pemasok minyak terbesar bagi Negeri +62.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat volume impor minyak mentah dari Arab Saudi pada Januari-Maret 2022 adalah 1,81 juta ton. Nilainya US$ 1,3 miliar.


Kenaikan harga minyak Arab Saudi bagi Indonesia bisa berbuntut panjang. Betul bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkomitmen untuk tidak menaikkan harga BBM jenis Pertalite dengan menambah subsidi. Namun untuk BBM non-subsidi, kenaikan harga bukanlah sebuah hil yang mustahal.

Jadi, tekanan inflasi akibat harga energi bisa semakin terasa. BPS melaporkan Indeks Harga Komsumen (IHK) komponen energi pada Mei ada di 104,2. Rekor tertinggi setidaknya sejak 2019.


Saat inflasi makin tinggi, maka yang dipertaruhkan adalah daya beli. Penurunan daya beli akan menyebabkan perlambatan ekonomi, karena konsumsi adalah kontributor terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.


Selain itu, percepatan laju inflasi akan membuat Bank Indonesia (BI) kian yakin untuk mengikuti jejak bank sentral lain, menaikkan suku bunga acuan. Sampai saat ini, suku bunga acuan masih bertahan di 3,5%, terendah sepanjang sejarah Indonesia merdeka.


Kenaikan suku bunga acuan memang menjadi obat untuk meredam ekspektasi inflasi. Namun sebagaimana obat, ada efek samping yang perlu diperhatikan.

Efek samping itu (lagi-lagi) adalah risiko perlambatan ekonomi. Sebab kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek suku bunga di level perbankan, termasuk untuk kredit.

Saat suku bunga kredit perbankan naik, maka biaya ekspansi rumah tangga maupun dunia usaha akan lebih mahal. Ekspansi pun bakal terbatas, sehingga membatasi pertumbuhan ekonomi Ibu Pertiwi.

Halaman Selanjutnya --> Simak Agenda dan Rilis Data Hari Ini

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular