Newsletter

Kunci Pergerakan Pasar Hari Ini: Kabar Baik Inflasi

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
02 June 2022 06:10
Rilis BPS 17 Mei 2022 (Tangkapan layar youtube BPS)
Foto: Rilis BPS 17 Mei 2022 (Tangkapan layar youtube BPS)

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah mengalami tekanan di bulan Mei, pasar finansial Indonesia bakal mengawali perdagangan bulan Juni pada hari ini. Tekanan koreksi global membayangi rilis inflasi nasional pada hari ini.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang bulan lalu sempat jeblok hingga nyaris 10% ke 6.509,879, yang merupakan level terlemah sejak awal Desember tahun lalu. Namun, pelemahan terpangkas menjadi 1,1% ke 7.148,99 sepanjang Mei.

Investor asing tercatat masih yakin memburu aset berisiko tinggi nasional tersebut, dengan nilai pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 2,61 triliun. Sebanyak 511 miliar berpindah tangan sepanjang Mei, dengan nilai transaksi Rp 417,2 triliun.

Pemantulan(rebound) IHSG yang impresif tersebut tak mampu dikejar rupiah. Mata Uang Garuda tercatat melemah 0,59% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.580/US$, setelah sebelumnya sempat terpuruk hingga ke kisaran Rp 14.730/US$.

Nasib rupiah memang sedang kurang baik. Pada pertengahan Mei, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menyentuh 104,851, tertinggi sejak 2002 atau 20 tahun lalu.

Dengan kata lain, dolar AS sedang kuat-kuatnya diburu pemodal global sehingga berimbas pada depresiasi rupiah. Penguatan dolar AS terjadi karena Negeri Sam tersebut sedang bersiap memasuki era suku bunga tinggi dengan kenaikan suku bunga acuan (Fed Funds Rate).

Kenaikan suku bunga acuan, apalagi secara agresif, akan membuat imbalan investasi di aset berbasis dolar AS ikut terangkat. Akibatnya, arus modal akan lebih tertuju di Negeri Sam sehingga membuat mata uang lain melemah, termasuk rupiah.

Kabar terbaru, Gedung Putih juga sudah memberikan restu rencana bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga acuan secara agresif. Presiden AS Joseph 'Joe' Biden menyatakan menghormati penuh independensi The Fed dalam upaya pengendalian inflasi.

"Bapak Presiden menggarisbawahi bahwa beliau menghormati independensi The Fed," kata Brian Deese, Direktur Dewan Ekonomi Nasional AS, seperti dikutip dari Reuters kemarin (1/6/2022).

Kini, pasar memperkirakan suku bunga acuan AS akan berada di 2,75%-3% pada akhir tahun nanti. Mengutip CME FedWatch, kemungkinannya mencapai 56,8%.

Christopher Waller, anggota Dewan Gubernur The Fed, menyatakan pihaknya akan all out meredam inflasi. Saat ini inflasi di AS berada di atas 8% yang merupakan level tertinggi dalam 40 tahun terakhir, jauh di atas target The Fed yaitu 2%.

Di sisi lain, pasar obligasi juga mengalami tekanan, terlihat dari imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun yang mengalami kenaikan 29,8 basis poin (bp) ke 7,047%. Artinya, harga sedang melemah karena investor melakukan aksi jual yang menunjukkan optimisme atas prospek aset berisiko di luar safe haven tersebut.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) melemah pada penutupan perdagangan Rabu (1/6/2022) di tengah kekhawatiran akan kondisi ekonomi Negara Adidaya tersebut usai pergerakan volatil pada Mei.

Dow Jones drop 176,89 poin (-0,5%) ke 32.813,23 setelah sempat berayun dengan rentang lebar, dari reli lebih dari 280 poin dan koreksi hingga 400 poin. Sementara itu, S&P 500 melemah 0,8% ke 4.101,23 dan Nasdaq mundur 0,7% ke 11.994,46.

"Kita kemungkinan melihat volatilitas di pertengahan awal Juni, dan mungkin porsi yang lumayan sepanjang Juni, karena kita tak akan mendapati informasi yang melegakan sebelum itu," tutur Kepala Perencana Investasi SoFi Liz Young kepada CNBC International.

Saham finansial mencetak kinerja terburuk di indeks S&P 500 diperberat oleh koreksi Goldman Sachs dan JPMorgan Chase sebesar 1% lebih. Saham material dan perjalanan menyusul dan sebaliknya saham teknologi masih menguat.

Kekhawatiran yang membayangi benak pasar terutama berasal dari kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang memperketat moneternya dengan menaikkan suku bunga acuan dan membalik stimulus selama pandemi.

Hari Rabu juga menjadi awal pelaksanaan rencana The Fed untuk mengurangi neraca keuangannya (balance sheet), yang telah menggelembung hingga nyaris US$ 9 triliun selama pandemi Covid.

Pengurangan dilakukan dengan menjual surat berharga yang sebelumnya diburu, guna menyerap likuiditas berlebih di pasar. Di sisi lain, suku bunga acuan telah dinaikkan dua kali sepanjang tahun ini, dengan salah satu kenaikan sebesar 50 basis poin (bp). Ke depan, kenaikan suku bunga diprediksi masih terbuka guna menjinakkan inflasi.

Kecemasan akan agresivitas pengetatan moneter kian memuncak setelah Institute for Supply Management (ISM) melaporkan Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) di angka 56,1 pada Mei, naik dari posisi sebulan sebelumnya sebesar 55,4.

Artinya, sektor manufaktur masih ekspansif, sehingga diprediksi kenaikan suku bunga tidak terlalu memukul sektor riil. Hanya saja, pembukaan lapangan kerja justru anjlok pada April yang mengindikasikan bahwa ekonomi masih perlu traksi untuk bertumbuh.

Sepanjang Mei, Dow Jones dan S&P 500 relatif tak bergerak jauh, dengan koreksi tipis sementara Nasdaq ambrol lebih dari 2%. Namun secara historis, S&P 500 terhitung sudah memasuk pasar bearish bulan lalu, dengan koreksi lebih dari 20% dari rekor tertingginya. Nasdaq turun sekitar 26% dari posisi tertingginya.

Kamis ini merupakan hari perdagangan pertama di bulan Juni. Pelaku pasar akan memantau rilis data inflasi untuk menemukan "ketenangan" dalam berbelanja saham. Mei merupakan periode di mana dampak perang Ukraina bakal terlihat di Tanah Air.

Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan inflasi Mei pagi ini. Pada April lalu, inflasi menembus 0,95% (bulanan) atau menjadi yang tertinggi sejak Januari 2017. Secara tahunan, inflasi melonjak 3,47% di April, atau yang tertinggi sejak Agustus 2019.

Namun, sepertinya investor masih bisa menahan nafas lefa karena meski inflasi tahunan Mei diperkirakan masih melambung, inflasi bulanan masih melandai. Inflasi tahunan meninggi karena basis yang rendah pada tahun lalu akibat pandemi, sementara inflasi bulanan yang mencerminkan tren tahun ini (di tengah perang Ukraina) diprediksi masih aman.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 13 institusi memperkirakan inflasi Mei menembus angka 3,55% (secara tahunan). Level tersebut akan menjadi yang tertinggi sejak Januari 2017 atau dalam lima tahun terakhir di mana pada saat itu inflasi tercatat 3,61%. Namun inlasi bulanan diprediksi di angka 0,41% atau melandai dari sebelumnya 0,95%.

Polling inflasi dari konsensus pasar tersebut sejalan dengan proyeksi Bank Indonesia (BI). Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) pada minggu IV, inflasi Mei diperkirakan 0,35% (bulanan) dan 3,5% (tahunan).

Tanda inflasi yang melandai bisa memberikan sentimen positif ke pasar modal. Sebab, tekanan bagi Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga menjadi lebih kecil. BI sendiri optimistis inflasi tahun ini masih terkendali, meski akan sedikit di atas 4%.

Dengan suku bunga acuan nasional (BI 7-Day Reverse Repo Rate) ditahan di rekor terendah sepanjang masa pada 3,5%, momentum pertumbuhan ekonomi pun terjaga di tengah menguatnya risiko ekonomi global akibat perang Ukraina.

Konfirmasi lebih lanjut mengenai prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa ditemukan di  rilis data aktivitas sektor manufaktur Indonesia bulan Mei. Sebelumnya di bulan April, aktivitas sektor manufaktur yang dilihat dari Purchasing Managers' Index (PMI) mengalami kenaikan menjadi 51,9 dari bulan sebelumnya 51,3.

Angka di atas 50 mengindikasikan ekspansi, dan di bawah itu menunjukkan gejala kontraksi. Menurut proyeksi Tradingeconomics, indeks PMI sektor manufaktur Indonesia tersebut bakal masih aman di angka 51,8.

Jika data inflasi dan indeks PMI tersebut aman, maka pelaku pasar memiliki alasan kuat untuk tenang berbelanja saham-saham unggulan. Hanya saja, angin global masih buruk setelah bursa AS melemah karena investor melakukan aksi jual karena khawatir dengan prospek ekonomi dunia di tengah kenaikan suku bunga acuan AS secara agresif.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Pertemuan setingkat menteri anggota OPEC (tentatif)
  • Stok minyak mentah AS versi API (03:30 WIB)
  • Rilis PMI manufaktur RI versi S&P (07:30 WIB)
  • Inflasi RI per Mei (11:00 WIB)
  • RUPSLB PT Grand House Mulia Tbk/HOMI (10:00 WIB)
  • RUPST PT Metrodata Electronics Tbk/MTDL (10:00 WIB)
  • RUPST PT Total Bangun Persada Tbk/TOTL (10:00 WIB)
  • RUPST PT Pioneerindo Gourmet International Tbk/PTSP (10:00 WIB)
  • RUPST PT Kurniamitra Duta Sentosa Tbk/KMDS (10:30 WIB)
  • Klaim tunjangan penganggurab AS (19:30 WIB)
  • Stok BBM AS versi EIA (22:00 WIB)

Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular