Teka-Teki Terbesar: Koreksi Wall Street Sudah Bottom Belum?
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks pasar modal menguat sepanjang pekan ini, meski secara bersamaan surat berharga negara (SBN) diburu yang mengindikasikan besarnya minat pemodal untuk berjaga-jaga. Arah pasar hari ini bertumpu pada sentimen dari dalam negeri.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang pekan lalu berhasil bertengger di level psikologis 7.000 setelah melalui pergerakan fluktuatif dengan koreksi di awal-awal pekan dan reli di penghujungnya.
Pada Jumat (28/5/2022), IHSG berakhir di level 7.026,256, atau melonjak 2,07% jika dibandingkan dengan posisi hari sebelumnya. Dalam sepekan, IHSG mampu menguat 1,56% dibandingkan penutupan pekan sebelumnya.
Dana asing pun mulai kembali membanjiri pasar saham domestik dengan nilai pembelian bersih (net buy) senilai Rp 1,91 triliun di pasar reguler. Saham yang paling banyak dibeli asing adalah PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dengan nilai Rp 1,7 triliun.
Di sisi lain, rupiah berhasil mencatatkan hattrick penguatan pada tiga hari terakhir perdagangan pekan lalu sehingga menguat 0,51% sepanjang pekan, di posisi Rp 14.575 per dolar Amerika Serikat (AS), menjadi reli mingguan pertama kalinya setelah 5 pekan beruntun tumbang.
Rupiah mendapatkan keuntungan dari dibukanya kembali ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) yang merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar. Nilai ekspor CPO dan produk turunannya setiap bulannya mencapai US$ 2,5 miliar-US$ 3 miliar.
Kebijakan Bank Indonesia (BI) menjaga suku bunga acuan di level 3,5% yang diumumkan pekan lalu turut membantu menjaga kinerja rupiah, terutama di tengah tren penguatan dolar AS yang cenderung diburu di tengah kebijakan agresif bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi.
Sementara itu, harga mayoritas obligasi pemerintah atau SBN menguat sebagaimana terlihat dari pelemahan imbal hasil (yield). Penguatan aset aman ini menunjukkan bahwa pemodal cenderung memburu cuan di aset yang kurang riskan ini untuk menghindari risiko ekonomi.
Pelemahan yield terutama terjadi pada SBN tenor pendek yakni 1, 5, dan 10 tahun, masing-masing dengan pelemahan sebesar 26,3 basis poin (bp), 37,7 bp, dan 13,9 bp. Secara rata-rata, delapan SBN acuan di Indonesia mencatat pelemahan yield sebesar 10,825 bp.
Investor, trader hingga manajer investasi menghabiskan bulan Mei dengan kekhawatiran bahwa kenaikan suku bunga acuan The Fed (Fed Funds Rate) akan berdampak besar pada saham yang harganya semakin 'mahal'. Obligasi pun diburu karena cuannya meninggi ketika inflasi sedang tinggi.
(ags/ags)