Newsletter

Kabar Buruk dari Barat, Wall Street Ambruk Lagi

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Jumat, 22/04/2022 06:30 WIB
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia pada perdagangan Kamis (21/4/2022) kemarin kembali ditutup beragam. Di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah ditutup menghijau, sedangkan harga obligasi pemerintah kembali melemah.

Menurut data PT Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup menguat 0,68% ke level 7.276,19. IHSG pun kembali mencetak rekor tertinggi (all time high/ATH) barunya kemarin, meski sejatinya, ATH IHSG sempat menyentuh level 7.294,67 jelang penutupan perdagangan kemarin.

Nilai transaksi indeks kemarin mencapai sekitaran Rp 17 triliun dengan melibatkan 20 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,5 juta kali. Sebanyak 257 saham menguat, 289 saham melemah, dan 150 saham flat.

Investor asing pun kembali melakukan aksi beli bersih (net buy) hingga mencapai Rp 1,88 triliun di pasar reguler. Tetapi di pasar tunai dan negosiasi, asing tercatat menjual bersih sebesar Rp 686,9 miliar.

Dari Asia, bursa sahamnya secara mayoritas ditutup menguat. Hanya indeks Shanghai Composite China, Hang Seng Hong Kong, indeks Filipina, dan indeks TAIEX Taiwan yang ditutup di zona merah pada perdagangan kemarin. Indeks Shanghai kembali memimpin koreksi dengan ditutup ambruk lebih dari 2%.

Sedangkan dari bursa Asia yang mengalami penguatan, S&P/BSE Sensex India memimpin penguatan bursa Asia kemarin. Berikut pergerakannya:

Sedangkan untuk mata uang rupiah pada perdagangan Rabu kemarin ditutup menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung menguat 0,14% ke Rp 14.335/US$.

Sayangnya level tersebut menjadi yang terkuat bagi rupiah pada hari ini. Apresiasi rupiah terus terpangkas hingga ke Rp 14.351/US$, sebelum menutup perdagangan di Rp 14.343/US$, menguat 0,08% di pasar spot.

Sementara untuk mata uang Asia-Pasifik lainnya, secara mayoritas mengalami pelemahan. Hanya rupee India, dolar Singapura, dan termasuk rupiah yang menguat dihadapan sang greenback kemarin.

Adapun mata uang yuan China memimpin pelemahan mata uang Asia dihadapan sang greenback pada perdagangan kemarin. Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia-Pasifik melawan dolar AS kemarin:

Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), secara mayoritas kembali mengalami pelemahan harga dan kenaikan imbal hasil (yield) pada perdagangan kemarin. Mayoritas investor melepas SBN kemarin, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield).

Hanya SBN bertenor 1 tahun dan 30 tahun yang ramai diburu oleh investor. Ini ditandai dengan turunnya yield dan penguatan harga.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 1 tahun melemah 21 basis poin (bp) ke level 2,727% sedangkan yield SBN berjatuh tempo 30 tahun turun 0,7 bp ke level 7,029%. Sementara untuk yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara cenderung stagnan di level 6,978% pada perdagangan kemarin.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Kamis kemarin.

Investor masih mencerna dampak dari dipangkasnya proyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dan Bank Dunia (World Bank). 

Pada 2022, IMF meramal ekonomi dunia diperkirakan hanya mampu tumbuh 3,6% lebih rendah dari yang sebelumnya diramal 3,8%. Untuk 2023, akan menjadi lebih buruk karena ekonomi diperkirakan hanya tumbuh 0,8%-0,2%.

Buruknya ramalan tersebut disebabkan oleh perang Rusia dan Ukraina yang hingga kini belum ada tanda-tanda penyelesaian. Padahal, kedua negara tersebut berperan besar pada perekonomian dunia, terutama dalam pasokan minyak dan gas bumi.

Hal ini sekaligus memberikan pengaruh terhadap sederet harga komoditas internasional yang kini sudah melonjak. Perang juga berdampak pada kenaikan harga pangan internasional.

Situasi ini akhirnya turut mengerek inflasi di berbagai negara. IMF memperkirakan inflasi pada negara maju mencapai 5,7% dan 8,7% pada negara berkembang untuk 2022.

Negara maju dan berkembang dengan fiskal yang kuat, akan mampu memberikan subsidi atau bantalan untuk menjaga daya beli masyarakat. Akan tetapi, negara lain dengan fiskal terbatas tak mampu berbuat banyak.

Sebelumnya pada Senin lalu, World Bank juga telah menurunkan perkiraan pertumbuhan globalnya untuk tahun ini hampir satu poin persentase penuh dari 4,1% menjadi 3,2%.


(chd/sef)
Pages