Jakarta, CNBC Indonesia - Surplus neraca perdagangan Indonesia diperkirakan mengecil pada Maret tahun ini meskipun ekspor masih tetap kencang.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan nilai ekspor bulan lalu naik 23,22% dari Maret 2021 (year-on-year/YoY). Sementara impor diperkirakan tumbuh 17,07 YoY. Dengan perkiraan tersebut, neraca perdagangan diprediksi surplus US$ 2,97 miliar.
Surplus tersebut lebih kecil dibandingkan yang tercatat pada Februari yakni US$ 3,95 miliar. Pada Februari lalu, ekspor melonjak 34,14% sementara impor naik 25,43%.
Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode Maret 2022 pada Senin (18/3/2022).
Surplus neraca perdagangan yang mengecil di Maret sudah tercermin dalam cadangan devisa. Bank Indonesia melaporkan posisi cadangan devisa di akhir Maret 2022 sebesar US4 139,1 miliar, lebih kecil dibandingkan yang tercatat pada Februari yakni US$ 141,4 miliar.
Jika neraca perdagangan kembali mencatatkan surplus pada Februari, artinya Indonesia sudah membukukan surplus neraca perdagangan sejak April 2020, atau selama 23 bulan terakhir. Ini baru kali pertama terjadi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Rekor surplus perdagangan tanpa putus kali terakhir terjadi pada Agustus 2008-Juni 2010 yang juga berlangsung selama 23 bulan. Kala itu Indonesia masih dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Surplus neraca perdagangan di bulan Maret masih ditopang tingginya harga komoditas. Sebagai catatan, sejumlah komoditas mencatatkan lonjakan harga yang sangat tajam di awal Maret bahkan memecahkan rekor baru. Kenaikan dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022.
Harga batu bara mencetak rekor pada 2 Maret 2022 lalu ke level US$ 446 per ton. Pada 9 Maret, harga Crude Palm Oil (CPO) menyentuh MYR 7.268/ton yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa. Nikel pun tidak mau ketinggalan.
Harga nikel mencatat rekor baru di bulan Maret lalu. Di awal Maret, bursa logam London (LME) bahkan menangguhkan perdagangan hingga seminggu karena aksi short selling membawa harga nikel mencapai lebih dari US$ 100.000/ton. Pada 8 Maret, harga minyak mentah dunia Brent kembali tembus ke level US$ 120 yang menjadi catatan tertinggi sejak 2008.
"Kinerja ekspor diperkirakan akan ditopang oleh kenaikan harga komoditas sementara dari sisi volume didorong oleh peningkatan volume pada bulan Maret secara rata-rata dalam beberapa tahun terakhir dibandingkan bulan sebelumnya," tutur ekonom Bank Permata Josue Pardede, kepada CNBC Indonesia.
Josua menambahkan kinerja manufaktur dari mitra dagang Indonesia cenderung bervariasi sehingga berdampak terhadap permintaan ekspor Indonesia. Purchasing Managers' Index (PMI) Amerika Serikat (AS) dan Jepang cenderung meningkat sementara PMI manufaktur dari Kawasan Eropa, China dan India melemah.
Melemahnya PMI China di Maret juga menjadi alasan mengapa ekspor Indonesia tidak setinggi di Februari. PMI China melemah ke level 48,1 di Maret yang menjadi rekor terendahnya sejak Februari 2020.
Sebagai catatan, ekspor pada Februari mencapai US$ 20,47 miliar, naik 6,73 % dibanding ekspor Januari 2022. Dibanding Februari 2021 nilai ekspor naik 34,14%.
Ekspor Indonesia pada Februari lalu melonjak tajam setelah pemerintah membuka kembali pintu ekspor batu bara.
Di bulan Februari, batu bara yang masuk dalam kelompok bahan bakar mineral menyumbang nilai ekspor sebesar US$ 2,99 miliar. Jumlah tersebut melonjak 141,5% dibandingkan yang tercatat di Januari (US$ 1,24 miliar).
Ekspor batu bara diperkirakan masih tinggi di bulan Maret seiring dengan melambungnya harga si emas hitam. "Kenaikan harga batu bara terutama batu bara masih menjadi motor utama kenaikan ekspor di Maret," tutur Danareksa Reserach Institute dalam laporannya Monthly Economic Report and Outlook March 2022.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengatakan kenaikan harga komoditas masih sangat menguntungkan ekspor Indonesia hingga Maret, Namun, ada resiko dari penurunan perdagangan global ke depan karena lonjakan harga komoditas.
Menurutnya, perdagangan global bisa anjlok karena banyak negara mengerem impor mereka akibat dari melesatnya harga komoditas dan inflasi dalam negeri.
Sementara itu, impor diperkirakan tetap kuat di Maret didukung oleh pemulihan ekonomi domestik serta persiapan Lebaran. Secara historis, impor barang konsumsi dan barang modal akan melonjak 1-2 sebelum Ramadan.
Harga minyak mentah dunia yang melonjak juga membuat impor naik signifikan di bulan Maret. Dalam catatan BPS, impor migas Indonesia termasuk hasil minyak, menembus US$ 5,13 miliar pada peiode Januari-februari, melesat 122% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.
Josua mengatakan peningkatan impor dipengaruhi oleh kenaikan impor non-migas dan migas. Kenaikan impor non-migas didorong oleh meningkatnya aktivitas ekonomi sejalan dengan peningkatan mobilitas masyarakat serta pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Sebagai catatan, pada Maret 2022, kasus Covid-19 di Jakarta menyentuh tercatat 62.897, turun 76% dibandingkan Februari (62.897).
"Melihat pola musiman setiap tahunnya impor migas cenderung meningkat dalam 1-2 bulan jelang Hari Raya Idul Fitri. Selain itu, kenaikan harga minyak dunia diperkirakan juga akan mendorong peningkatan impor migas," ujar Josua.
TIM RISET CNBC INDONESIA