Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kompak terkoreksi pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah sama-sama melemah.
Kemarin, IHSG ditutup di posisi 7.203,79. Turun 0,1% dibandingkan posisi penutupan akhir pekan lalu meski masih bertengger di atas 7.200.
Sejatinya perdagangan berlangsung semarak. Volume perdagangan melibatkan 45,36 miliar unit saham, jauh di atas rata-rata sepanjang 2022 (year-to-date/ytd) yang 23,06 miliar unit saham.
Frekuensi perdagangan tercatat sebanyak 1,82 juta kali, lebih tinggi ketimbang rerata ytd yang 1,41 juta kali. Sementara nilai perdagangan mencapai Rp 21,56 riliun, juga jauh di atas rata-rata ytd yakni Rp 14,49 triliun.
Investor asing juga masih rajin memborong saham di Bursa Efek Indonesia. Kemarin, nilai beli bersih (net buy) investor asing mencapai Rp 1,12 triliun di seluruh pasar. Dengan demikian, secara ytd investor asing melakukan beli bersih Rp 36,63 triliun.
IHSG pun baru terpeleset ke zona merah jelang tutup 'lapak', selepas pukul 14:39 WIB. So, sepertinya adalah aksi ambil untung jelang penutupan perdagangan yang membuat IHSG harus puas mengakhiri hari dengan koreksi.
Di pasar valas, rupiah pun melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Menutup perdagangan pasar spot di Rp 14.365/US$, mata uang Tanah Air terdepresiasi tipis 0,03%.
Rupiah terseret arus pelemahan mata uang Asia. Di Benua Kuning, hanya dolar Hong Kong dan rupee India yang mampu terapresiasi di hadapan greenback. Itu pun sangat tipis, masing-masing di 0,01% dan 0,06%.
Halaman Selanjutnya --> Wall Street Jeblok (Lagi)
Beralih ke bursa saham AS, tiga indeks utama ditutup melemah, bahkan lumayan dalam. Dow Jones Industrial Average (DJIA), S&P 500, dan Nasdaq Composite terpangkas masing-masing 1,17%, 1,67%, dan 2,17%.
Wall Street tertekan gara-gara fokus investor teralihkan ke pasar obligasi. Imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS terus menanjak dan menembus rekor baru.
Pada pukul 01:55 WIB, yield obligasi pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden tenor 10 tahun berada di 2,7801%. Ini adalah rekor tertinggi sejak awal 2019.
Kenaikan yield membuat pasar surat utang pemerintah Negeri Adidaya menjadi sangat 'seksi'. Akibatnya, arus dana yang megalir ke pasar saham menjadi seret.
Ekspektasi akan tren suku bunga tinggi membuat yield obligasi terkerek. Pasar semakin yakin bahwa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) bakal agresif dalam menaikkan suku bunga acuan demi menjangkar inflasi.
Pada Selasa pagi waktu setempat, Departemen Ketenagakerjaan AS akan merilis data inflasi periode Maret 2022. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan inflasi AS bulan lalu mencapai 8,5% dibandingkan periode yang sama pada 2021 (year-on-year/yoy). Kalau terwujud, maka akan menjadi yang tertinggi sejak 1981.
The Fed sepertinya akan 'kasih keras' soal kenaikan bunga acuan. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan Ketua Jerome 'Jay' Powell dan rekan bakal mendongrak Federal Funds Rate sebanyak 2,5 poin persentase pada tahun ini. Jika terwujud, maka akan menjadi yang pertama sejak 1994.
"Dengan pernyataan dari para pejabat The Fed serta tekanan inflasi yang semakin nyata, kami memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan masing-masing 50 basis poin pada Mei, Juni, dan Juli," sebut James Knightly, Chief International Economist ING, seperti dikutip dari Reuters.
Jadi tidak heran kalau yield obigasi ikut terangkat. Sebab, suku bunga acuan sepertinya bakal naik tinggi sekali.
Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen yang mampu menjadi katalis di pasar. Pertama tentu kejatuhan Wall Street, yang bisa menciptakan mentalitas kalah sebelum bertanding di pasar Asia. Ini tentu bukan kabar baik bagi IHSG dan rupiah.
Kedua adalah yield obligasi pemerintah AS yang naik sangat tinggi. Terbukti sentimen ini mampu membuat Wall Street KO.
Kalau yield obligasi pemerintah AS demikian tinggi, apa dampaknya buat Indonesia? Bukankan AS jauh, berada di seberang Samudera Atlantik?
Well, secara jarak memang jauh. Namun perekonomian dunia saat ini sudah terintegrasi, terhubung satu sama lain. Kepak sayap kupu-kupu di New York bisa membuat topan badai di Jakarta.
Seperti yang disinggung sebelumnya, yield obligasi yang tinggi menjadi 'pemanis' bagi investor untuk masuk ke pasar obigasi pemerintah AS. Akibatnya, pasar lain hanya kebagian remah rengginang, apalagi flowering country seperti Indonesia.
Ingat, investor asing masih memainkan peran di pasar keuangan Ibu Pertiwi. Di pasar saham, nilai perdagangan oleh investor asing sepanjang 2022 hingga 11 April adalah Rp 311,4 triliun. Angka itu mencapai 32% dari total nilai perdagangan.
Di pasar obligasi pemerintah alias Surat Berharga Negara (SBN), total kepemilikan oleh investor asing per 8 April 2022 adalah Rp 855,13 triliun. Jumlah yang setara dengan 17,69% dari total SBN yang diperdagangkan.
Memang pasar saham maupun SBN sudah didominasi oleh pemain lokal. Namun porsi pemain asing bukan sesuatu yang bisa dipandang sebelah mata.
Jika investor asing minggat dan memilih berlabuh di pasar obligasi pemerintah AS, maka dampaknya akan sangat terasa. Apalagi kalau mereka keluar berbarengan alias sudden reversal.
Kalau ini terjadi, maka pasar keuangan Nusantara niscaya bakal terguncang 'gempa' hebat. IHSG dan rupiah sangat mungkin bisa kembali masuk zona merah.
Halaman Selanjutnya --> Simak Agenda dan Rilis Data Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data untuk hari ini:
- Rapat Umum Pemegang Saham PT Astra Autoparts Tbk (10:00 WIB).
- Rilis data angka pengangguran Inggris periode Februari 2022 (13:00 WIB).
- Silaturahmi Lembaga Penjamin Simpanan dan perbankan dengan tema Tantangan Perekonomian Global dan Ketahanan Perbankan Indonesia 2022 (14:00 WIB).
- Rilis data inflasi AS periode Maret 2022.
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mengakses data pasar terkini, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA