
Duit Asing Masuk Rp 900 Miliar, Rupiah Melemah Tipis Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (11/4/2022). Pergerakan rupiah masih sama dengan sebelumnya, tipis-tipis saja.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,03% di Rp 14.365/US$. Sempat berbalik stagnan, rupiah kemudian melemah 0,1% di Rp 14.375/US$.
Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.365/US$ atau melemah 0,03% saja.
Dolar AS memang sedang kuat-kuatnya, sebab bank sentral AS (The Fed) akan agresif dalam menaikkan suku bunga demi meredam inflasi.
Notula rapat kebijakan moneter edisi Maret yang dirilis Kamis pekan lalu menunjukkan bagaimana agresifnya The Fed akan bertindak. Tidak hanya akan menaikkan suku bunga, neraca (balance sheet) The Fed juga akan dikurangi dengan nilai yang jumbo. Dengan mengurangi nilai neraca, artinya The Fed akan melepas obligasi pemerintah dan efek beragun aset yang dimiliki, sehingga bisa menyerap likuiditas.
Alhasil, indeks dolar AS sepanjang pekan lalu menguat lebih dari 1% dan hingga sore ini masih naik tipis 0,04% ke 99,83.
Meski The Fed akan agresif dalam menormalisasi kebijakannya di tahun ini, tetapi para pelaku pasar justru mengurangi kepemilikan dolar AS. Hal tersebut terlihat dari posisi spekulatif dolar AS berdasarkan data Commodity Futures Trading Commission (CFTC) yang dirilis Jumat pekan lalu.
Data tersebut menunjukkan pada pekan yang berakhir 5 April posisi beli bersih (net long) dolar AS mengalami penurunan nyaris US$ 2 miliar menjadi US$ 14,13 miliar. Penurunan tersebut merupakan yang pertama setelah naik selama 5 pekan.
Posisi spekulatif tersebut merupakan dolar AS melawan yen Jepang, euro, poundsterling, franc, dolar Kanada serta dolar Australia.
Berkurangnya posisi spekulatif tersebut menjadi indikasi meski The Fed akan agresif menaikkan suku bunga, tetapi sebagian pelaku pasar melihat dolar AS tidak akan menguat terlalu jauh.
Salah satu sebabnya adalah risiko resesi yang dihadapi Amerika Serikat. Ketika The Fed agresif menaikkan suku bunga, ekspansi dunia usaha kemungkinan akan melambat.
Di sisi lain, inflasi di Amerika Serikat saat ini berada di level tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Ketika ekspansi dunia usaha melambat, sementara inflasi masih tinggi, maka risiko resesi pun mengancam.
Tanda-tanda akan terjadinya resesi terlihat dari inversi yang terjadi antara yield obligasi (Treasury) tenor 2 tahun dan 10 tahun.
Dalam situasi normal, yield obligasi jangka pendek akan lebih rendah dari jangka panjang. Tetapi jika investor melihat dalam jangka pendek perekonomian akan memburuk bahkan mengalami resesi, maka premi risiko yang diminta akan lebih tinggi.
Hal tersebut membuat yield obligasi jangka pendek menanjak hingga lebih tinggi dari tenor jangka panjang, yang disebut sebagai inversi.
Kabar buruknya, hampir setiap terjadi inversi, maka Amerika Serikat akan mengalami resesi.
Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).
Inversi yield Treasury tenor 2 tahun dan 10 tahun terakhir kali terjadi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Data Dalam Negeri Mengecewakan, Ini Penjaga Kinerja Rupiah
