Newsletter

Tunggu Angin Segar dari Global, IHSG Incar Level 7.100

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
04 April 2022 06:40
wall street
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar modal mencetak kinerja yang bervariasi sepanjang pekan lalu di mana bursa saham menguat sementara rupiah dan obligasi tertekan. Pemodal hari ini bakal memperhatikan faktor global sebelum menjajal level psikologis baru di 7.100.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan sepekan terakhir dalam penguatan, dengan reli 1,09% atau 76,23 poin ke level 7.078,76 pada penutupan perdagangan Jumat (1/4/2022), yang merupakan level penutupan tertinggi sepanjang masa.

Sepanjang pekan, indeks acuan utama bursa nasional ini sempat beberapa kali menyentuh rekor tertinggi harian di angka 7.099 meski kemudian surut di penutupan. Investor asing mencetak pembelian bersih (net buy) Rp 4,6 triliun sepanjang 5 hari perdagangan di pasar reguler.

Penguatan IHSG sepekan terakhir ditopang oleh saham-saham teknologi dan energi dengan indeks sektoralnya yang menguat masing-masing 4,29% dan 2,75%. Indeks sektoral lain yang mencatatkan penguatan adalah indeks konsumen non-siklikal yang terpantau naik 2,68%.

Di sisi lain, rilis data ekonomi yang solid juga menjadi katalis positif bagi bursa saham domestik. Indeks PMI manufaktur RI kembali menunjukkan adanya aktivitas ekspansi. PMI manufaktur Indonesia di bulan Maret 2022 berada di 51,3 atau 0,1 poin lebih tinggi dari bulan sebelumnya.

Kondisi ini terjadi seiring dengan tren penurunan kasus Covid-19 yang terus berlanjut. Pemerintah juga mulai melonggarkan pembatasan. Jelang puasa Ramadhan tahun ini, pemerintah memutuskan mengizinkan mudik dengan syarat harus sudah mendapat vaksin penguat (booster).

Namun di sisi lain, perbaikan ekonomi yang juga dibarengi dengan kenaikan harga komoditas membuat inflasi terpantau melonjak. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebagai acuan inflasi naik 0,66% secara bulanan dan 2,64% secara tahunan.

Di tengah fenomena kurva inversi imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS 5 tahun dan 30 tahun serta inflasi belanja konsumsi perorangan (Personal Consumption Expenditure/PCE) yang tembus 6,4%, sentimen positif datang dari perkembangan Rusia dengan Ukraina.

Harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) pun melemah, sebagaimana ditandai dari penguatan imbal hasil SBN di seluruh tenor, khususnya tenor 1 tahun yang melesat 145,5 basis poin (Bp) ke 4,045% dari posisi akhir pekan sebelumnya di 2,59%.

Imbal hasil berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Artinya, pasar obligasi sedang tertimpa aksi jual. Berdasarkan data DJPPR Kementerian Keuangan, kepemilikan investor asing di SBN turun Rp 8,3 triliun pada periode 28-31 Maret 2022 sehingga secara neto asing mencetak net sell sebesar Rp 3,7 triliun.

Aliran dana asing yang keluar dari pasar obligasi membuat nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS. Sepanjang pekan lalu. Mata uang Garuda melemah 0,17% terhadap dolar AS di pasar spot, dengan berakhir di Rp 14.365/US$ pada Jumat.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) menguat sepanjang pekan lalu, di mana indeks Dow Jones mencetak reli 0,4% ke 34.818,28 sementara S&P 500 tumbuh 0,34% ke 4.545,87 diikuti Nasdaq yang menguat 0,29% menjadi 14.261,5.

Namun sepanjang Maret, ketiga indeks tersebut terhitung bergerak variatif di mana S&P 500 masih menguat 0,34%, sementara Nasdaq menyusul dengan reli sebesar 0,29%. Adapun Dow Jones masih terhitung melemah 0,12%.

Kabar buruknya, ketiga indeks tersebut mengalami performa kuartalan terburuk sejak 2020. Indeks Dow Jones dan S&P 500 merosot tajam yang masing-masing sebanyak 4,6% dan 4,9% sepanjang Januari-Maret. Sementara itu, Nasdaq terkoreksi lebih dari 9%.

Menurut CFRA, kinerja Wall Street pada kuartal pertama tersebut menjadi satu dari 15 kinerja kuartalan yang terburuk sejak tahun 1945. Koreksi kuartal pertama indeks S&P 500 sama seperti kuartal pertama 1994.

Koreksi terjadi setelah tiga bulan pertama tahun ini pasar menyaksikan risiko geopolitik berupa perang di Ukraina yang memicu lonjakan harga barang di pasar dunia. Di AS, muncul indikator resesi berdasarkan kurva imbal hasil obligasi pemerintah yang membentuk inversi.

Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun-yang menjadi acuan pasar-sempat menguat ke 2,55% atau melesat jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun lalu yang masih di angka 1,51%. Pada Jumat pekan lalu, posisi yield tersebut membaik ke 2,37%.

Namun di sisi lain, imbal hasil obligasi tenor pendek juga meninggi dengan laju lebih besar dari kenaikan imbal hasil obligasi tenor panjang. Hal ini dinilai sebagai indikator resesi di perekonomian AS, karena pelaku pasar kurang percaya diri memegang aset berharga milik pemerintah berjatuh tempo pendek.

Apalagi, inflasi PCE di AS mencapai 5,4% secara tahunan pada Februari 2022 yang mengindikasikan tingginya beban perekonomian di AS. Secara bersamaan, data tenaga kerja AS menunjukkan pembukaan lapangan kerja baru sebanyak 431.000, atau di bawah ekspektasi analis yang semula memprediksikan angka 490.000 di bulan Maret.

Namun demikian, kabar positif datang dari Eropa Timur di mana Rusia menarik mundur pasukannya yang disiagakan untuk mengepung Ibu Kota Ukraina, Kyiv. Langkah ini dinilai sebagai kemajuan menuju proses perdamaian kedua negara.

CFRA pun memprediksi bursa saham AS akan kembali menguat pada April, di mana indeks S&P 500 berpeluang mencetak kinerja terbaik secara historis. Indeks S&P melesat rata-rata 1,7% setiap April sejak Perang Dunia kedua.

Sepanjang hari ini, perhatian pelaku pasar di bursa nasional bakal lebih tertuju pada dinamika global, mengingat masih sepinya sentimen dari dalam negeri. Faktor harga minyak mentah dan krisis Ukraina masih akan menjadi sentimen mayor penggerak pasar.

Pada Senin (4/4/2022), IHSG akan merespon pergerakan bursa saham AS (Wall Street) yang menguat di hari Jumat. Penguatan tersebut secara psikologis mempertebal keyakinan investor domestik untuk melancarkan aksi beli atas aset berisiko tinggi seperti saham.

Oleh karenanya, indeks acuan utama bursa nasional tersebut berpeluang kembali menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa, dengan menembus level psikologi 7.100 pada hari ini. Namun demikian, aksi profit taking juga masih kental membayangi.

Sebaliknya SBN dan rupiah kemungkinan akan tertekan, sebab penguatan Wall Street tersebut dipicu data yang menunjukkan pasar tenaga kerja AS semakin membaik dengan tingkat pengangguran yang membaik menjadi 3,6%.

Penurunan angka pengangguran kian mendorong pertaruhan bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) bakal agresif mendongkrak suku bunga acuannya (Fed Funds Rate) hingga 50 basis poin (Bp) secepatnya pada pertemuan bulan ini.

Kebijakan tersebut bakal semakin memberikan tekanan bagi obligasi pemerintah Indonesia dan rupiah. The Fed akan merilis notula rapat kebijakan moneter edisi Maret pada Kamis (7/4/2022) yang bakal memberikan gambaran seberapa agresif kenaikan suku bunga di tahun ini.

Risiko lain yang masih membayangi adalah lonjakan kasus virus corona (Covid-19) di China, sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia. Negeri Panda ini melaporkan ada 13.287 kasus Covid-19 baru yang terdata per Sabtu (2/4/2022) waktu setempat.

Terus menanjaknya kasus Covid-19 bakal mendorong karantina wilayah (lockdown) yang lebih ketat di beberapa wilayah China, sehingga bisa mengaburkan ekspektasi pemulihan ekonomi yang saat ini masih diperberat efek konflik Ukraina.

Di sisi lain, pasar juga akan memperhatikan pergerakan harga minyak mentah dunia. Harga minyak mentah jenis Brent yang menjadi acuan dunia ambrol 13,5% ke US$ 104,39/barel sepekan lalu, sementara minyak acuan AS jenis West Texas Intermediate (WTI) merosot 12,8% ke US$ 99,27/barel.

Penurunan tersebut menjadi yang terbesar bagi WTI sejak pekan kedua April 2020 ketika ambrol nyaris 20%. Sementara bagi Brent menjadi yang terburuk sejak pertengahan Maret 2020, di mana saat itu penurunan harganya lebih dari 20% dalam sepekan.

Berlanjutnya penurunan harga minyak mentah bisa menjadi kabar bagus, sebab tekanan inflasi akibat kenaikan harga energi tentunya akan mereda. Seperti diketahui, negara Barat sedang mengalami masalah inflasi tinggi, sehingga dikhawatirkan akan memicu stagflasi atau pertumbuhan ekonomi stagnan dengan inflasi yang tinggi.

Berikut beberapa data ekonomi dan agenda emiten yang akan dirilis hari ini:

  • Listing saham PT WIR Asia Tbk/WIRG (09:00 WIB)
  • Cum Date rights issue PT Perintis Triniti Properti Tbk/TRIN (09:00 WIB)
  • Cum Date dividen PT Bank Maybank Indonesia Tbk/BNII (09:00 WIB)
  • Cum Date dividen PT Bank Danamon Indonesia Tbk/BDMN (09:00 WIB)
  • RUPSLB PT Indonesia Kendaraan Terminal Tbk/ IPCC (10:00 WIB)

Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular