Sentimen Pasar Pekan Depan

Naik Tiga Pekan Beruntun, IHSG Buka Peluang Tembus 7.100

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 April 2022 20:00
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG, Senin (22/11/2021)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG (CNBC Indonesia/Muhammad sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tampil impresif di pekan ini, dengan dua kali memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa. IHSG juga sukses mempertahankan tren penguatan menjadi 3 pekan beruntun.

Sentimen penggerak datang dari dalam dan luar negeri, tetapi nasib berbeda didapat rupiah dan obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) yang justru melemah di pekan ini.

Melansir data Refinitiv, IHSG sepanjang pekan ini tercatat menguat 1,09% ke 7.078,76 yang merupakan penutupan tertinggi sepanjang masa. Sementara untuk rekor tertinggi berada di 7.099,497 yang dicapai pada Kamis (31/3/2022), memecahkan rekor sebelumnya yang dicapai hari Selasa.

Dalam 5 hari perdagangan, investor asing tercatat melakukan aksi beli bersih sebesar Rp 4,6 triliun di pasar reguler, nego dan tunai.

Jika di pasar saham terjadi capital inflow, nasib berbeda dialami pasar obligasi yang kemungkinan terjadi outflow. Sebab SNB semua tenor mengalami pelemahan, terlihat dari imbal hasilnya (yield) yang mengalami kenaikan.

Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Saat yield naik artinya harga sedang turun, begitu juga sebaliknya. Saat harga obligasi turun artinya ada aksi jual, sehingga kemungkinan terjadi capital outflow.

Pelemahan SBN tersebut menjadi salah satu yang membebani rupiah di pekan ini. Mata uang Garuda tercatat melemah tipis 0,17% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.365/US$.

Tekanan pada SBN terjadi akibat menguatnya ekspektasi bank sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 0,75% - 1% pada bulan depan. Rupiah juga tertekan akibat ekspektasi tersebut.

Inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang terus menanjak membuat pelaku pasar melihat ada probabilitas lebih dari 70% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin.

Departemen Tenaga Kerja AS Kamis lalu melaporkan inflasi PCE bulan Februari tumbuh 6,4% (year-on-year/yoy) dari bulan sebelumnya 6% (yoy). Sementara inflasi inti PCE tumbuh 5,4% (yoy) lebih tinggi dari bulan Januari 5,2% (yoy), tetapi lebih rendah dari hasil polling Reuters 5,5% (yoy).

Masih dari eksternal, China juga memberikan kabar kurang sedap. Data dari pemerintah China yang dirilis Kamis lalu menunjukkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur bulan Maret sebesar 49,5, turun dari bulan sebelumnya 50,2 dan lebih rendah dari prediksi ekonomi sebesar 49,7.

PMI manufaktur menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi sementara di atas 50 artinya ekspansi. Kontraksi yang dialami tersebut menjadi yang pertama dalam 5 bulan terakhir.

Dari dalam negeri, S&P Global melaporkan PMI manufaktur di bulan Maret tercatat sebesar 51,3, naik dari sebelumnya 51,2. Kenaikan tersebut menjadi kabar bagus, yang menjadi indikasi roda perekonomian berputar lebih kencang.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data inflasi Indonesia periode Maret 2022. Hasilnya tidak jauh dari ekspektasi.

Kepala BPS Margo Yuwono melaporkan inflasi Indonesia pada Maret 2022 tercatat 0,66% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Jauh lebih tinggi ketimbang Februari 2022 di mana terjadi inflasi -0,02% alias deflasi. Inflasi 0,66% tersebut adalah yang tertinggi sejak Mei 2019.

Sementara dibandingkan Maret 2022 (yoy), laju inflasi adalah 2,64%. Juga terakselerasi dari Februari 2022 yang 2,06% (yoy).

Inflasi inti dilaporkan tumbuh 2,37% (yoy) lebih tinggi dari hasil polling Reuters sebesar 2,21%, dan jauh lebih tinggi dari bulan Februari 2,03%.

Kenaikan inflasi inti tersebut memperkuat ekspektasi Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga di semester II-2022. Sayangnya, masih belum mampu mendongkrak kinerja SBN dan rupiah.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> IHSG Bisa Cetak Rekor Lagi? 

Untuk pekan depan, ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi pasar finansial dalam negeri.

Pertama, pada Senin (3/4/2022) IHSG akan merespon pergerakan bursa saham AS (Wall Street) yang mampu menguat di hari Jumat.

Penguatan tersebut tentunya menjadi sentimen positif bagi IHSG, dan tidak menutup kemungkinan kembali memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa, menembus level 7.100. Namun, patut diwaspadai akan adanya aksi profit taking yang bisa membuat IHSG justru merosot. 

Sebaliknya SBN dan rupiah kemungkinan akan tertekan, sebab penguatan Wall Street tersebut dipicu data yang menunjukkan pasar tenaga kerja AS semakin membaik dengan tingkat pengangguran turun menjadi 3,6%.

Penurunan tersebut membuat ekspektasi kenaikan suku bunga 50 basis poin semakin menguat, seperti disebutkan halaman sebelumnya hal ini bisa memberikan tekanan bagi SBN dan rupiah. The Fed akan merilis notula rapat kebijakan moneter edisi Maret pada Kamis (7/4/2022) yang bisa memberikan gambaran seberapa agresif kenaikan suku bunga di tahun ini.

Kedua, China, negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia ini kembali mengalami lonjakan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19). China melaporkan ada 13.287 kasus Covid-19 baru yang terdata per Sabtu (2/4/2022) waktu setempat.

Terus menanjaknya kasus Covid-19 artinya lockdown di beberapa wilayah bisa semakin luas dan semakin lama. Hal ini bisa menjadi sentimen negatif ke pasar finansial global.

Yang ketiga masih dari eksternal, perkembangan perundingan Rusia dan Ukraina juga akan mempengaruhi pasar finansial dalam negeri. Saat perundingan sedang berlangsung, perang kedua negara masih belum berhenti.

Hari ini, serangkaian ledakan terjadi di kota Odesa. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan Rusia berusahan untuk menguasai wilayah Timur dan Selatan negaranya.

Yang ke-empat pergerakan harga minyak mentah. Harga minyak mentah jenis Brent ambrol 13,5% ke US$ 104,39/barel, sementara minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) merosot 12,8% ke US$ 99,27/barel sepanjang pekan ini.

Penurunan tersebut menjadi yang terbesar bagi WTI sejak pekan kedua April 2020 ketika ambrol nyaris 20%. Sementara bagi Brent menjadi yang terburuk sejak pertengahan Maret 2020, di mana saat itu penurunan harganya lebih dari 20% dalam sepekan.

Berlanjutnya penurunan harga minyak mentah bisa menjadi kabar bagus, sebab tekanan inflasi akibat kenaikan harga energi tentunya akan mereda. Seperti diketahui, negara Barat sedang mengalami masalah inflasi tinggi, sehingga dikhawatirkan akan memicu stagflasi atau stagnanya pertumbuhan ekonomi dengan inflasi yang tinggi.

Ketiga, data cadangan devisa dan tingkat keyakinan konsumen Indonesia akan dirilis pada Kamis dan Jumat. Cadangan devisa Indonesia saat ini masih tinggi yang artinya Bank Indonesia (BI) memiliki lebih banyak "amunisi" untuk menstabilkan rupiah jika mengalami tekanan.

Stabilitas rupiah menjadi penting, selain bisa menjaga inflasi tetap rendah investor asing juga akan lebih nyaman berinvestasi di dalam negeri, sebab risiko kerugian kurs bisa diminimalisir.

Sementara itu tingkat keyakinan konsumen menurun tajam pada bulan Februari lalu akibat pengetatan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Di bulan Maret, PPKM sudah kembali dilonggarkan, yang tentunya bisa mengerek keyakinan konsumen.

Kala konsumen semakin pede, maka konsumsi cenderung akan meningkat dan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular