
Bukan Hanya AS, Eropa juga Terancam Stagflasi

Ancaman tentang perang dunia ketiga di saat dunia menghadapi tingkat inflasi yang tinggi telah memantik aksi jual aset-aset berisiko seperti saham. Wall Street yang terkoreksi juga mengirimkan sinyal kurang mengenakkan untuk pasar keuangan Asia yang buka pagi ini, apalagi mengingat kemarin bursa Asia mayoritas menguat.
Saat harga saham-saham di Asia menguat signifikan, tentu saja ada sebagian pihak yang memanfaatkan momentum untuk merealisasikan cuannya. Namun jika aksi ini dilakukan secara bersamaan, dampaknya harga akan turun.
Perdagangan di pasar masih diwarnai dengan volatilitas yang tinggi. Risiko inflasi dan geopolitik menjadi penyebabnya. Perilaku investor dan setiap aset investasi akan sangat tergantung pada perkembangan dua faktor tersebut.
Eskalasi konflik Rusia dan Ukraina hanya akan memperburuk suasana dan membuat aset-aset berisiko dilepas. Investor bakal cari aman menyelamatkan uangnya ke aset-aset minim risiko seperti emas salah satunya.
Dari Benua Biru, bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) mempertahankan suku bunga acuannya, namun ECB mengatakan bakal mengakhiri program pembelian obligasi pada kuartal III tahun ini.
Namun penghentian pembelian obligasi tersebut dengan catatan bahwa data-data ekonomi sudah meyakinkan. Salah satunya adalah inflasi. Tidak hanya di AS saja yang mengalami peningkatan inflasi, negara-negara Eropa juga menghadapi hal serupa.
Inflasi di zona Euro terus mengalami kenaikan. Terakhir di bulan Februari 2022, inflasi di EU tercatat mencapai 5,8%. Negara-negara Eropa berbagai daratan yang sama dengan Rusia dan Ukraina yang sedang kisruh.
Tidak seperti AS, Eropa tak berani untuk mengembargo impor minyak dan gas dari Rusial. Hal ini dikarenakan sebagian besar pasokan energi ke Benua Biru didapat dari Rusia. Dampak dari terganggunya rantai pasok di tengah perang yang nyata adalah kenaikan harga gas alam yang digunakan oleh Eropa sebagai bahan bakar pembangkit listrik.
Harga gas yang semakin mahal akan membuat inflasi terkerek naik sehingga bukan hanya ekonomi AS saja yang terancam mengalami stagflasi tetapi Eropa jugal. Ini menjadi masalah serius yang dihadapi oleh seluruh pelaku ekonomi di awal tahun ini.
Dari dalam negeri sentimen berasal dari aksi korporasi salah satu bank BUMN kakap yakni PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) kemarin.
Salah satu keputusan yang diambil dalam RUPST tersebut adalah penetapan penggunaan laba bersih sebesar 60% atau setara dengan Rp16,82 triliun sebagai dividen yang akan dibagikan kepada pemegang saham. Sedangkan, sebanyak 40% dari laba bersih konsolidasi tahun lalu dialokasikan sebagai laba ditahan.
Kabar ini menjadi salah satu katalis positif untuk saham BMRI yang juga menjadi salah satu bank yang diborong asing sepanjang tahun 2022.
(trp/trp)