Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah sukses membukukan penguatan pada perdagangan kemarin, Kamis (10/3/2022). Namun di saat yang sama, pasar Surat Berharga Negara (SBN) masih bergerak mixed.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melesat 0,87% ke level 6.924 kemarin. IHSG sempat drop ke level terendah di 6.837,73 di sesi I. Namun Indeks sukses rebound di sesi II. Asing pun kembali net buy. Kali ini asing beli bersih Rp 286,4 miliar di pasar reguler.
Mayoritas bursa saham Asia menguat pagi ini. Indeks Nikkei Jepang bahkan menguat hampir 4%, kemudian disusul oleh Straits Times yang naik 1,42% sebagai runner up dan Hang Seng di posisi ketiga dengan kenaikan 1,27%.
Kendati menguat hampir satu persen, namun kinerja IHSG tak seciamik bursa saham utama Asia lain. Namun tak mengapa karena memang sebelumnya IHSG sudah leading terlebih dahulu beberapa kali.
Beralih ke pasar valas, nilai tukar rupiah sukses mencatatkan penguatan selama 3 hari perdagangan secara beruntun (Hat Trick). Rupiah mengakhiri perdagangannya di pasar spot dengan penguatan 0,49% ke Rp 14.275/US$.
Penguatan tajam rupiah di pasar spot juga diikuti kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) yang melesat 0,51% ke Rp 14.298/US$. Inflow dana asing dan kenaikan harga komoditas mulai dari minyak, gas dan batu bara seolah memberikan energi untuk rupiah menguat.
Ketika ada inflow dana dari asing, artinya permintaan terhadap rupiah meningkat. Dipadukan dengan harga komoditas yang tinggi akan berdampak pada kinerja ekspor yang solid. Lewat ekspor Indonesia mendapatkan pasokan valas atau devisa.
Apabila dikombinasikan, maka permintaan terhadap rupiah yang tinggi dan pasokan valas yang berlimpah akan membuat nilai tukar rupiah pada akhirnya meningkat.
Namun sayang, nasib kurang mujur harus dialami oleh SBN. Yield SBN untuk berbagai tenor cenderung variatif. Namun yield acuan SBN 10 tahun terpantau turun 3,3 basis poin (bps) dari perdagangan sebelumnya menjadi 6,76%.
Berbeda dengan saham yang diburu oleh investor asing, SBN justru malah dilepas. Asing yang melepas kepemilikannya di SBN ini juga turut memicu terjadinya kenaikan yield.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) akan merilis data survei penjualan eceran untuk bulan Januari 2022. Penjualan ritel Indonesia naik 15,2% year on year (yoy). Selanjutnya penjualan ritel diramal bakal tumbuh 14,5% yoy pada Februari 2022.
Beralih ke bursa saham global yakni Wall Street, harga saham-sahamnya kembali tertekan. Hal ini tercermin dari kinerja indeks yang mengalami penurunan. Indeks Dow Jones, S&P 500 dan Nasdaq Composite melemah lebih dari 1% hingga penutupan perdagangan dini hari tadi.
Koreksi terjadi di tengah kegagalan negosiasi antara Ukraina dan Rusia yang dijembatani oleh Turki dengan tak banyak kesepakatan mengenai gencatan senjata maupun pembukaan jalur pengungsian untuk warga sipil.
Gagalnya negoisiasi antara dua negara penghasil energi dan pangan global tersebut membuat pasar komoditas ikut bereaksi. Baik harga minyak mentah dan gandum keduanya mengalami kenaikan.
Harga komoditas energi dan pangan yang lebih tinggi menjadi ancaman lain bagi inflasi yang sekarang sudah melesat signifikan. Sentimen negatif lain datang dari rilis data inflasi AS yang ditunggu-tunggu banyak pihak.
Inflasi AS per Februari melesat sebesar 7,9% (secara tahunan), menjadi yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir, dan melampaui ekspektasi ekonom dalam polling Dow Jones yang memprediksi angka 7,8%. Secara bulanan, inflasi tercatat 0,8%, atau lebih tinggi dari estimasi sebesar 0,7%.
"Situasi inflasi memburu, dan bukannya membaik. Bahan pokok menjadi kian mahal... di satu sisi harga BBM jadi biangnya, harga makanan dan rumah juga menjadi pendorong inflasi Februari," tutur John Leer, ekonom kepala Morning Consult, dikutip CNBC International.
Inflasi yang tinggi berarti harga barang dan jasa di perekonomian melambung. Ketika harga suatu barang dan jasa di perekonomian semakin mahal dan tak terjangkau artinya ekonomi dalam bahaya karena daya beli masyarakat tergerus. Ini bisa berdampak pada terjadinya perlambatan atau bahkan kontraksi output yang sering disebut sebagai resesi.
Banyak pelaku pasar yang khawatir bahwa ekonomi AS akan kembali ke tahun 1970-an di mana di saat tersebut negeri Paman Sam berada dalam salah satu periode terburuknya karena mengalami stagflasi.
Secara sederhana stagflasi dicirikan oleh tiga hal yang saling berkaitan yakni inflasi yang tinggi akan menyebabkan pengangguran juga melonjak, pada akhirnya kedua hal tersebut akan menyebabkan perekonomian tumbuh melambat atau bahkan jatuh ke jurang resesi.
Ancaman tentang perang dunia ketiga di saat dunia menghadapi tingkat inflasi yang tinggi telah memantik aksi jual aset-aset berisiko seperti saham. Wall Street yang terkoreksi juga mengirimkan sinyal kurang mengenakkan untuk pasar keuangan Asia yang buka pagi ini, apalagi mengingat kemarin bursa Asia mayoritas menguat.
Saat harga saham-saham di Asia menguat signifikan, tentu saja ada sebagian pihak yang memanfaatkan momentum untuk merealisasikan cuannya. Namun jika aksi ini dilakukan secara bersamaan, dampaknya harga akan turun.
Perdagangan di pasar masih diwarnai dengan volatilitas yang tinggi. Risiko inflasi dan geopolitik menjadi penyebabnya. Perilaku investor dan setiap aset investasi akan sangat tergantung pada perkembangan dua faktor tersebut.
Eskalasi konflik Rusia dan Ukraina hanya akan memperburuk suasana dan membuat aset-aset berisiko dilepas. Investor bakal cari aman menyelamatkan uangnya ke aset-aset minim risiko seperti emas salah satunya.
Dari Benua Biru, bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) mempertahankan suku bunga acuannya, namun ECB mengatakan bakal mengakhiri program pembelian obligasi pada kuartal III tahun ini.
Namun penghentian pembelian obligasi tersebut dengan catatan bahwa data-data ekonomi sudah meyakinkan. Salah satunya adalah inflasi. Tidak hanya di AS saja yang mengalami peningkatan inflasi, negara-negara Eropa juga menghadapi hal serupa.
Inflasi di zona Euro terus mengalami kenaikan. Terakhir di bulan Februari 2022, inflasi di EU tercatat mencapai 5,8%. Negara-negara Eropa berbagai daratan yang sama dengan Rusia dan Ukraina yang sedang kisruh.
Tidak seperti AS, Eropa tak berani untuk mengembargo impor minyak dan gas dari Rusial. Hal ini dikarenakan sebagian besar pasokan energi ke Benua Biru didapat dari Rusia. Dampak dari terganggunya rantai pasok di tengah perang yang nyata adalah kenaikan harga gas alam yang digunakan oleh Eropa sebagai bahan bakar pembangkit listrik.
Harga gas yang semakin mahal akan membuat inflasi terkerek naik sehingga bukan hanya ekonomi AS saja yang terancam mengalami stagflasi tetapi Eropa jugal. Ini menjadi masalah serius yang dihadapi oleh seluruh pelaku ekonomi di awal tahun ini.
Dari dalam negeri sentimen berasal dari aksi korporasi salah satu bank BUMN kakap yakni PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) kemarin.
Salah satu keputusan yang diambil dalam RUPST tersebut adalah penetapan penggunaan laba bersih sebesar 60% atau setara dengan Rp16,82 triliun sebagai dividen yang akan dibagikan kepada pemegang saham. Sedangkan, sebanyak 40% dari laba bersih konsolidasi tahun lalu dialokasikan sebagai laba ditahan.
Kabar ini menjadi salah satu katalis positif untuk saham BMRI yang juga menjadi salah satu bank yang diborong asing sepanjang tahun 2022.
Berikut adalah beberapa agenda korporasi yang akan dilaksanakan hari ini :
- RUPSLB PT Matahari Putra Prima Tbk/MPPA (10.00 WIB)
- RUPSLB PT Inti Agri Resources Tbk/IIKP (09.30 WIB)
- Cum Date Pembagian Dividen Tunai PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional :
Pertumbuhan Ekonomi (2021 YoY) | 3,69% |
Inflasi (Februari 2022, YoY) | 2,06% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2022) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | -4,85% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (2021) | 0,30% PDB |
Cadangan Devisa (Februari 2022) | US$ 141,4 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA