
Perang Dunia III Katanya Sudah Meletus, Apa Kabar IHSG?

Dengan adanya inflasi yang kian mengkhawatirkan, tidak hanya ekonomi Rusia saja yang sekarat karena terkena sanksi. Ekonomi AS pun terancam mengalami hal serupa. Inflasi yang tinggi akan menggerus daya beli masyarakat.
Ketika daya beli masyarakat melemah, permintaan terhadap barang dan jasa pun menurun. Akibatnya, marjin laba perusahaan tergerus bahkan bisa sampai merugi. Kalau ini terjadi, maka jangan harap perusahaan akan ekspansif, membiayai kebutuhan operasional saja sulit.
Dampaknya akan dirasakan di sektor tenaga kerja. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bisa terjadi di mana-mana, tingkat pengangguran yang sudah turun ke bawah 4% bisa melonjak lagi. Inflasi tinggi, pengangguran tinggi akan berdampak pada penurunan output riil ekonomi AS. Inilah yang dinamakan sebagai stagflasi.
Untuk menghindari kondisi yang tidak diinginkan tersebut, bank sentral AS The Federal Reserves Bank atau lebih sering disingkat The Fed bakal mengetatkan kebijakan moneternya. Agresifitas The Fed dalam menaikkan suku bunga acuan dapat membuat pasar semakin terombang-ambing.
Investor pun akan semakin menghindari aset-aset berisiko seperti saham. Setidaknya sentimen ini masih akan terus membayangi dalam beberapa waktu ke depan. Apalagi eskalasi perang antara Rusia dan Ukraina masih berpotensi untuk berlanjut.
Seorang investor kawakan asal AS yakni Bill Ackman bahkan secara frontal mengatakan bahwa Perang Dunia III sudah dimulai. Bill Ackman yang juga CEO perusahaan investasi Pershing Square Capital Management tersebut memang kontroversial.
Pada 2020, saat kasus Covid-19 di AS belum tembus angka 7.000, Ia mewanti-wanti bahwa lockdown masif harus diterapkan karena kondisi akan semakin memburuk. Meski sempat dianggap menebar "fear", apa yang disampaikan Bill Ackman benar adanya. Ramalannya pun terbukti.
Kini ia mengatakan bahwa Perang Dunia III sudah dimulai hanya saja kita lambat untuk menyadarinya. Perkembangan konflik Rusia-Ukraina dan kekhawatiran pasar akan Perang Dunia III yang membuat ekonomi AS stagflasi masih terus membayangi.
Kinerja Wall Street yang kembali ambles dini hari tadi seolah menjadi mimpi buruk bagi pasar keuangan Asia yang akan buka hari ini. Harga komoditas yang kuat membuat saham-saham energi dan berbasis komoditas diuntungkan dan cocok untuk strategi taktikal.
Sementara itu saham-saham yang berbasis consumer, apalagi yang memiliki eksposur pada usaha yang menggunakan bahan baku seperti gandum cenderung dirugikan, karena kenaikan harga komoditas pangan akan berdampak negatif terhadap kinerja perseroan.
Potensi tekanan pada IHSG, SBN dan rupiah masih bisa terjadi, apalagi jika dibarengi dengan outflow dana asing yang deras. Seperti yang sudah diketahui bersama, asing mulai membukukan net sell di pasar ekuitas kemarin.
Dari dalam negeri akan ada rilis data cadangan devisa RI bulan Februari 2022. Trading Economics memperkirakan posisi cadangan devisa Indonesia untuk bulan lalu bakal turun menjadi US$ 139,9 miliar atau turun US$ 1 miliar dari bulan Januari 2022 yang berada di posisi US$ 141,3 miliar.
Namun untuk perdagangan hari ini, sentimen eksternal masih akan memainkan peran penting dalam menggerakkan aset-aset keuangan global. Investor harus sudah mulai dengan berbagai skenario yang buruk.
(trp/trp)