Newsletter

Perang Dunia III Katanya Sudah Meletus, Apa Kabar IHSG?

Putra, CNBC Indonesia
08 March 2022 06:19
UKRAINE-CRISIS/SATELLITE 2
Foto: via REUTERS/BLACKSKY

Jakarta, CNBC Indonesia - Gejolak di pasar keuangan masih berlanjut dan dampaknya pun dirasakan sampai ke dalam negeri. Pasar saham dan SBN domestik ambruk tetapi nilai tukar rupiah mampu bertahan. 

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan perdana pekan ini dengan koreksi cukup dalam. Indeks ambles 0,86% dan ditutup di level 6.869 atau terjun dari level tertinggi yang ditorehkannya pekan lalu. 

Tidak seperti sebelum-sebelumnya, di mana inflow dana asing mengalir deras, investor asing memanfaatkan momentum IHSG yang mencapai all time high untuk keluar tercermin dari net sell asing yang mencapai hampir Rp 263 miliar di pasar reguler. 

Pergerakan IHSG senada dengan mayoritas bursa saham Asia yang melemah. Indeks Hang Seng Hong Kong tertekan paling signifikan dengan koreksi mencapai 3,87% disusul indeks Nikkei Jepang yang terbanting 2,94%. 

Kendati melemah nyaris 1%, kinerja IHSG terbilang cukup baik. Di kawasan ASEAN dan Asia Pasifik, IHSG sukses menduduki peringkat ketiga setelah indeks VN (Vietnam) dan PSEi (Filipina) yang masing-masing terkoreksi 0,42% dan 0,73%. 

Tema pada perdagangan kemarin yaitu ambrolnya harga aset-aset berisiko seperti saham. Namun aset safe haven seperti obligasi negara (SBN) juga mengalami pelemahan. Koreksi harga tercermin dari kenaikan imbal hasilnya (yield).

Yield untuk SBN acuan 10 tahun naik nyaris 8 bps menjadi 6,71% sedangkan untuk yield SBN 5 tahun hanya naik 7 bps dan ditutup di level 5,53%. Berbeda dengan pasar ekuitas yang masih digempur dengan inflow, asing justru melepas kepemilikannya di SBN. 

Berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI), non-residen alias asing membukukan net sell di pasar SBN senilai Rp 8,3 triliun pada periode 1-2 Maret 2022. Namun di saat yang sama, asing net buy di pasar saham senilai Rp 2,17 triliun. 

Banjir dana asing yang deras ke pasar saham domestik turut menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Namun peningkatan risiko geopolitik global akibat perang Rusia-Ukraina membuat dolar AS menjadi perkasa. Ketika greenback menguat, maka mata uang lain menjadi tumbalnya termasuk rupiah. 

Nilai tukar rupiah terpantau melemah 0,14% ke level Rp 14.405/US$. Walaupun rupiah tertekan sampai menyentuh level Rp 14.400/US$ tetapi kinerja hariannya kemarin masih lebih baik dari mayoritas mata uang kawasan Asia lain. 

Prospek damai Rusia-Ukraina yang semakin kabur dan membuat harga minyak mentah dunia melonjak turut memantik aksi jual investor di bursa saham New York. Wall Street kembali terkapar di zona merah dengan koreksi lebih dari 2%. 

Indeks Dow Jones ambruk 2,38%, disusul indeks S&P 500 yang drop 2,95% dan Nasdaq Composite menjadi indeks yang paling terbanting setelah terkoreksi 3,62% pada penutupan perdagangan dini hari tadi. 

Harga minyak mentah acuan AS yakni West Texas Intermediate (WTI) lompat 1,5% menjadi US$ 117 per barel setelah sempat menyentuh angka US$ 130/barel. Adapun minyak acuan global jenis Brent melesat ke level US$ 121/barel, setelah sempat menyentuh level US$ 139/barel atau level tertinggi sejak Juli 2008.

Reli terjadi setelah Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken kepada NBC pada Minggu menyatakan bahwa Washington "sangat aktif berdiskusi" dengan pemerintah di Eropa mengenai rencana blokade migas Rusia.

Ketua DPR AS Nancy Pelosi dalam surat resminya ke kader Partai Demokrat menyatakan bahwa pihaknya "mencari legislasi yang kuat" untuk melarang impor minyak asal Rusia - yang diyakini bakal kian mengisolasi Rusia dari ekonomi global.

Pekan lalu Ukraina menuduh Rusia melanggar gencatan senjata dengan melancarkan kembali serangan. Di sisi lain, Rusia menuduh pemerintah Ukraina justru tak mengizinkan warga sipil keluar lewat jalur yang disepakati karena memakai mereka sebagai tameng.

Harga BBM pun melonjak ke level tertingginya sejak 2008, dengan rata-rata nasional di AS mencapai US$ 4,06/galon, menurut AAA. Hal ini memicu kekhawatiran inflasi dunia akan meninggi.

Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun yang menjadi acuan pasar pun kembali naik, sebesar 4 basis poin (bp) menjadi 1,76%. Kenaikan yield mengindikasikan harga yang tertekan karena permintaan aset minim risiko (dalam hal ini obligasi pemerintah) menurun.

"Pasar saham berkutat dengan tekanan suplai komoditas termasuk harga minyak dan khawatir bahwa ini bisa berubah menjadi tekanan stagflasi dan tak hanya inflasi," tutur Kathy Bostjancic, Kepala Ekonom Oxford Economics kepada CNBC International.

Apa yang disampaikan oleh Kepala Ekonom Oxford Economics benar adanya. Sebelum perang antara Rusia dan Ukraina meletus, ekonomi AS memang dibayangi dengan hantu inflasi. Pada Januari 2022, Negeri Paman Sam mencatatkan tingkat inflasi tahunan sebesar 7,5% dan menjadi yang tertinggi dalam periode empat dekade terakhir sejak 1982. 

Tekanan pada inflasi AS yang tinggi ini kebanyakan dipicu oleh peningkatan harga energi. Harga minyak mentah sudah naik lebih dari 50% sepanjang 2022. Ketika harga minyak naik, harga bahan bakar fosil yang lain seperti gas dan batu bara pun ikut terangkat. 

Kondisi perang Rusia-Ukraina yang terus berkembang beserta risiko gangguan rantai pasok bisa semakin membuat harga energi melambung. Alhasil, tekanan inflasi pun semakin meningkat. Kebetulan data inflasi AS bulan Februari 2022 akan dirilis pekan ini. 

Pada Kamis (10/3/2022) nanti AS akan merilis laporan inflasinya. Dengan kenaikan tajam harga komoditas energi, pelaku pasar memperkirakan Indeks Harga Konsumen (IHK) AS bakal naik 0,8% month on month (mom). Secara tahunan inflasi AS diperkirakan melesat sampai 7,9% yoy.

Dengan adanya inflasi yang kian mengkhawatirkan, tidak hanya ekonomi Rusia saja yang sekarat karena terkena sanksi. Ekonomi AS pun terancam mengalami hal serupa. Inflasi yang tinggi akan menggerus daya beli masyarakat.

Ketika daya beli masyarakat melemah, permintaan terhadap barang dan jasa pun menurun. Akibatnya, marjin laba perusahaan tergerus bahkan bisa sampai merugi. Kalau ini terjadi, maka jangan harap perusahaan akan ekspansif, membiayai kebutuhan operasional saja sulit. 

Dampaknya akan dirasakan di sektor tenaga kerja. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bisa terjadi di mana-mana, tingkat pengangguran yang sudah turun ke bawah 4% bisa melonjak lagi. Inflasi tinggi, pengangguran tinggi akan berdampak pada penurunan output riil ekonomi AS. Inilah yang dinamakan sebagai stagflasi. 

Untuk menghindari kondisi yang tidak diinginkan tersebut, bank sentral AS The Federal Reserves Bank atau lebih sering disingkat The Fed bakal mengetatkan kebijakan moneternya. Agresifitas The Fed dalam menaikkan suku bunga acuan dapat membuat pasar semakin terombang-ambing. 

Investor pun akan semakin menghindari aset-aset berisiko seperti saham. Setidaknya sentimen ini masih akan terus membayangi dalam beberapa waktu ke depan. Apalagi eskalasi perang antara Rusia dan Ukraina masih berpotensi untuk berlanjut. 

Seorang investor kawakan asal AS yakni Bill Ackman bahkan secara frontal mengatakan bahwa Perang Dunia III sudah dimulai. Bill Ackman yang juga CEO perusahaan investasi Pershing Square Capital Management tersebut memang kontroversial. 

Pada 2020, saat kasus Covid-19 di AS belum tembus angka 7.000, Ia mewanti-wanti bahwa lockdown masif harus diterapkan karena kondisi akan semakin memburuk. Meski sempat dianggap menebar "fear", apa yang disampaikan Bill Ackman benar adanya. Ramalannya pun terbukti.

Kini ia mengatakan bahwa Perang Dunia III sudah dimulai hanya saja kita lambat untuk menyadarinya. Perkembangan konflik Rusia-Ukraina dan kekhawatiran pasar akan Perang Dunia III yang membuat ekonomi AS stagflasi masih terus membayangi. 

Kinerja Wall Street yang kembali ambles dini hari tadi seolah menjadi mimpi buruk bagi pasar keuangan Asia yang akan buka hari ini. Harga komoditas yang kuat membuat saham-saham energi dan berbasis komoditas diuntungkan dan cocok untuk strategi taktikal. 

Sementara itu saham-saham yang berbasis consumer, apalagi yang memiliki eksposur pada usaha yang menggunakan bahan baku seperti gandum cenderung dirugikan, karena kenaikan harga komoditas pangan akan berdampak negatif terhadap kinerja perseroan. 

Potensi tekanan pada IHSG, SBN dan rupiah masih bisa terjadi, apalagi jika dibarengi dengan outflow dana asing yang deras. Seperti yang sudah diketahui bersama, asing mulai membukukan net sell di pasar ekuitas kemarin. 

Dari dalam negeri akan ada rilis data cadangan devisa RI bulan Februari 2022. Trading Economics memperkirakan posisi cadangan devisa Indonesia untuk bulan lalu bakal turun menjadi US$ 139,9 miliar atau turun US$ 1 miliar dari bulan Januari 2022 yang berada di posisi US$ 141,3 miliar.

Namun untuk perdagangan hari ini, sentimen eksternal masih akan memainkan peran penting dalam menggerakkan aset-aset keuangan global. Investor harus sudah mulai dengan berbagai skenario yang buruk. 

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Rilis Data Transaksi Berjalan Jepang bulan Januari 2022 (06.50 WIB)

  • Rilis Data Cadangan Devisa Indonesia bulan Februari 2022 (10.00 WIB)

  • RUPSLB PT MNC Studios International Tbk (MSIN) (14.00 WIB)

  • RUPST PT Arwana Citra Mulia Tbk (ARNA) (10.00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (2021 YoY)

3,69%

Inflasi (Februari 2022, YoY)

2,06%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2022)

3,50%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021)

-4,85% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2021)

0,30% PDB

Cadangan Devisa (Agustus 2021)

US$ 141,3 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular