Kemarin, IHSG ditutup di posisi 6.734,49. Ambles 1,19% dari penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Perdagangan berlangsung semarak dengan volume transaksi 22,05 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan tercatat 1,43 juta kali dengan nilai Rp 12,43 triliun.
Investor asing sejatinya masih saja getol membeli saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kemarin, investor asing membukukan beli bersih Rp 402,95 miliar. Dengan demikian, total beli bersih investor asing sejak awal 2022 adalah Rp 15,79 triliun.
Mungkin arus modal asing itu yang membuat rupiah mampu menguat. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), mata uang Tanah Air terapresiasi 0,17% ke Rp 14.325/US$.
Beralih ke bursa saham AS, tiga indeks utama ditutup di zona merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) minus 0,42%, S&P 500 melemah 0,37%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,09%.
Penyebab koreksi di Wall Street adalah komentar pejabat teras bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed). Dalam wawancara bersama CNBC International, Presiden The Fed St Loius James Bullard menyebut pada 1 Juli 2022 suku bunga acuan sudah harus naik 100 basis poin (bps) atau 1%.
"Inflasi sudah meluas dan semakin cepat. Jadi, saya tetap pada posisi itu," tegas Bullard.
Untuk bulan depan, Bullard menyatakan Federal Funds Rate mesti naik 50 bps. Ini karena inflasi yang sudah menyentuh 7,5% year-on-year (yoy) pada Januari 2022.
Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbal hasil (yield) obligasi. Kenaikan yield akan menarik aliran modal dari pasar-pasar lainnya, termasuk pasar yang berisiko seperti saham.
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan akan ikut menaikkan suku bunga di tingkat perbankan, termasuk kredit. Dengan begitu, biaya ekspansi emiten akan naik dan ini akan menggerus laba.
"Jadi, inflasi adalah kryptonite bagi valuasi emiten. Dampak inflasi tinggi akan meluas ke mana-mana, dan ini yang sedang kita rasakan sekarang," ujar Terry Sandven, Chief Equity Strategist di US Bank Wealth Management yang berbasis di Minneapolis (AS), seperti dikutip dari Reuters.
Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (1)
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen yang berpotensi menggerakkan pasar. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang kurang menggembirakan. Merahnya Wall Street akan mempengaruhi mental investor di pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah perkembangan friksi Rusia-Ukraina. Ada kabar baik, masih ada harapan perang tidak akan terjadi.
Sergei Lavrov, Menteri Luar Negeri Rusia, merekomendasikan kepada Presiden Vladimir Putin untuk menempuh jalan diplomasi. Menurut Lavrov, AS sudah memberikan proposal yang konkret untuk mengurangi risiko konfrontasi bersenjata.
"Peluang itu ada. Saat ini, saya merekomendasikan memperbanyak peluang tersebut," kata Lavrov, seperti diwartakan Reuters.
Komentar Lavrov seakan meredakan ketegangan. Sebelumnya, AS menyebut Rusia bisa kapan saja menginvasi Ukraina. Bahkan laporan intelijen AS menyebut serangan kemungkinan terjadi pada Rabu ini, yang akan memicu Perang Dunia III.
George Ball, CEO Sanders Morris Harris, menyebut ketegangan di Ukraina datang pada saat yang tidak tepat yakni ketika inflasi sedang tinggi dan suku bunga bakal naik. Oleh karena itu, meredanya friksi Ukraina-Rusia akan membawa kelegaan di benak pelaku pasar (dan seluruh dunia).
"Jika konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina bisa dhindari, maka akan memberikan kelegaan. Namun masih banyak kekhawatiran menunggu," sebut Ball, seperti dikutip dari Reuters.
Namun, pihak Ukraina sepertinya masih menilai bahwa Rusia bisa menyerang kapan saja. Volodymyr Zelenskiy, Presiden Ukraina, menyatakan ada kemungkinan invasi Rusia terjadi pada 16 Februari atau Rabu ini.
"Kami mendesak para pejabat pemerintah, politisi, dan dunia usaha yang telah meninggalkan Ukraina untuk kembali dalam 24 jam. Kami sudah diberi tahu bahwa 16 Februari akan menjadi hari serangan Rusia. Kita akan membuat hari itu sebagai hari persatuan," terang Zelenskiy, seperti dikutip dari Reuters.
Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data perdagangan internasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan nilai ekspor Januari 2022 naik 37,18% dari Januari 2021.
Sementara impor diperkirakan tumbuh tinggi, mencapai 53,98% yoy. Hasilnya, neraca perdagangan tetap surplus tetapi 'hanya' US$ 314 juta.
Meski masih surplus, tetapi berkurang dibandingkan Desember 2021 yang mencapai US$ 1,02 miliar. Surplus di bawah US$ 1 miliar kali terakhir terjadi pada Mei 2020.
Sejatinya tanda-tanda penurunan neraca perdagangan ini sudah terlihat dalam rilis cadangan devisa. Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa per akhir Januari 2022 sebesar US$ 141,3 miliar. Turun US$ 3,6 miliar dari bulan sebelumnya.
"Penurunan posisi cadangan devisa pada Januari 2022 antara lain dipengaruhi oleh kebutuhan pembayaran utang luar negeri pemerintah dan berkurangnya penempatan valas perbankan di Bank Indonesia antara lain sebagai antisipasi kebutuhan likuiditas valas sejalan dengan membaiknya aktivitas perekonomian," sebut keterangan tertulis BI.
Kalimat "antisipasi kebutuhan likuiditas valas sejalan dengan membaiknya aktivitas perekonomian" bisa diartikan bahwa dunia usaha sedang berburu valas untuk kebutuhan impor demi memenuhi permintaan domestik yang meningkat. Saat konsumsi masyarakat naik, wajar jika impor juga naik, apakah itu bahan baku, barang modal, atau barang konsumsi.
Saat impor melesat karena tingginya permintaan domestik, ekspor justru mengalami sedikit kendala. Sepanjang bulan lalu, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan larangan ekspor batu bara selama sebulan.
Di tengah jalan, pemerintah memang membuka 'keran' ekspor bagi perusahaan yang sudah mematuhi kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO). Namun tetap saja ekspor batu bara Indonesia turun lumayan drastis.
Mengutip catatan Refinitiv, ekspor batu bara Indonesia sepanjang Januari 2022 adalah 1,19 juta ton. Ini menjadi yang terendah sejak Agustus tahun lalu.
Padahal batu bara adalah salah satu komoditas andalan ekspor Indonesia. Selama 2021, nilai ekspor bahan bakar mineral (yang didominasi batu bara) mencapai US$ 32,84 miliar, meroket 90,3% dibandingkan 2020. Nilai ekspor US$ 32,84 miliar itu menyumbang 14,98% dari total ekspor non-migas.
"Larangan ekspor batu bara menciptakan ketidakcocokan (missmatch) pasokan dan permintaan valas," tulis Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahan Sekuritas, dalam risetnya.
Halaman Selanjutnya --> Simak Agenda dan Rilis Data Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data pembacaan awal pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal IV-2021 (06:50 WIB).
- Rilis data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia periode Desember 2021 (10:00 WIB).
- Rilis data perdagangan internasional Indonesia periode Januari 2022 (11:00 WIB).
- Rilis data angka pengangguran Inggris periode Desember 2021 (14:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mengakses data pasar terkini, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA