Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham bergerak berlawanan arah dengan pasar mata uang pada perdagangan Kamis kemarin (10/2/2022). Menutup pekan, peluang koreksi terbuka lebar di tengah kabar buruk dari Amerika Serikat (AS).
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,16% (-10,96 poin) di level 6.823,642. Sebelumnya IHSG bergerak di zona hijau pada sesi I dan bahkan sempat mencetak rekor tertinggi tengah hari (intraday) terbaru di 6.874,35.
Namun satu jam jelang penutupan, IHSG terpelanting ke zona merah tatkala bursa Asia menguat. Indeks Nikkei Jepang memimpin dengan apresiasi 0,42% disusul Hang Seng Hong Kong yang terapresiasi 0,38%.
Dalam dua hari terakhir, perdagangan terlihat cukup ramai. Hal ini tercermin dari nilai transaksi yang mencapai Rp 15,46 triliun. Sebelumnya, rata-rata transaksi harian hanya berada di kisaran Rp 12 triliun.
Meski IHSG ditutup di zona merah, investor asing tetap memborong saham. Di pasar reguler asing mencetak pembelian bersih (net buy) jumbo sebesar Rp 1,56 triliun. Dalam sepekan berjalan, asing tercatat membukukan net buy Rp 7,13 triliun di pasar reguler.
Tekanan terjadi setelah Bank Indonesia (BI) mengumumkan mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5%. Dengan demikian, BI 7-Day Reverse Repo Rate ini tak berubah sejak Februari 2021 atau genap setahun. Ini adalah suku bunga acuan terendah dalam sejarah Indonesia.
Keputusan tersebut membuat pasar surat utang bergerak variatif, yang menunjukkan bahwa investor di pasar terbelah dalam memandang outlook cuan dalam jangka pendek. Hal ini terlihat dari imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia yang ditutup bervariasi.
Pasar memang tengah gamang karena menanti rilis data inflasi Amerika Serikat (AS). Jika inflasi lebih tinggi dari perkiraan, maka ada peluang bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mendongkrak suku bunga acuannya secara lebih agresif. Hal ini bisa memicu daya tarik obligasi negara berkembang, termasuk Indonesia.
Imbal hasil SBN tenor 10 tahun tercatat melemah 0,1 basis poin menjadi 6,498%, bersamaan dengan pelemahan imbal hasil tiga obligasi lainnya yang bertenor panjang (20, 25, dan 30 tahun).
Adapun empat seri obligasi acuan lainnya menguat, di mana mayoritas adalah obligasi tenor pendek (1, 3, dan 5 tahun). Hanya satu obligasi tenor panjang yang menguat yakni yang bertenor 15 tahun.
Di pasar valas, kondisi sebaliknya terjadi. Rupiah justru sukses menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS), mencatat hat-trick alias penguatan 3 hari beruntun. Meski penguatannya tidak terlalu besar, tetapi rupiah menjadi runner up Asia kemarin, mengekor bath Thailand yang menguat 0,18%.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,07% ke Rp 14.345/US$. Sempat hingga 0,21%, rupiah akhirnya mengakhiri perdagangan di Rp 14.340/US$.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) terlempar ke zona merah pada penutupan perdagangan Kamis (10/2/2022), menyusul lonjakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS merespons inflasi yang meroket.
Indeks Dow Jones Industrial Average ambles 526,47 poin (-1,47%) ke 35.241,59. S&P 500 turun 83,1 poin (-1,81%) ke 4.504,08 dan Nasdaq merosot 304,73 poin (-2,1%) ke 14.185,64.
Reli terjadi setelah Indeks Harga Konsumen (IHK) AS dilaporkan mencapai 7,5% (tahunan), menjadi yang tertinggi sejak 1982 dan bahkan melampaui ekspektasi pasar yang memperkirakan angka inflasi sebesar 7,2%.
Merespons rilis tersebut. imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun melompat jadi 2%, jauh meninggalkan posisi akhir 2021 yang hanya 1,51%. Obligasi tenor 2 tahun mencetak kenaikan imbal hasil sebesar 26 basis poin (bp), terbesar dalam sehari sejak 2009.
Kenaikan imbal hasil demikian memukul saham teknologi AS yang memang getol merilis obligasi untuk pembiayaan. Saham teknologi pun berguguran seperti Shopify dan Adobe yang anjlok masing-masing sebesar 3,4% dan 5% sementara Microsoft drop 2,8%.
Sebaliknya, saham perbankan menguat karena diuntungkan oleh kenaikan suku bunga. Saham Citigroup dan Wells Fargo sama-sama menguat 1% di pembukaan.
"Dengan lonjakan inflasi Januari yang mengejutkan, pasar kini bertanya-tanya akan seagresif apa bank sentral [Federal Reserve/The Fed]," tutur Barry Gilbert, perencana alokasi aset LPL Financial, seperti dikutip CNBC.
Pasar berjangka (futures) di Chicago Mercantile Exchange (CME) mengindikasikan bahwa ada peluang sebesar 100% bahwa suku bunga acuan (Fed Funds Rate) akan dinaikkan sebesar 50 basis poin (bp) pada Maret nanti.
Ekonom Citi juga sepakat dengan itu, dengan mengubah proyeksinya dalam laporan risetnya, menyebutkan bahwa kenaikan Maret akan sebesar 50 bp. Pasar juga mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan sebanyak tujuh kali tahun ini, dengan peluang sebesar 61%.
Saham Disney melompat 3,4% setelah merilis kinerja kuartal IV-2021 yang melampaui ekspektasi pasar dengan lonjakan penerimaan dua kali lipat di bisnis taman hiburan, pengalaman, dan produk konsumen.
Demikian halnya dengan saham Coca Cola yang menguat 0,5% usai merilis kinerja keuangan yang positif. Berkat reli saham-saham yang merilis kinerja keuangan, ketiga indeks utama bursa saham AS terhitung masih di jalur hijau sepanjang pekan berjalan ini.
Pada perkembangan lain, angka klaim tunjangan pengangguran mingguan berada di angka 223.000, atau di bawah ekspektasi.
Kemarin menjadi momen pembuka mata para investor, moment of truth, di mana optimisme yang terbangun dalam 3 hari terakhir terbukti belum sepenuhnya berdasar. Inflasi Amerika Serikat (AS) ternyata masih menyisakan persoalan.
Dengan inflasi sebesar 7,5% (tahunan), tertinggi sejak 1982 dan bahkan melampaui ekspektasi pasar sebesar 7,2%, kita disuguhi sebuah risiko nyata yakni kenaikan suku bunga acuan AS (Fed Funds Rate) yang bakal kian agresif.
Pasar yang semula memperkirakan hanya ada tiga hingga empat kali kenaikan, kini mulau bertaruh bahwa perlu ada kenaikan suku bunga acuan sebanyak tujuh kali dalam setahun, guna mengendalikan inflasi.
Jika proyeksi itu terbukti benar, maka limpahan capital inflow yang kita lihat sepanjang Februari berpeluang tersendat. Sebagaimana diketahui, saat ini posisi arus dana asing di awal 2021 memang sedang berubah. Jika pada Januari tercatat terjadi capital outflow sekitar Rp 4 triliun di pasar obligasi pemerintah, maka pada Februari sitausinya berbalik
Per 7 Februari lalu kepemilikan asing tercatat sebesar Rp 895,74 triliun, artinya terjadi inflow sebesar Rp 8,46 triliun hanya dalam 7 hari saja di bulan ini. Dengan demikian, secara year-to-date (ytd) hingga 7 Februari lalu, tercatat capital inflow di pasar obligasi sebesar Rp 4,4 triliun.
Di pasar saham juga terjadi hal yang sama. Kemarin investor asing tercatat melakukan pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 1,56 triliun di pasar reguler. Selama sepekan terakhir, net buy asing tercatat lebih dari Rp 7,1 triliun.
Hal ini membuat rupiah perkasa, suatu fenomena yang diakui Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers kemarin. Arus masuk dana asing terjadi di tengah persepsi positif terjaga seiring dengan keberhasilan pemerintah menangani Covid-19 dan berlanjutnya pemulihan ekonomi.
Namun jika imbal hasil obligasi di AS meninggi, dalam waktu lebih cepat pula, untuk mengendalikan momok inflasi, maka mau tak mau kita akan menghadapi efek tapering yang kombo. Pengurangan likuiditas di pasar terjadi bersamaan dengan kenaikan suku bunga acuan.
Persepsi positif yang terbangun di Indonesia pun tak lagi menarik di mata para pemilik modal asing, karena mereka melihat kenyataan bahwa imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS kian terkerek sementara beban utang negara berkembang, termasuk Indonesia membengkak.
Hal ini membuat penerbitan kupon obligasi AS bakal menjadi lebih menarik, dengan tingkat bunga yang tinggi dan mempersempet rentang (spread) dengan obligasi negara berkembang. Artinya, daya tarik obligasi atau aset di negara berkembang menjadi kurang menarik
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Indeks Keyakinan Konsumen RI per Januari (10:00 WIB)
- Neraca perdagangan Inggris per Desember (07:00 WIB)
- Ekspektasi Inflasi MIchigan per Februari (15:00 WIB)
- RUPSLB PT Bank IBK INdonesia Tbk/AGRS (14:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA