Newsletter

Inflasi AS Meroket, Bersiap Taper Tantrum di Depan Mata?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
11 February 2022 06:50
Infografis: Ekonomi Terancam Luar Dalam, Apa yang Harus Dilakukan Jokowi?
Foto: Infografis/Ekonomi Terancam Luar Dalam, Apa yang Harus Dilakukan Jokowi?/Arie Pratama

Kemarin menjadi momen pembuka mata para investor, moment of truth, di mana optimisme yang terbangun dalam 3 hari terakhir terbukti belum sepenuhnya berdasar. Inflasi Amerika Serikat (AS) ternyata masih menyisakan persoalan.

Dengan inflasi sebesar 7,5% (tahunan), tertinggi sejak 1982 dan bahkan melampaui ekspektasi pasar sebesar 7,2%, kita disuguhi sebuah risiko nyata yakni kenaikan suku bunga acuan AS (Fed Funds Rate) yang bakal kian agresif.

Pasar yang semula memperkirakan hanya ada tiga hingga empat kali kenaikan, kini mulau bertaruh bahwa perlu ada kenaikan suku bunga acuan sebanyak tujuh kali dalam setahun, guna mengendalikan inflasi.

Jika proyeksi itu terbukti benar, maka limpahan capital inflow yang kita lihat sepanjang Februari berpeluang tersendat. Sebagaimana diketahui, saat ini posisi arus dana asing di awal 2021 memang sedang berubah. Jika pada Januari tercatat terjadi capital outflow sekitar Rp 4 triliun di pasar obligasi pemerintah, maka pada Februari sitausinya berbalik

Per 7 Februari lalu kepemilikan asing tercatat sebesar Rp 895,74 triliun, artinya terjadi inflow sebesar Rp 8,46 triliun hanya dalam 7 hari saja di bulan ini. Dengan demikian, secara year-to-date (ytd) hingga 7 Februari lalu, tercatat capital inflow di pasar obligasi sebesar Rp 4,4 triliun.

Di pasar saham juga terjadi hal yang sama. Kemarin investor asing tercatat melakukan pembelian bersih (net buy) sebesarĀ  Rp 1,56 triliun di pasar reguler. Selama sepekan terakhir, net buy asing tercatat lebih dari Rp 7,1 triliun.

Hal ini membuat rupiah perkasa, suatu fenomena yang diakui Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers kemarin. Arus masuk dana asing terjadi di tengah persepsi positif terjaga seiring dengan keberhasilan pemerintah menangani Covid-19 dan berlanjutnya pemulihan ekonomi.

Namun jika imbal hasil obligasi di AS meninggi, dalam waktu lebih cepat pula, untuk mengendalikan momok inflasi, maka mau tak mau kita akan menghadapi efek tapering yang kombo. Pengurangan likuiditas di pasar terjadi bersamaan dengan kenaikan suku bunga acuan.

Persepsi positif yang terbangun di Indonesia pun tak lagi menarik di mata para pemilik modal asing, karena mereka melihat kenyataan bahwa imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS kian terkerek sementara beban utang negara berkembang, termasuk Indonesia membengkak.

Hal ini membuat penerbitan kupon obligasi AS bakal menjadi lebih menarik, dengan tingkat bunga yang tinggi dan mempersempet rentang (spread) dengan obligasi negara berkembang. Artinya, daya tarik obligasi atau aset di negara berkembang menjadi kurang menarik

(ags/ags)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular