
Wall Street Bangkit dari Januari Kelabu, IHSG Siap Rebound?

Setelah melewati koreksi pada perdagangan Senin kemarin (31/1/2022), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebenarnya berpeluang memasuki zona hijau pada perdagangan besok menyusul sentimen global yang masih suportif sepanjang Libur Imlek.
Namun, pengumuman Indeks Harga Konsumen (IHK) akan menjadi sentimen kunci yang perlu diperhatikan pasar dan akan sangat mempengaruhi selera mengambil risiko (risk appetite) para investor pada perdagangan besok.
Pada perdagangan besok, pelaku pasar bakal memantau dua agenda ekonomi di dalam negeri yang bakal memengaruhi psikologi mereka, yakni rilis inflasi Januari dan rilis Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) yang rencananya akan dirilis hari ini.
Berdasarkan konsensus yang dihimpun Tim Riset CNBC Indonesia, inflasi Januari diprediksi berada di angka 0,54% secara bulanan (month-to-month/mtm), mengacu pada median konsensus. Secara tahunan (year-on-year/yoy) inflasi diperkirakan di angka 2,15%.
Jika terwujud, maka angka inflasi tersebut akan menjadi yang tertinggi sejak Mei 2020. Sementara itu, inflasi inti secara tahunan diproyeksikan di 1,73%. Jika terkonfirmasi, maka inflasi Januari akan menjadi yang tertinggi sejak September 2020.
Inflasi inti mengecualikan harga barang yang volatil sehingga sifatnya menetap (persisten) dan dianggap mencerminkan daya beli masyarakat. Secara umum, harga barang memang sedang menguat mengerek angka inflasi di bulan pertama tahun ini.
Kenaikan inflasi di Indonesia akan memberikan dorongan ekstra bank Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuan, terutama di tengah tren pengetatan moneter di negara maju yang juga menggencet rupiah.
Meski kenaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate tersebut bermanfaat untuk menyasar dua target sekaligus (menstabilkan inflasi dan nilai tukar rupiah), dalam jangka menengah kebijakan tersebut bisa menekan pertumbuhan ekonomi.
Data selanjutnya yang akan dipantau adalah PMI manufaktur Indonesia per Januari, yang menurut Tradingeconomics akan membaik menjadi 54, dari bulan sebelumnya 53,5.
Indeks PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula, di mana kenaikan di atas itu merepresentasikan ekspansi manufaktur dan di bawah itu dinilai sebagai bentuk kontraksi.
Beberapa ekonomi besar dunia dan partner dagang utama RI telah mengumumkan aktivitas manufakturnya untuk bulan Januari. Amerika Serikat melaporkan PMI Januari berada di angka 57,6 jatuh ke level terendah dalam14 bulan di tengah wabah infeksi COVID-19, khususnya varian Omicron yang melonjak di seluruh AS.
Kabar kurang bagus pertama datang dari negara partner dagang terbesar RI. Aktivitas manufaktur China tercatat mengalami pelambatan di bulan Januari dengan PMI berada di angka 49,1.
Kontraksi yang terjadi bulan lalu tersebut adalah tingkat paling tajam dalam 23 bulan, menggarisbawahi biaya ekonomi yang sangat besar dari pendekatan nol-Covid (zero covid policy) di China dengan lonjakan kasus dan langkah-langkah pengetatan yang keras membebani output dan permintaan
Berseberangan dengan China, Jepang melaporkan aktivitas manufaktur tumbuh pada laju tercepat dalam hampir delapan tahun di bulan Januari karena output yang lebih kuat dan pesanan baru, sementara tekanan biaya tetap tinggi karena perusahaan terus menghadapi penundaan rantai pasokan.
Kondisi ekonomi di kawasan Uni Eropa juga tercatat mulai membaik, dengan angka pengangguran pada Desember 2021 lalu tercatat turun.
Terakhir terdapat satu sentimen yang dapat membebani kinerja IHSG yakni lonjakan kasus infeksi Covid yang angkanya terus meningkat drastis dalam sepekan. Dalam tiga hari terakhir kasus corona bahkan telah menembus angka 10.000, dengan yang terbaru tanggal 1 Februari angka ini melonjak lagi menjadi 16.021 kasus positif baru, dengan total kasus aktif tercatat sejumlah 81.349 kasus.
(fsd/fsd)