Newsletter

Wall Street Bangkit dari Januari Kelabu, IHSG Siap Rebound?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
02 February 2022 06:10
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG, Senin (22/11/2021)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG (CNBC Indonesia/Muhammad sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah pada perdagangan Senin (31/1/2022) atau perdagangan terakhir di bulan Januari tahun ini, di tengah positifnya bursa saham Asia pada hari ini dan bursa saham Amerika Serikat (AS) pada Jumat pekan lalu.

Indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut ditutup melemah 0,22% ke level 6.631,15. Pergerakan IHSG tercatat cenderung volatil di mana pada pembukaan perdagangan sesi I, IHSG sempat dibuka melonjak dan menyentuh level 6.669,91.

Namun selang beberapa menit, IHSG langsung berbalik arah ke zona merah. Sekitar pukul 11:00, IHSG kembali menguat dan berhasil ditutup di zona hijau pada penutupan perdagangan sesi I. Tetapi setelah sesi kedua dibuka, IHSG tak lagi bergairah hingga penutupan perdagangan sesi II atau penutupan perdagangan Senin.

Data perdagangan mencatat nilai transaksi IHSG pada Senin lalu cenderung naik menjadi Rp 14,6 triliun. Sebanyak 292 saham menguat, 242 saham melemah, dan 152 saham stagnan. Investor asing tercatat menjual bersih (net sell) sebesar Rp 247 miliar di pasar reguler.

Asing melakukan penjualan bersih di saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sebesar Rp 118 miliar dan di saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) sebesar Rp 62 miliar.

Sementara pembelian bersih dilakukan asing di saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) sebesar Rp 67 miliar dan di saham PT XL Axiata Tbk (EXCL) sebesar Rp 31 miliar.

Bulan ini yang dimulai dengan perayaan tahun baru China, menjadi bulan yang cukup menantang bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Pasalnya, pasar saham global sepanjang bulan lalu mencatatkan kinerja yang kurang cemerlang karena investor menilai bahwa risiko makroekonomi masih terjadi setidaknya hingga awal tahun 2022.

Meski pasar saham global cenderung merosot pada Januari lalu, tetapi IHSG berhasil mencetak kinerja positifnya. Bahkan jika dibandingkan dengan Desember 2021, kinerja IHSG pada Januari 2022 lebih baik.

IHSG melesat 0,75% pada Januari 2022, di mana per 31 Januari, IHSG berada di level 6.631,15. Bahkan pada Januari, IHSG juga tercatat berhasil mencetak rekor terbarunya di level 6.726,37 yang tercipta pada 21 Januari lalu.

Meski pasar menduga bahwa fenomena January Effect pada tahun 2022 tidak sebesar pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi pada akhirnya fenomena tersebut masih hadir pada tahun ini. Januari Effect terakhir terlihat sekitar dua tahun lalu, atau saat pandemi virus corona (Covid-19) belum muncul di Indonesia.

Asal tahu saja, January effect merupakan sebuah fenomena di mana bursa saham Amerika Serikat (AS) cenderung menguat pada Januari. Hal ini terjadi setelah adanya fenomena Santa Claus Rally pada penghujung tahun atau pada bulan Desember.

Bursa domestik dapat dikatakan beruntung, mengingat tiga bursa utama Wall Street kompak ambles di bulan pertama tahun 2022 ini.

Sementara itu, berbeda dengan IHSG yang ditutup melemah, nilai tukar rupiah sukses menguat tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (31/1), setelah tidak pernah menguat sepanjang pekan lalu. Rupiah masih mampu menguat meski mendapat tekanan dari dalam dan luar negeri.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,03% ke Rp 14.390/US$, setelahnya sempat menembus ke atas Rp 14.400/US$. Tetapi rupiah sukses bangkit selepas tengah hari, dan mencatat penguatan tipis 0,03% ke Rp 14.380/US$.

Meski ditutup menguat pada hari terakhir bulan Januari, sepanjang bulan atau sejak awal tahun, rupiah masih mengalami depresiasi terhadap dolar AS. Di pasar spot rupiah tercatat melemah 0,81% selama bulan Januari, sedangkan di kurs tengah BI atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) rupiah melemah 0,85% terhadap dolar AS.

Sepanjang bulan Januari setidaknya terdapat dua sentimen utama yang mempengaruhi pergerakan rupiah, yakni keputusan The Fed untuk menaikkan suku bunga dan kondisi pandemi yang masih bergulat dengan varian baru virus Covid-19.

Saham AS yang sempat berayun di zona hijau dan merah pada sesi awal perdagangan yang berombak pada Selasa (1/2), kompak ditutup menguat. Fluktuasi tersebut terjadi karena investor menimbang serentetan hasil pendapatan dan laba kuat yang dicatatkan perusahaan baru-baru ini terhadap ketidakpastian lanjutan atas dampak suku bunga yang lebih tinggi.

Setelah Januari yang liar, Dow Jones Industrial Average naik 272 poin, atau 0,8%, menjadi 35.422,11. S&P 500 naik 0,6% menjadi 4.547,72. Nasdaq Composite naik 0,7% menjadi 14.340,08.

"Setelah sangat terganggu di bulan Januari, investor dan trader akhirnya memfokuskan kembali pada musim pendapatan," kata Jeff Kilburg, kepala investasi Sanctuary Wealth, dilansir CNBC Internasional.

"Melihat beberapa pergerakan ini dan panduan ke depan yang lebih baik telah menciptakan banyak optimisme di musim pendapatan ini, yang [semula] cenderung terabaikan karena fakta bahwa Federal Reserve mengambil alih panggung utama," ujar Jeff.

Sebelumnya, indeks utama Wall Street tercatat membukukan kerugian tajam untuk Januari yang ditandai oleh perubahan harga yang brutal. Saham blue-chip Dow turun 3,3%, dengan S&P 500 dan Nasdaq mengalami penurunan bulanan terburuk sejak Maret 2020, masing-masing turun 5,3% dan 8,98%. Itu juga merupakan penurunan Januari terbesar bagi S&P 500 sejak 2009.

Aksi jual Januari terjadi ketika The Fed mengisyaratkan kesiapannya untuk memperketat kebijakan moneter, termasuk menaikkan suku bunga beberapa kali tahun ini dalam upaya untuk menjinakkan inflasi yang melonjak ke level tertinggi dalam hampir empat dekade. Investor berbondong-bondong keluar dari saham teknologi yang berorientasi pada pertumbuhan, yang sangat sensitif terhadap kenaikan suku bunga.

Saham bank memimpin kenaikan pasar pada perdagangan Selasa, dengan Goldman Sachs dan JPMorgan Chase masing-masing naik 2,2% dan 1,5%. Wells Fargo juga naik lebih dari 3%.

Perbankan mendapat dorongan karena benchmark imbal hasil Treasury 10-tahun naik 2 basis poin untuk menembus kembali di atas 1,8%. Langkah itu terjadi bahkan setelah data manufaktur AS untuk Januari menunjukkan lebih banyak tanda kenaikan inflasi.

Nama-nama teknologi besar seperti Netflix dan Meta Platforms berkontribusi terhadap kenaikan indeks utama Wall Street, dengan masing-masing menguat 6,5% dan 1,8%. Alfabet juga naik 1,5%.

Investor dan para pedagang juga masih menunggu rilis pendapatan dari Alphabet - yang dijadwalkan untuk dilaporkan setelah penutupan perdagangan - dengan Amazon dan Meta akan melaporkan akhir minggu ini.

Sejauh ini perusahaan membukukan laporan pendapatan dan laba cukup solid, dengan 78,5% dari perusahaan S&P 500 yang telah melaporkan berhasil mengalahkan ekspektasi bottom-line, menurut FactSet.

UPS melaporkan pendapatan yang lebih baik dari perkiraan dan menaikkan dividen kuartalannya, mengirim saham naik lebih dari 13%. Saham Exxon Mobil naik lebih dari 3% setelah perusahaan melaporkan perolehan laba kuartalan di atas perkiraan dan pendapatan yang melonjak lebih dari 80% secara tahunan.

Data yang dirilis Selasa menunjukkan aktivitas manufaktur AS melambat bulan lalu. Laporan Institute for Supply Management mengungkapkan IPM turun menjadi 57,6-angka di atas 50 umumnya menandakan ekspansi-di bulan Januari dari 58,8 di bulan Desember. Laporan tersebut menunjukkan bahwa varian Covid-19 Omicron dan hambatan rantai pasokan termasuk di antara masalah yang membebani aktivitas manufaktur.

Sebuah laporan terpisah dari Departemen Tenaga Kerja mengatakan perekrutan dan jumlah pengunduran diri pekerja melambat pada Desember dari bulan sebelumnya.

Setelah melewati koreksi pada perdagangan Senin kemarin (31/1/2022), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebenarnya berpeluang memasuki zona hijau pada perdagangan besok menyusul sentimen global yang masih suportif sepanjang Libur Imlek.

Namun, pengumuman Indeks Harga Konsumen (IHK) akan menjadi sentimen kunci yang perlu diperhatikan pasar dan akan sangat mempengaruhi selera mengambil risiko (risk appetite) para investor pada perdagangan besok.

Pada perdagangan besok, pelaku pasar bakal memantau dua agenda ekonomi di dalam negeri yang bakal memengaruhi psikologi mereka, yakni rilis inflasi Januari dan rilis Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) yang rencananya akan dirilis hari ini.

Berdasarkan konsensus yang dihimpun Tim Riset CNBC Indonesia, inflasi Januari diprediksi berada di angka 0,54% secara bulanan (month-to-month/mtm), mengacu pada median konsensus. Secara tahunan (year-on-year/yoy) inflasi diperkirakan di angka 2,15%.

Jika terwujud, maka angka inflasi tersebut akan menjadi yang tertinggi sejak Mei 2020. Sementara itu, inflasi inti secara tahunan diproyeksikan di 1,73%. Jika terkonfirmasi, maka inflasi Januari akan menjadi yang tertinggi sejak September 2020.

Inflasi inti mengecualikan harga barang yang volatil sehingga sifatnya menetap (persisten) dan dianggap mencerminkan daya beli masyarakat. Secara umum, harga barang memang sedang menguat mengerek angka inflasi di bulan pertama tahun ini.

Kenaikan inflasi di Indonesia akan memberikan dorongan ekstra bank Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuan, terutama di tengah tren pengetatan moneter di negara maju yang juga menggencet rupiah.

Meski kenaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate tersebut bermanfaat untuk menyasar dua target sekaligus (menstabilkan inflasi dan nilai tukar rupiah), dalam jangka menengah kebijakan tersebut bisa menekan pertumbuhan ekonomi.

Data selanjutnya yang akan dipantau adalah PMI manufaktur Indonesia per Januari, yang menurut Tradingeconomics akan membaik menjadi 54, dari bulan sebelumnya 53,5.

Indeks PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula, di mana kenaikan di atas itu merepresentasikan ekspansi manufaktur dan di bawah itu dinilai sebagai bentuk kontraksi.

Beberapa ekonomi besar dunia dan partner dagang utama RI telah mengumumkan aktivitas manufakturnya untuk bulan Januari. Amerika Serikat melaporkan PMI Januari berada di angka 57,6 jatuh ke level terendah dalam14 bulan di tengah wabah infeksi COVID-19, khususnya varian Omicron yang melonjak di seluruh AS.

Kabar kurang bagus pertama datang dari negara partner dagang terbesar RI. Aktivitas manufaktur China tercatat mengalami pelambatan di bulan Januari dengan PMI berada di angka 49,1.

Kontraksi yang terjadi bulan lalu tersebut adalah tingkat paling tajam dalam 23 bulan, menggarisbawahi biaya ekonomi yang sangat besar dari pendekatan nol-Covid (zero covid policy) di China dengan lonjakan kasus dan langkah-langkah pengetatan yang keras membebani output dan permintaan

Berseberangan dengan China, Jepang melaporkan aktivitas manufaktur tumbuh pada laju tercepat dalam hampir delapan tahun di bulan Januari karena output yang lebih kuat dan pesanan baru, sementara tekanan biaya tetap tinggi karena perusahaan terus menghadapi penundaan rantai pasokan.

Kondisi ekonomi di kawasan Uni Eropa juga tercatat mulai membaik, dengan angka pengangguran pada Desember 2021 lalu tercatat turun.

Terakhir terdapat satu sentimen yang dapat membebani kinerja IHSG yakni lonjakan kasus infeksi Covid yang angkanya terus meningkat drastis dalam sepekan. Dalam tiga hari terakhir kasus corona bahkan telah menembus angka 10.000, dengan yang terbaru tanggal 1 Februari angka ini melonjak lagi menjadi 16.021 kasus positif baru, dengan total kasus aktif tercatat sejumlah 81.349 kasus.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Data Neraca Dagang Brazil Januari (01.00 WIB)
  • PMI Indonesia Januari (07.30 WIB)
  • Data Makroekonomi Bank Sentral Australia (17.30 WIB)
  • Data Laju Inflasi Indonesia Januari (11.00 WIB)
  • Laju Inflasi Uni Eropa Januari Flash (17.00 WIB)
  • Pembacaan awal Laju Inflasi Italia Januari (17.00 WIB)
  • Data Ketenagakerjaan Nonfarm Sektor Swasta AS Januari (20.15 WIB)
  • Pidato Gubernur Bank Kanada (22.00 WIB)

Hari ini hanya terdapat satu agenda korporasi yakni Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT MNC Investama Tbk (BHIT)

Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular