Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir-akhir ini pasar keuangan dalam negeri sering bergerak tidak kompak. Pada perdagangan kemarin (11/1), pasar saham domestik ditutup melemah, harga obligasi negara (SBN) beragam dan nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar AS.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup ambles 0,64% di level 6.647,97. Indeks semakin bergerak menjauhi level psikologis 6.700.
Transaksi cukup ramai pada perdagangan kemarin. Di saat IHSG terkoreksi pun asing masih net buy. Asing terpantau melakukan beli bersih di pasar reguler sebesar Rp 1,12 triliun.
Melihat Wall Street yang ambrol dan yield SBN AS yang terus meningkat di tengah peluang normalisasi kebijakan the Fed tentu bukan kabar baik bagi pasar keuangan Asia dan Indonesia.
Risiko lain juga datang dari perkembangan Covid-19. Belum juga varian Omicron tuntas, ilmuwan kembali menemukan varian baru Covid-19 yang memiliki karakteristik seperti Omicron dan Delta sehingga disebut sebagai Deltacron.
Beralih ke pasar SBN, harga obligasi pemerintah ditutup beragam. Sikap investor di pasar obligasi pemerintah cenderung beragam, di mana pada SBN bertenor satu tahun, tiga tahun, 10 tahun, dan 25 tahun ramai diburu oleh investor, ditandai oleh penguatan harga dan penurunan imbal hasil (yield).
Sebaliknya, SBN dengan jatuh tempo lima tahun, 15 tahun, 20 tahun, dan 30 tahun cenderung dilepas oleh investor. Hal ini ditandai oleh melemahnya harga dan kenaikan yield.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara menjadi yang paling besar penurunannya hari ini, yakni turun sebesar 1,6 basis poin (bp) ke level 6,447%.
Sementara itu, aset keuangan domestik yang kinerjanya paling baik adalah rupiah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Di pasar spot, rupiah juga menguat meski terbatas.
Di kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.299. Rupiah menguat 0,17% dari posisi hari sebelumnya. Di pasar spot, US$ 1 dibanderol Rp 14.300 kala penutupan perdagangan. Rupiah menguat tipis hampir flat di 0,03%.
Rupiah akhirnya berhasil menguat setelah sebelumnya cenderung terdepresiasi bahkan sempat mendekati level Rp 14.400/US$.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) juga merilis data penjualan eceran (ritel). Bank sentral nasional tersebut melaporkan ada perbaikan kinerja penjualan ritel di November dengan peningkatan 2,8% month-to-month (mtm) atau 10,8% year-on-year (yoy).
Kinerja penjualan ritel juga diperkirakan terus tumbuh di bulan Desember dengan perkiraan pertumbuhan bulanan 3,0% mtm dan pertumbuhan tahunan di 8,9% yoy. Perkiraan positif data tersebut tak terlepas dari adanya faktor musiman berupa libur Natal dan Tahun Baru (Nataru).
Beralih ke bursa saham Wall Street, tiga indeks acuan pasar ekuitas AS akhirnya berhasil lolos dari jeratan zona merah dan finish di zona hijau setelah sempat terkoreksi di awal perdagangan.
Indeks Dow Jones berakhir dengan penguatan 0,51%. Sedangkan indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing naik sebesar 0,92% dan 1,41%.
Penguatan pasar saham AS tak lepas dari melemahnya imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang ditutup di level 1,74%.
Sebelumnya, bursa saham terus tertekan karena imbal hasil atau yield obligasi pemerintah AS meningkat. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun naik mendekati 1,8% dari 1,5% pada Desember 2021.
Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS tersebut merespons dua hal. Pertama adalah perkiraan inflasi AS bulan Desember yang mencapai 7% dan the Fed yang semakin hawkish sehingga diproyeksikan bakal menaikkan suku bunga acuan paling cepat pada Maret 2022 dan di sepanjang tahun sebanyak 4x.
Namun Kepala Strategi Investasi di Leuthold Group Jim Paulsen menilai bahwa koreksi pasar tahun ini, yang sudah diawali pada pekan lalu, bakal dinetralisir oleh kabar baik dari kuatnya kinerja fundamental emiten AS.
"Secara historis, pasar saham mengalami 'taper tantrum' dan banyaknya kenaikan suku bunga acuan akan menyebabkan pasar saham menjadi tertekan," tutur Paulsen, seperti dikutip CNBC International.
Fokus pelaku pasar mungkin sedang terpecah karena pasar saham mungkin kurang mengacu pada kapan dan berapa kali suku bunga acuan dinaikkan dan lebih memantau kinerja keuangan emiten, lanjut Paulsen.
Musim rilis laporan keuangan akan ramai pada akhir pekan ini karena bank-bank besar dijadwalkan akan melaporkan kinerja keuangan per Desember 2021 pada Jumat nanti.
Pekan ini menjadi pekan yang menentukan bagi perekonomian dengan adanya rilis data inflasi pada Selasa waktu setempat, dan bos bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Jerome Powell akan memberikan konfirmasi lebih lanjut mengenai arah kebijakan moneternya ke depan.
Di depan Senat, Powell menyampaikan bahwa inflasi yang tinggi hanya akan sampai pertengahan 2022. Lebih lanjut sang komandan bank sentral AS tersebut juga mengatakan the Fed akan menaikkan suku bunga acuan lebih banyak jika dibutuhkan untuk menjinakkan inflasi yang terus membandel saat ini.
Setelah mendapatkan sinyal dan kejelasan dari bos the Fed akhirnya pasar keuangan bisa menjadi sedikit lebih tenang.
Apabila melihat yield obligasi pemerintah AS yang sudah turun dan pasar saham AS yang bangkit, maka peluang IHSG rebound bisa terjadi hari ini. Apalagi IHSG sudah melemah dalam dua hari perdagangan pekan ini.
Selain kinerja dari Wall Street yang ciamik, ada sentimen lain yang patut menjadi cermatan investor untuk perdagangan hari ini, Rabu (12/1/2021).
Pertama masih seputar wabah Covid-19 di dalam negeri. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 melaporkan ada tambahan 802 kasus baru kemarin. Dengan begitu, total kasus konfirmasi mencapai 4.267.451. Tambahan 802 kasus baru tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan hari sebelumnya yang tercatat 454.
Peningkatan kasus Covid-19 di Tanah Air juga diasosiasikan dengan penyebaran varian baru yaitu Omicron. Sebelum Omicron melanda, kasus infeksi harian Covid-19 di Indonesia konsisten berada di bawah angka 500.
Jika tren ini terus terjadi maka bukan tak mungkin serangan gelombang ketiga akan datang. Namun tentu saja itu bukanlah harapan semua orang. Hanya worst case scenario-nya juga harus dipertimbangkan. Apabila kasus semakin tak terkendali, maka pemerintah bisa saja kembali menarik rem darurat.
Di tengah kabar buruk yang harus kembali kita dengar seputar kenaikan kasus infeksi harian, terselip juga kabar yang cukup melegakan. Kali ini datang dari vaksin.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan vaksinasi ketiga atau booster vaksin Covid-19 akan dimulai 12 Januari 2022. Vaksinasi ini diberikan secara gratis.
Jokowi mengungkapkan untuk tahap awal booster vaksin Covid-19 memprioritaskan kelompok lanjut usia (lansia) dan kelompok rentan untuk meningkatkan kekebalan tubuh masyarakat di tengah mutasi virus Covid-19.
Jokowi mengungkapkan alasan pemberian vaksin booster gratis karena keselamatan masyarakat Indonesia adalah yang utama.
Tak lupa Jokowi mengingatkan masyarakat untuk tetap menerapkan protokol kesehatan memakai masker, menjaga jarak, dan rajin mencuci tangan meski sudah divaksin Covid-19.
Untuk saat ini sentimen memang sedang beragam. Namun peluang IHSG dan harga SBN untuk menguat masih terbuka setelah mengalami koreksi sejak awal pekan.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Rilis data Pengangguran Korea Selatan bulan Desember 2021 (06.00 WIB)
- Rilis data Transaksi Berjalan Jepang bulan November 2021 (06.50 WIB)
- Rilis data Inflasi China bulan Desember 2021 (08.30 WIB).
- Rilis data Inflasi AS bulan Desember 2021 (20.30 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY) | 3,51 % |
Inflasi (Desember 2021, YoY) | 1,87% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2021) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2021) | -4,65% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021) | 1,50% PDB |
Cadangan Devisa (Oktober 2021) | US$ 144,9 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA