
Kalah Telak dari Yuan China, Rupiah Berebut Posisi 3 di Asia

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar baik yang terus berdatangan terkait virus corona varian Omicron belum mampu membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat pada perdagangan Kamis kemarin. Rupiah begitu juga dengan Surat Berharga Negara (SNB) juga berakhir di zona merah.
Kamis (30/12) kemarin merupakan perdagangan terakhir di Bursa Efek Indonesia (BEI) di tahun ini, sayangnya IHSG tercatat melemah 0,29% ke 6.581,482. Di awal perdagangan IHSG sebenarnya sempat menguat 0,2%, yang menjadi indikasi penurunan terjadi akibat aksi ambil untung.
Sementara itu sepanjang tahun ini IHSG sukses mencatat penguatan lebih dari 10%. Investor asing tercatat melakukan aksi beli bersih (net buy) nyaris Rp 30 triliun di pasar reguler, nego dan tunai.
![]() |
Sementara itu Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Inarno Djajadi menyampaikan, sepanjang tahun 2021, penggalangan dana melalui penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) menjadi yang terbesar dalam sejarah pasar modal.
Inarno menyebut, sampai dengan akhir 2021, terdapat 54 perusahaan yang melantai di BEI dengan perolehan dana IPO sebesar Rp 62,61 triliun. "Penggalangan dana tertinggi sepanjang sejarah BEI," kata Inarno, dalam Konferensi Pers Penutupan Perdagangan BEI Tahun 2021, Kamis (30/12/2021).
IHSG sudah menutup tahun ini kemarin, sementara rupiah masih akan "berlaga" satu kali lagi pada hari ini Jumat (31/12). Kemarin rupiah membukukan pelemahan 0,11% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.265/US$.
Dalam 4 hari perdagangan di pekan ini rupiah tidak mampu mencatat penguatan, sementara pada perdagangan terakhir pekan ini dan 2021, Jumat (31/12), peluang penguatan masih terbuka meski agak berat. Rupiah juga bisa dipastikan mencatat pelemahan di tahun ini, kalah telak dari yuan China yang mampu menguat melawan dolar AS. Faktor-faktor penggerak pasar hari ini akan di bahas pada halaman 3. Sementara "contekan" pergerakan rupiah di tahun depan ada di halaman 4.
Perdagangan yang sepi, serta kemungkinan bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga di bulan Maret 2022 membuat rupiah kesulitan menguat, meski banyak kabar baik mengenai virus corona Omicron.
![]() |
Hal yang sama juga menimpa obligasi Indonesia. Dari semua tenor, hanya SBN 1 tahun yang mengalami penguatan, terlihat dari penurunan imbal hasilnya (yield).
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika yield turun artinya harga sedang naik, begitu juga sebaliknya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Hentikan Reli, 3 Indeks Utama Wall Street Merah
Bursa saham AS (Wall Street) akhirnya menghentikan reli pada perdagangan Kamis waktu setempat. Indeks S&P 500 turun dari rekor tertinggi sepanjang masa, sementara Dow Jones melemah untuk pertama kalinya dalam 6 hari terakhir.
Data yang dirilis dari Amerika Serikat menunjukkan klaim tunjangan pengangguran mingguan yang berakhir 25 Desember sebanyak 198.000 orang, lebih rendaj dari perkiraan Dow Jones sebesar 205.000 orang.
Angka klaim tersebut menjadi yang terendah dalam 50 tahun terakhir, dan menunjukkan pasar tenaga kerja yang terus menguat.
"Klaim awal tunjangan pengangguran sangat rendah. Permintaan pekerja sangat kuat dan ada kekurangan tenaga kerja sehingga dunia usaha tidak memberhentikan karyawan. Orang yang menganggur kini bisa memperoleh perkerjaan," tulis Gus Faucher, kepala ekonomi di PNC Financial, sebagaimana dikutip CNBC International.
Meski pasar tenaga kerja terus menunjukkan penguatan, yang berarti bagus bagi perekonomian, Wall Street masih berakhir merah. Indeks S&P 500 melemah 0,3% ke 4.778,73, Dow Jones turun 0,25% ke 36.398,08 dan Nasdaq minus 0,16% ke 15.741,56.
Wall Street kini berada pada periode Santa Claus Rally.
Santa Rally merupakan momen spesifik, di aman ada kecenderungan Wall Street akan mengalami kenaikan di 5 hari terakhir perdagangan setiap tahunnya, dan berlanjut di 2 hari pertama tahun yang baru.
Artinya, Santa Rally di Amerika Serikat akan dimulai Senin (27/12) kemarin, dan berakhir pada 4 Januari 2022.
Dalam 45 tahun terakhir, Santa Rally menghasilkan return positif sebanyak 34 kali, dengan rata-rata sebesar sebesar 1,4%. Namun, periode tersebut juga kerap memicu volatilitas tinggi akibat volume perdagangan yang rendah.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Melemahnya Wall Street bisa memberikan tekanan bagi rupiah di laga terakhirnya. Selain itu, indeks dolar AS juga mencatat penguatan tipis.
Selain itu pelaku pasar akan melihat data aktivitas manufaktur China yang dilihat dari purchasing managers' index (PMI) bulan Desember. Di bulan lalu, PMI manufaktur China sebesar 50,1 mengalami ekspansi pertama setelah terkontraksi dalam dua bulan beruntun.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di atasnya berarti ekspansi, sementara di bawahnya kontraksi.
Jika sektor manufaktur China mampu mempertahankan atau menambah ekspansi, maka akan menjadi sentimen positif bagi rupiah dan mata uang Asia lainnya.
Rupiah sudah bisa dipastikan akan mencatat pelemahan melawan dolar AS di tahun ini. Meski demikian, kinerja rupiah tidak buruk. Sepanjang tahun ini hingga Kamis kemarin, dolar AS hanya mampu menguat 1,6% saja melawan rupiah.
Dengan kinerja tersebut, rupiah untuk sementara berada di urutan ketiga mata uang utama terbaik di Asia. Rupiah bersaing ketat dengan rupee India yang melemah 1,87%.
Sementara itu yuan China menjadi yang terbaik setelah mampu membuat dolar AS melemah lebih dari 2%. Di urutan kedua ada dolar Taiwan.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia sepanjang tahun ini hingga Kamis kemarin.
![]() |
Sentimen pelaku pasar yang masih bagus berpeluang membuat rupiah menutup tahun ini dengan penguatan.
Sebelumnya, hasil studi di Afrika Selatan menunjukkan orang-orang yang terinfeksi Omicron, terutama yang sudah divaksin memiliki, akan memiliki imun yang lebih kuat dalam menghadapi varian Delta.
Terbaru, John Bell, profesor kedokteran di Universitas Oxford serta penasehat pemerintah Inggris menyatakan pemandangan horor gelombang Covid-19 sudah menjadi sejarah.
Saat berbicara di BBC Radio 4, Bell menganalisa data dari Inggris di mana penambahan kasus per hari mencapai rekor tertinggi, dan penerimaan pasein di rumah sakit berada di level tertinggi sejak bulan Maret. Tetapi, Bell mengatakan jumlah orang yang berada di ICU, khususnya yang sudah divaksinasi masih sangat, sangat rendah.
Kemudian dari Amerika Serikat, ahli penyakit menular Gedung Putih Anthony Fauci memperkirakan penyebaran Omicron di Negeri Paman Sam akan mencapai puncaknya pada akhir Januari.
Sebelumnya dalam konferensi pers Gedung Putih, Fauci juga mengatakan jika data yang ada saat ini menunjukkan Omicron tidak menimbulkan penyakit berat seperti varian Delta.
Selain itu Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus juga optimistis fase akut dari pandemi bisa berakhir di tahun ini.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Begini Peluang Rupiah di 2022
Peluang rupiah menguat hari ini memang cukup terbuka, begitu juga di tahun depan, meski tantangannya akan berat.
The Fed yang agresif menaikkan suku bunga membuat dolar AS masih menjadi favorit di tahun 2022.
Menurut hasil riset DBS Group Research, rupiah bisa melemah ke Rp 15.000/US$. Dari posisi akhir perdagangan Kamis kemarin, artinya akan ada pelemahan sekitar 5%.
Tetapi tidak menutup kemungkinan juga dolar AS malah melemah melawan rupiah. Sebab, harga komoditas di tahun depan diprediksi masih tetap tinggi, dan yield Surat Berharga Negara (SBN) yang masih atraktif.
Kenaikan harga komoditas di tahun ini membuat neraca dagang Indonesia mencetak surplus selama 19 bulan beruntun.
Surplus tersebut akan membantu transaksi berjalan (current account) Indonesia agar tidak mengalami defisit yang besar bahkan bisa mencatat surplus.
Defisit transaksi berjalan yang tidak besar atau jika bisa surplus akan memberikan dampak positif ke rupiah.
Bank ANZ memprediksi di akhir 2022, rupiah bakal semakin dekat dengan Rp 14.000/US$.
"Melihat 2022, harga komoditas masih akan kuat menopang ekspor. Tetapi, dengan perekonomian yang mulai berputar, impor akan tumbuh yang menyebabkan menurunnya surplus," kata analis ANZ sebagaimana dilansir FXStreet, Rabu (15/12).
Selain itu analis tersebut juga melihat virus Omicron bisa menentukan langkah rupiah.
"Jika Omicron menjadi lebih berbahaya, itu akan merusak sentimen dan aliran modal ke pasar obligasi Indonesia di saat The Fed mulai menormalisasi kebijakan moneternya. Namun, jika Omicron hanya menimbulkan gejala ringan dan The Fed melakukan normalisasi dengan teratur, maka rupiah akan lolos dari tekanan," katanya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Berikut Rilis Data Ekonomi dan Agenda Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Data inflasi Korea Selatan (pukul 7:00 WIB)
- Data PMI manufaktur dan non-manufaktur China (pukul 8:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY) | 3,51% |
Inflasi (November 2021, YoY) | 1,75% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2021) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | 5,82% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021) | 1,5% PDB |
Cadangan Devisa (November 2021) | US$ 145,9 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Pekan Penting! Pasar Finansial Bakal Guncang atau Terbang?