
Dear Investor, Ada Harapan Rebound Meski Pasar Bakal Volatil

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar modal dan pasar keuangan nasional mengakhiri sesi perdagangan Senin (20/12/2021) di bawah tekanan, meski penguatan masih terlihat di pasar obligasi. Hari ini, aksi pembelian di tengah koreksi berpeluang terjadi meski volatilitas masih tinggi.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup merosot 0,83% atau 54,8 poin ke 6.547,11 dengan nilai transaksi yang menurun menjadi Rp 11,6 triliun. Sebanyak 167 saham menguat, 390 saham melemah dan 120 lainnya stagnan.
Investor asing tercatat kembali melakukan aksi penjualan bersih (net sell) sebesar Rp 387 miliar di pasar reguler. Namun di pasar tunai dan negosiasi, asing tercatat melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 930 miliar.
Koreksi terjadi bersamaan dengan tren pelemahan di bursa saham utama Asia, di mana indeks Nikkei Jepang menjadi yang paling parah koreksinya, yakni mencapai 2% lebih, diikuti bursa Shenzen China yang anjlok 1,9%.
Pemicunya adalah pandemi. Meski pelaku pasar mendapati fakta bahwa varian terbaru virus Covid-19 yakni Omicron terbukti tidak memicu gejala parah, pemerintah negara maju justru bersikap reaktif dengan melakukan pembatasan wilayah (lockdown).
Penyebaran virus corona yang cepat membuat rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot, dan di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Melansir data dari situs resmi BI, kurs tengah atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) kemarin di level Rp 14.384/US$, atau melemah 0,29% jika dibandingkan posisi Jumat pekan lalu.
Di pasar spot, rupiah melemah tipis 0,07% di Rp 14.375/US$. Namun rupiah tidak sendirian, karena mayoritas mata uang utama Asia juga melemah melawan dolar AS. Hanya yen Jepang dan rupee India yang mampu menguat.
Di pasar surat utang, harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah yang mengindikasikan bahwa pelaku pasar tidak terlalu khawatir melihat situasi sekarang hingga harus memborong aset aman (safe haven) tersebut.
Mayoritas investor cenderung melepas SBN acuan, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield). Hanya SBN bertenor 1, 15, dan 20 tahun yang ramai diburu oleh investor, ditandai dengan turunnya yield pada hari ini.
Melansir data Refinitiv, yield SBN tenor 1 tahun turun signifikan sebesar 20,3 basis poin (bp) ke level 3,441%, sedangkan yield SBN berjatuh tempo 15 tahun melemah 0,2 bp ke 6,297%, dan yield SBN berjangka waktu 20 tahun turun 1,1 bp ke level 7,113%.
Sementara itu, yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara di pasar berbalik menguat 2,8 bp ke 6,44%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) terbanting pada penutupan perdagangan Senin (20/12/2021), menyusul lonjakan kasus Covid-19 di negara maju akibat transmisi varian terbaru yakni Omicron yang memicu pembatasan sosial (lockdown).
Indeks Dow Jones Industrial Average anjlok 433 poin (-1,23%) ke 34.932,16 terseret oleh erosi saham Boeing, Goldman Sachs dan American Express. Indeks S&P 500 terbanting 52,6 poin (-1,14%) ke 4.568,02 dan sepanjang 3 hari terakhir tergerus hingga 3%, terburuk sejak September.
Sementara itu, Nasdaq drop 188,74 poin (-1,24%) ke 14.980,94 meski Netflix melesat 1,2% karena spekulasi lockdown bakal memicu pendapatan penyedia layanan streaming ini.
Omicron terlacak sudah menyebar di 43 dari 50 negara bagian AS dan di 90 negara dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mencatat rasio penyebaran mencapai 1,5 kali dalam 3 hari terakhir.
"Ini merefleksikan peningkatan ketakpastian apakah lonjakan Omicron akan memicu penghentian aktivitas ekonomi secara luas, penambahan stimulus fiskal dari program 'Build Back Better' Presiden Biden," tutur Jim Paulsen, Kepala Perencana Investasi Leuthold Group, seperti dikutip CNBC International.
Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun-yang menjadi acuan pasar-anjlok ke bawah 1,4%. Artinya, harga sedang menguat karena diburu oeh pemodal yang kian resah melihat kenaikan risiko ekonomi terkait pandemi.
Saham siklikal yang dipengaruhi pembukaan ekonomi pun tertekan, seperti produsen pesawat Boeing yang sahamnya ditutup anjlok 2,2%. Sementara itu, saham maskapai Alaska Air Group dan Southwest Airlines anjlok masing-masing sebesar 1,4% dan 0,7%.
Saham energi juga anjlok, di mana ExxonMobil ambruk 1,5%. Demikian juga saham perbankan seperti Goldman Sachs dan Wells Fargo yang terpelanting 2% lebih diikuti JPMorgan dan Bank of America yang drop, masing-masing sebesar 1,8% dan 1,6%.
Di tengah kondisi demikian, Goldman Sachs memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi AS per kuartal I-2022 menjadi 2%, dari estimasi sebelumnya sebesar 3%. Pemangkasan proyeksi juga dilakukan untuk periode kuartal II-2021 dan kuartal III-2021.
"Dengan inflasi menurut proyeksi kami mencapai 7% dalam beberapa bulan sebelum turun kembali, kekhawatiran inflasi yang disampaikan Senator Manchin dan lainnya cenderung menetap an mempersulit jalur [ekonomi]," tulis ekonom Goldman Sachs Jan Hatzius seperti dikutip CNBC International.
Sepanjang pekan ini, indeks S&P 500 anjlok 1,9%, sementara Nasdaq ambruk hingga 3% setelah investor membuang saham dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sementara Dow Jones ambruk hingga 1,7%.
Meski demikian, sepanjang bulan berjalan S&P 500 masih terhitung menguat 1,2% pada Desember ini. Sementara itu, Dow Jones menguat 2,6% dan sebaliknya Nasdaq drop 2,4%. Sepanjang tahun berjalan, S&P 500 masih tercatat melesat 23%.
Sentimen pasar masih buruk, dibayangi oleh faktor pendemi yang kian parah dengan penyebaran varian Omicron, sementara secara politis sudah tidak ada harapan bahwa pemerintah Amerika Serikat (AS) bakal menggelontorkan stimulus untuk mengobati kecemasan pasar.
Senator Joe Manchin, yang menjadi kunci politik guna meloloskan paket investasi Presiden AS Joe Biden senilai US$ 1,75 triliun, menyatakan tidak akan mendukung paket tersebut. Goldman Sachs pun langsung memangkas proyeksi pertumbuhan AS. Indeks bursa saham pun berguuran.
Maka, buyarlah ekspektasi akan adanya suplai aset tambahan yang bakal penyerap likuiditas di pasar modal. Imbal hasil (yield) obligasi acuan pemerintah AS turun menjadi 1,4% yang mengindikasikan terjadi aksi beli.
Di tengah perkembangan buruk-lagi-lagi dari sisi politis-berupa pembatasan sosial (lockdown) yang marak diberlakukan di Eropa, pelaku pasar pun memiliki tambahan alasan untuk memburu surat utang pemerintah, dan mengurangi eksposur di aset riskan seperti saham.
Rerata kasus harian di New York pekan lalu dilaporkan melonjak dua kali lipat dengan rerata lebih dari 7.200 kasus per hari. Pada pekan sebelumnya, rerata harian kasus baru Covid-19 tercatat sebanyak 3.200.
Walikota New York Bill de Blasio mengatakan bahwa lonjakan kasus Omicron tersebut akan mencapai puncaknya dalam beberapa pekan ke depan. Dia menyatakan akan mewajibkan vaksinasi agar kekebalan kelompok terjadi dan penghentian ekonomi bisa dihindari.
Di sisi lain, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengumumkan pemangkasan yang lebih agresif atas pembelian obligasi di pasar. Mereka akan mengakhirinya Maret tahun depan, diiringi kenaikan suku bunga acuan sebanyak tiga kali.
Dikepung berbagai sentimen yang kurang menyenangkan bagi pemodal di bursa tersebut, ekspektasi akan adanya reli usai libur Natal hingga Tahun Baru, alias Santa Claus rally, berpeluang mengendur.
Namun di tengah tipisnya volume dan atau nilai transaksi, yang juga terjadi di bursa Indonesia, investor boleh bertaruh bahwa hari ini akan terjadi pembalikan arah secara teknis (technical rebound).
Bespoke Investment Group dalam laporan risetnya menyebutkan bahwa rerata pembalikan pada Selasa, setelah koreksi Senin sebesar 1%, adalah berkisar 0,9%. Hal ini terjadi dalam 309 hari perdagangan.
"Mentalitas pembelian di kala koreksi secara agresif telah terbukti menguntungkan dalam 1,5 tahun terakhir khususnya di saham yang harganya tumbuh tinggi, terhalangi oleh gelombang pembalikan stimulus yang kian menghilang," tutur Adam Crisafulli, pendiri Vital Knowledge, dalam laporan riset yang dikutip CNBC International.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- RUPST/RUPSLB PT Exploitasi Energi Indonesia Tbk (10:00 WIB)
- RUPSLB PT Modern Internasional Tbk (10:00 WIB)
- RUPSLB PT Semen Gresik Tbk (15:00 WIB)
- Neraca transaksi berjalan AS kuartal III-2021 (20:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY) | 3,51% |
Inflasi (November 2021, YoY) | 1,75% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2021) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | 5,82% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021) | 1,5% PDB |
Cadangan Devisa (November 2021) | US$ 145,9 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Omicron dan Skenario Berakhirnya Pandemi ala Spanish Flu