Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri kembali ditutup beragam pada perdagangan Rabu (15/12/2021) kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau menguat, sedangkan harga obligasi pemerintah RI cenderung melemah dan rupiah cenderung stagnan pada perdagangan kemarin.
IHSG ditutup menguat 0,16% ke level 6.626,257. Sepanjang perdagangan kemarin, indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut konsisten bergerak di zona hijau, meskipun pada perdagangan akhir penguatannya cenderung terpangkas.
Data perdagangan mencatat nilai transaksi indeks kemarin kembali naik menjadi Rp 12,8 triliun. Sebanyak 237 saham terapresiasi, 284 saham terdepresiasi, dan 153 lainnya stagnan. Investor Asing tercatat melakukan pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 179 miliar di pasar reguler.
Di kawasan Asia, pasar sahamnya secara mayoritas mengalami koreksi. Di mana indeks Hang Seng Hong Kong menjadi yang paling besar koreksinya kemarin.
Hanya indeks Nikkei Jepang, Kuala Lumpur Stock Exchange (KLSE) Malaysia, KOSPI Korea Selatan, Taiwan Capitalization Weighted Stock Index (TAIEX), dan tentunya IHSG yang bertahan di zona hijau pada perdagangan kemarin.
Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia pada perdagangan Rabu:
Sedangkan untuk rupiah pada perdagangan Rabu kemarin ditutup cenderung stagnan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI), kurs tengah atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) berada di Rp 14.337. Rupiah menguat tipis 0,08 % dibandingkan hari sebelumnya.
Sementara di pasar spot, US$ 1 setara dengan Rp 14.330 kala penutupan perdagangan. Sama persis dengan posisi penutupan Selasa lalu.
Sementara di Asia, mayoritas mata uang di kawasan tersebut terpantau kembali menguat dihadapan dolar AS pada perdagangan kemarin. Dolar Singapura menjadi yang paling besar penguatannya kemarin.
Hanya dolar Hong Kong, rupee India, yen Jepang, dan won Korea Selatan yang tak mampu melawan sang greenback pada perdagangan kemarin. Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Rabu:
Adapun untuk pergerakan harga mayoritas SBN pada perdagangan kemarin kembali ditutup melemah, ditandai dengan kembali menguatnya imbal hasil (yield) di mayoritas SBN acuan. Mayoritas investor di pasar obligasi pemerintah RI pun kembali melepas kepemilikannya kemarin.
Hanya SBN bertenor 3, 5, dan 15 tahun yang ramai diburu oleh investor, ditandai dengan melemahnya yield. Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 3 tahun turun sebesar 6,6 basis poin (bp) ke level 3,627%.
Sedangkan yield SBN berjatuh tempo 5 tahun melemah 1,6 bp ke level 4,852% dan yield SBN berjangka waktu 15 tahun juga turun 1 bp ke level 6,292. Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara kembali menguat 7 bp ke level 6,4% pada perdagangan kemarin.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan kemarin:
Sentimen yang menggerakkan IHSG pada perdagangan kemarin adalah kembali surplusnya neraca perdagangan RI pada November 2021.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor Indonesia naik hampir 49% secara tahunan (year-on-year/yoy), sedangkan impor naik hampir 60% (yoy). Di tengah kenaikan impor ke level tertinggi sepanjang sejarah, neraca dagang masih surplus sebesar US$ 3,51 miliar pada November 2021.
Tren surplus neraca dagang yang masih berlanjut seharusnya bisa menjadi tenaga untuk rupiah menguat atau setidaknya stabil. Stabilitas nilai tukar merupakan kunci penting dari investor terutama asing.
Dengan rupiah yang stabil, investor asing menjadi lebih tertarik pada aset-aset keuangan RI, sehingga dapat memicu inflow yang mendorong kenaikan harga aset seperti saham.
Terbukti bahwa kembali surplusnya neraca perdagangan RI pada bulan lalu membuat rupiah setidaknya bertahan di level yang sama pada Selasa lalu, meskipun bisa saja rupiah menguat.
Penahan laju rupiah pada perdagangan kemarin yakni sikap investor yang cenderung wait and see jelang pengumuman hasil rapat kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS).
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) berpotensi mempercepat proses pengurangan pembelian asetnya (quantitative easing/QE) atau tapering.
Proses tapering sudah mulai dilakukan oleh The Fed pada akhir November lalu. Artinya, hingga QE menjadi nol, diperlukan waktu selama 8 bulan atau perkiraannya akan berakhir pada Juni 2022.
Namun, jika The Fed benar-benar mempercepat tapering, maka hanya perlu waktu 4 sampai 5 bulan saja untuk menghabiskan nilai QE-nya menjadi nol.
Bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street berhasil ditutup rebound ke zona hijau dan juga berhasil melesat pada perdagangan Rabu (15/12/2021), karena pasar berhasil melewati salah satu ketidakpastian besar menjelang akhir tahun.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengisyaratkan pelepasan yang lebih agresif dari pembelian obligasi bulanannya, seperti yang diharapkan oleh pasar dan memperkirakan adanya kenaikan suku bunga secara bertahap pada tahun depan.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melesat 1,08% ke level 35.927,43, S&P 500 melonjak 1,63% ke posisi 4.709,84, dan Nasdaq Composite meroket 2,15% menjadi 15.565,58.
The Fed mengumumkan bahwa mereka akan tetap mengurangi pembelian asetnya (quantitative easing/QE) atau tapering pada kecepatan yang lebih cepat di tengah kenaikan inflasi yang berkelanjutan.
The Fed hanya akan membeli obligasi sebesar US$ 60 miliar per bulan mulai Januari 2022, turun dari tingkat Desember sebesar US$ 90 juta dan mengatakan bahwa kemungkinan akan melanjutkan skema tersebut di bulan-bulan mendatang.
Langkah itu dilakukan ketika bank sentral paling powerful di dunia tersebut sedang bergulat dengan tingkat inflasi tertinggi dalam hampir empat dekade terakhir. Dengan ini, maka The Fed diperkirakan akan mempercepat tapering-nya pada bulan ini.
Percepatan tapering dapat membuka ruang untuk kenaikan suku bunga pertama pada tahun depan. The Fed juga memberi isyarat bahwa anggotanya melihat ada potensi tiga kenaikan suku bunga pada tahun 2022.
"Sekarang saya telah melihat seberapa tinggi tingkat yang terjadi dan seberapa cepat itu akan terjadi. Ketidakpastian dihilangkan dari pasar. Dari perspektif ekuitas, sekarang mereka hanya perlu fokus pada pendapatan, margin, dan pertumbuhan," kata Jim Caron, chief strategist di tim global fixed income di Morgan Stanley Investment Management, dikutip dari CNBC International.
Saham sektor teknologi di AS pun kembali cerah setelah sekitar dua hari terakhir mengalami koreksi. Saham Apple melesat nyaris 3%, menopang indeks Nasdaq dan melanjutkan momentum saham baru-baru ini. Saham big tech lainnya seperti Microsoft dan Netflix juga bergerak lebih tinggi.
Saham defensive juga terpantau cerah, di mana saham sektor healthcare seperti saham UnitedHealth melonjak 3,1% dan saham Amgen melesat 2,6%.
Namun, saham sektor bank besar di AS cenderung terkoreksi setelah The Fed mengisyaratkan beberapa kenaikan suku bunga pada tahun depan.
Saham JPMorgan melemah 0,75% dan Bank of America terkoreksi 0,43%. Namun, beberapa saham bank regional, seperti saham Comerica, mengalami kenaikan moderat.
Sementara itu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (Treasury) bertenor 10 tahun kembali naik 1,9 basis poin (bp) ke level 1,458% pada pukul 16:48 sore waktu AS.
Di lain sisi, Ketua The Fed, Jerome Powell mengatakan dalam konferensi persnya pada Rabu siang waktu AS bahwa pasar tenaga kerja AS belum sepenuhnya pulih, di mana angka partisipasi angkatan kerja masih cenderung melambat. Tetapi Powell mengatakan bahwa The Fed masih tepat untuk memutar kembali beberapa kebijakan era pandemi.
"Kami tidak akan kembali ke ekonomi yang sama seperti yang kami alami pada Februari 2020. ... Pasar tenaga kerja dan ekonomi pascapandemi secara umum, dan tingkat pekerjaan maksimum yang konsisten dengan stabilitas harga berkembang dari waktu ke waktu," kata Powell.
Di tengah perhatian pelaku pasar yang tertuju pada pertemuan The Fed, kabar kurang baik datang dari seputaran virus corona (Covid-19) varian Omicron.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) pada Selasa (14/12/2021) lalu kembali memperingatkan bahwa varian Omicron cenderung menyebar lebih cepat daripada varian-varian sebelumnya dan mungkin sudah ada di seluruh negara.
Kabar positif muncul dari sisi politik, di mana Kongres yang dikuasai partai Demokrat meloloskan undang-undang kenaikan batasan utang, sehingga Presiden AS Joe Biden tinggal menyetujuinya tatkala pemerintah AS menghadapi anggaran yang ketat.
Pada hari ini, pelaku pasar di dalam negeri perlu mencermati beberapa sentimen, di mana sentimen pertama yakni rebound-nya bursa saham AS pada perdagangan kemarin.
Bursa saham AS yang berhasil rebound dan ditutup melesat didorong oleh sikap investor yang cenderung lebih lega terkait kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) kedepannya.
The Fed mengisyaratkan pelepasan yang lebih agresif dari pembelian obligasi bulanannya, seperti yang diharapkan oleh pasar dan memperkirakan adanya kenaikan suku bunga secara bertahap pada tahun depan.
The Fed mengumumkan bahwa mereka akan tetap mengurangi pembelian asetnya (quantitative easing/QE) atau tapering pada kecepatan yang lebih cepat di tengah kenaikan inflasi yang berkelanjutan.
The Fed hanya akan membeli obligasi sebesar US$ 60 miliar per bulan mulai Januari 2022, turun dari tingkat Desember sebesar US$ 90 juta dan mengatakan bahwa kemungkinan akan melanjutkan skema tersebut di bulan-bulan mendatang.
Langkah itu dilakukan ketika bank sentral paling powerful di dunia tersebut sedang bergulat dengan tingkat inflasi tertinggi dalam hampir empat dekade terakhir. Dengan ini, maka The Fed diperkirakan akan mempercepat tapering-nya pada bulan ini.
Percepatan tapering dapat membuka ruang untuk kenaikan suku bunga pertama pada tahun depan. The Fed juga memberi isyarat bahwa anggotanya melihat ada potensi tiga kenaikan suku bunga pada tahun 2022.
Meskipun sikap The Fed kedepannya lebih agresif atau dapat dikatakan hawkish, tetapi The Fed masih akan cenderung melunak sedikit karena pasar tenaga kerja AS belum sepenuhnya pulih. Angka partisipasi angkatan kerja di AS masih cenderung melambat.
Selain itu, pasar juga perlu mencermati dari pernyataan WHO terkait varian Omicron Covid-19. Pada Selasa (14/12/2021) lalu, WHO memperingatkan bahwa varian Omicron cenderung menyebar lebih cepat daripada varian-varian sebelumnya dan mungkin sudah ada di seluruh negara.
Dari rilis data dan agenda ekonomi, selain The Fed, beberapa bank sentral di beberapa negara juga akan merilis kebijakan suku bunga acuan terbarunya dan juga diikuti oleh kebijakan moneter pada bulan ini hingga kedepannya.
Adapun bank sentral yang akan mengumumkan kebijakan moneter dan keputusan suku bunga acuan terbarunya yakni bank sentral Inggris (Bank of England/BoE), bank sentral Eropa (Europe Central Bank/ECB), dan Bank Indonesia (BI).
Dari Inggris, BoE diperkirakan akan tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level 0,1%. Sedangkan di Eropa, ECB juga diperkirakan tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level 0%.
Sedangkan di Indonesia, BI diperkirakan akan kembali mempertahankan suku bunga acuannya. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan MH Thamrin tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5%. Dari 10 institusi yang terlibat, semuanya sepakat bulat.
Selain rilis keputusan suku bunga dan kebijakan moneter beberapa bank sentral, rilis data ekonomi pada periode November-Desember pun berlanjut pada hari ini.
Di kawasan Asia-Pasifik, data ekonomi yang akan dirilis pada hari ini yakni data final dan flash reading PMI manufaktur dan jasa Australia periode Desember 2021, data tingkat pengangguran Australia periode November 2021, data neraca perdagangan dan ekspor-impor Jepang periode November 2021, dan data flash reading PMI manufaktur-jasa Jepang periode Desember 2021.
Sedangkan di kawasan Eropa, data ekonomi yang akan dirilis pada hari ini yakni data flash reading PMI manufaktur dan jasa Zona Euro dan Inggris.
Adapun di AS, data ekonomi yang akan dirilis adalah data klaim pengangguran periode pekan yang berakhir 12 Desember 2021, data produksi industrial periode November 2021, dan data flash reading PMI manufaktur dan jasa periode Desember 2021.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Keputusan tingkat suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The Fed) (02:00 WIB),
- Proyeksi ekonomi FOMC (02:00 WIB),
- Proyeksi kenaikan suku bunga The Fed (02:00 WIB),
- Keterangan Pers The Fed (02:30 WIB),
- Rilis data Final PMI manufaktur Markit Australia periode Desember 2021 (05:00 WIB),
- Rilis data flash reading PMI jasa Markit Australia periode Desember 2021 (05:00 WIB),
- Rilis data neraca perdagangan dan ekspor-impor Jepang periode November 2021 (06:50 WIB),
- Rilis data inflasi konsumen harapan Australia periode Desember 2021 (07:00 WIB),
- Rilis data tingkat pengangguran Australia periode November 2021 (07:30 WIB),
- Rilis data flash reading PMI manufaktur dan jasa Jibun Bank (Markit) Jepang periode Desember 2021 (07:30 WIB),
- Keputusan tingkat suku bunga Bank Indonesia (14:30 WIB),
- Rilis data flash reading PMI manufaktur dan jasa Markit Zona Euro periode Desember 2021 (16:00 WIB),
- Rilis data flash reading PMI manufaktur dan jasa Markit Inggris periode Desember 2021 (16:30 WIB).
- Rilis data neraca perdagangan Zona Euro periode Oktober 2021 (17:00 WIB),
- Kebijakan moneter dan keputusan suku bunga bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) (19:00 WIB),
- Kebijakan moneter dan keputusan suku bunga bank sentral Eropa (Europe Central Bank/ECB) (19:45 WIB),
- Rilis data klaim pengangguran Amerika Serikat periode pekan 12 Desember 2021 (20:30 WIB),
- Rilis data produksi industrial Amerika Serikat periode November 2021 (21:15 WIB),
- Rilis data flash reading PMI manufaktur dan jasa Markit Amerika Serikat periode Desember 2021 (21:45 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY) | 3,51% |
Inflasi (November 2021, YoY) | 1,75% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (November 2021) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | 5,82% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021) | 1,5% PDB |
Cadangan Devisa (November 2021) | US$ 145,9 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA