Newsletter

Batu Bara dkk Manggung Lagi, Siap Ceriakan Pasar Keuangan RI?

Putra, CNBC Indonesia
24 November 2021 06:14
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG, Senin (22/11/2021)

Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir-akhir ini sulit rasanya bagi aset-aset keuangan domestik untuk kompak menguat. Kemarin (23/11/2021) pasar ditutup dengan variatif di mana harga saham dan nilai tukar rupiah melemah sementara harga obligasi pemerintah justru naik.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menjadi indikator saham-saham RI ambles 0,68%. Indeks terlempar dari level psikologis 6.700 ke 6.677,87.

Sejatinya di awal pekan, IHSG sudah menguat. Meskipun tipis, apresiasi 0,05% mampu mengantarkan IHSG ke level tertinggi sepanjang masanya.

Setelah harga suatu aset mencetak rekor baru, seperti biasa momentum tersebut dimanfaatkan oleh investor maupun trader untuk merealisasikan keuntungannya alias profit taking. Aksi jual investor tersebut kemudian membuat harga aset jatuh.

Di pasar reguler, asing membukukan net sell sebesar Rp 142,23 miliar. IHSG harus rela terbenam di zona merah seharian kemarin.

Senasib dengan harga saham, nilai tukar rupiah juga mencatatkan depresiasi di hadapan greenback. Namun pelemahannya tak terlalu besar.

Di pasar spot rupiah dihargai Rp 14.255/US$ atau melemah 0,07% terhadap dolar AS. Sementara itu di kurs tengah Bank Indonesia (BI), mata uang RI terdepresiasi 0,12% terhadap dolar AS dan mengakhiri perdagangan di level Rp 14.272/US$.

Dolar Paman Sam memang sedang perkasa. Hal ini tercermin dari indeks dolar AS yang naik 0,68% dalam kurun waktu 5 hari terakhir. Penguatan dolar AS tentu saja memakan tumbal. Salah satunya adalah rupiah. Bahkan mata uang Asia juga tak luput jadi korban.

Di saat IHSG ambrol dan rupiah melemah, harga obligasi pemerintah RI yang berdenominasi rupiah (SBN) justru mengalami kenaikan. Apresiasi harga terlihat dari imbal hasil (yield) yang mengalami penurunan.

Yield SBN acuan tenor 10 tahun yakni FR0087 turun 1,2 basis poin (bps) ke level 6,18%. Yield tenor pendek cenderung mendominasi penurunan kemarin.

Selain faktor inflasi yang bisa membuat bank sentral global terutama The Fed menjadi lebih beringas dalam menaikkan suku bunga tahun depan, investor juga mencermati perkembangan dari bursa Ketua bank sentral AS.

Presiden AS ke-46 yaitu Joe Biden kembali menominasikan Jerome Powell yang sekarang menjadi nakhoda bank sentral paling sakti di muka bumi tersebut untuk periode kedua. Namun untuk tetap berada di tampuk kepemimpinan tertinggi The Fed, Jay Powell harus mendapat restu dari Senat AS yang sekarang sedang terbelah pandangannya.

Maklum Powell punya afiliasi dengan Partai Republik. Sedangkan jajaran legislatif Paman Sam kini didominasi oleh Partai Demokrat.

Dari dalam negeri BI melaporkan bahwa uang beredar (M2) masih tumbuh positif dengan laju 10,4% year on year (yoy) pada Oktober 2021. Laju pertumbuhan uang beredar tersebut masih lebih tinggi dari bulan September 2021 yang hanya 8,2% yoy.

Halaman 2>>>

Berlalu ke negara Paman Sam dengan yang pasar keuanganya, Wall Street masih menjadi acuan global. Harga saham di Bursa New York kembali ditutup tak kompak. Indeks S&P 500 dan Dow Jones sukses naik masing-masing 0,17% dan 0,55% dini hari tadi.

Namun indeks Nasdaq Composite yang didominasi oleh konstituen saham teknologi lagi-lagi membukukan koreksi. Indeks tersebut tercatat ambles 0,5%.

Jatuhnya harga saham-saham teknologi AS tersebut merespons adanya kenaikan yield obligasi pemerintah AS. Untuk obligasi pemerintah Paman Sam tenor 10 dan 30 tahun yield-nya masing-masing menguat 5,4 bps.

Kenaikan yield ini seringkali dilihat sebagai risiko tersendiri bagi saham-saham teknologi yang cenderung berorientasi pada pertumbuhan dan sangat sensitif dengan pergerakan suku bunga.

Di tambah lagi semakin banyak pelaku pasar yang bertaruh bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 3x tahun depan.

Jika masing-masing kenaikannya sebesar 25 bps maka total kenaikan suku bunga acuan menjadi 75 bps. Eskpektasi pasar tersebut terbilang sangat agresif jika dibandingkan dengan perkiraan pasar beberapa bulan lalu yang memproyeksikan The Fed hanya punya ruang 1x kenaikan suku bunga sebesar 25 bps.

Inflasi di AS yang tinggi memang menjadi momok bagi semua pelaku ekonomi. Bagi pemangku kebijakan, inflasi yang tinggi akan menghambat tercapainya tujuan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Bagi masyarakat umum dan konsumen, tingginya inflasi akan mencekik daya beli. Sedangkan bagi investor dan pebisnis kenaikan inflasi yang tinggi dan berlangsung lama akan berakibat pada penurunan marjin laba.

Namun sebenarnya Eropa memberikan kabar yang cukup baik kemarin. Indeks PMI manufaktur ekonomi Zona Euro yang size-nya besar masih ekspansif atau di atas ambang 50 poin.

Bahkan pada pembacaan awal bulan November 2021, indeks PMI manufaktur Benua Biru dilaporkan berada di level 58,6 atau 0,3 poin lebih tinggi dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Jelang perayaan Thankgiving yang jatuh pada Kamis pekan ini (25/11), investor juga disibukkan dengan berbagai rilis data ekonomi.

Setidaknya pada hari Rabu (waktu AS) pasar akan diwarnai dengan berbagai rilis data ekonomi mulai dari klaim tunjangan pengangguran mingguan, update pembacaan kedua PDB AS yang kedua hingga sentimen konsumen.

Halaman 3>>

Volatilitas yang tinggi di pasar diperkirakan masih akan berlanjut. Sekali lagi Wall Street tak bisa banyak diharapkan untuk perdagangan hari ini karena kinerjanya yang cenderung variatif.

Investor pun bakal ambil sikap wait and see dalam jangka waktu dekat karena harus mencerna perkembangan terbaru mulai dari inflasi hingga kenaikan kasus Covid-19 di Eropa yang diikuti dengan pengetatan mobilitas di beberapa negara.

Faktor lain yang juga perlu diperhatikan adalah tren pergerakan dolar AS. Di sepanjang paruh kedua tahun 2021, indeks dolar AS cenderung uptrend. Ditambah isu kenaikan suku bunga ruang penguatan dolar AS masih terbuka.

Bagi rupiah, penguatan dolar AS bukan kabar bagus. Apalagi jika ditambah dengan aliran modal asing outflow dari aset-aset portofolio investasi yang sifatnya temporer seperti saham dan obligasi.

Beralih ke pasar komoditas, harga minyak mentah dan batu bara berhasil rebound. Harga kontrak minyak mentah jenis Brent ditutup menguat 3,27% kemarin dan kembali tembus ke atas level US$ 80/barel.

Setelah memulai fase downtrend sejak awal Oktober 2021, bulan November tampaknya menjadi momen balas dendam bagi komoditas batu bara.

Dalam sepekan terakhir harga batu bara sukses mencatatkan apresiasi sebesar 16,45%. Kemarin harga batu bara acuan global Newcastle ditutup di level US$ 177/ton untuk kontrak yang berakhir Desember tahun ini pasca menguat lebih dari 4% dalam sehari.

Tren kenaikan harga batu bara global juga direspons positif oleh pasar. Kemarin, mayoritas emiten tambang batu bara RI cenderung menguat. Untuk perdagangan hari ini, investor masih perlu mencermati pergerakan harga saham batu bara domestik.

Kemudian di aset kripto, harga Bitcoin terpantau masih sulit tembus kembali ke level US$ 60.000. Di saat aset digital yang relatif baru ini dimusuhi oleh regulator, El Salvador justru malah mengambil tindakan berlawanan.

Setelah pada September lalu El Salvador memutuskan bahwa Bitcoin adalah salah satu mata uang yang sah, kini manuver lain dilakukan oleh sang Presiden Nayib Bukele. Pria berusia 40 tahun tersebut berencana untuk membangun Kota Bitcoin dan menerbitkan obligasi Bitcoin yang tujuannya adalah untuk mining.

Perihal kontroversi tersebut, Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan negara di Amerika Tengah tersebut tentang risiko volatilitas yang besar dari Bitcoin dan mata uang kripto lainnya sehingga kurang pas rasanya dijadikan sebagai mata uang.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Rilis data pembacaan awal PMI manufaktur, jasa dan komposit Jepang bulan November 2021 (07.30 WIB)
  • Rilis data Indeks Keyakinan Bisnis Prancis bulan bulan November 2021 (14.45 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY)

3,51 %

Inflasi (Oktober 2021, YoY)

1,66%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2021)

3,50%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021)

-5,82% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021)

1,50% PDB

Cadangan Devisa (Oktober 2021)

US$ 145,5 miliar

 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular