Kegalauan Masih Terasa di Pasar, Mampukah IHSG Rekor Lagi?
Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja aset keuangan Tanah Air cenderung tak kompak pada perdagangan awal pekan ini. Senin (22/11/2021), indeks saham ditutup menguat tipis, imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) variatif dan rupiah melemah tipis melawan dolar AS.
Setelah mengalami pergerakan yang cukup volatile, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhirnya berhasil finish di zona hijau dengan penguatan 0,05% di level 6.723,39 yang merupakan level penutupan tertinggi sepanjang sejarah baru. Salah satu yang menyita perhatian pelaku pasar adalah debut saham anak usaha BUMN telekomunikasi yaitu PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) yang mengecewakan.
Setelah berhasil menghimpun dana lebih dari Rp 18 triliun melalui mekanisme penawaran perdana saham (IPO), harga saham MTEL malah anjlok 4,38% setelah diobral asing nyaris Rp 300 miliar. Saham induk usaha MTEL yaitu PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) juga ikut ambles 2,56%.
Setali tiga uang, saham TLKM juga dilepas asing dengan nilai besar hampir Rp 100 miliar kemarin. Untuk kasus TLKM harap dimaklumi karena pekan lalu saham holding telekomunikasi ini naik signifikan hingga 7,44% sebelum MTEL listing.
Koreksi saham TLKM merupakan cerminan bahwa investor mulai cash out. Ini merealisasikan keuntungan dari kenaikan harga yang tinggi dalam waktu singkat.
Bagaimanapun juga kenaikan IHSG walau tipis patut disyukuri, mengingat indeks terbenam di zona merah di sepanjang perdagangan dan baru diangkat satu jam terakhir sebelum lonceng penutupan perdagangan berbunyi.
Beralih ke pasar obligasi pemerintah, harga aset pendapatan tetap berisiko rendah ini cenderung bervariasi. Yield SBN untuk tenor 1, 5, 20 dan 25 tahun cenderung melemah yang mengindikasikan adanya kenaikan harga.
Yield tenor pendek yaitu 1 dan 5 tahun melemah paling signifikan dengan penurunan yield masing-masing 3,1 basis poin (bps) dan 4,7 bps. Sedangkan untuk SBN acuan tenor 15 tahun, yield-nya cenderung stagnan.
Sedangkan yield SBN untuk tenor 3, 10, 20 dan 30 tahun cenderung mengalami kenaikan. Kenaikan yield tertinggi dialami oleh SBN acuan tenor 3 tahun yang naik 12,4 bps. Sedangkan untuk yield SBN tenor 10 tahun naik 1,3 bps menjadi 6,19%.
Nasib kurang mujur justru dialami rupiah. Mata uang Tanah Air tersebut harus berakhir melemah 0,07% di hadapan greenback. Di pasar spot rupiah dihargai Rp 14.245/US$ di akhir perdagangan. Namun pelemahan rupiah masih terbilang kecil.
Pergerakan rupiah juga tak jauh-jauh dari level Rp 14.200/US$ hingga Rp 14.300/US$. Pengaruh faktor fundamental masih menjadi penjaga bagi rupiah. Surplus neraca dagang yang tinggi membuat transaksi berjalan RI mencatatkan surplus US$ 4,5 miliar atau setara dengan 1,5% PDB.
Selama ini yang menjadi momok bagi kestabilan rupiah adalah transaksi berjalan yang defisit (CAD). Tidak hanya defisit, CAD juga cenderung besar sehingga membuat rupiah cenderung terdepresiasi.
Halaman 2>>
(trp)