
Kegalauan Masih Terasa di Pasar, Mampukah IHSG Rekor Lagi?

Tidak kompaknya Wall Street yang tercermin dari pergerakan indeks yang variatif bisa menjadi katalis negatif untuk bursa saham Asia, termasuk Indonesia tentunya.
Namun selain perlu mencermati kinerja Bursa Saham New York, investor juga patut untuk mencermati berbagai sentimen lainnya.
Sentimen eksternal yang masih patut diperhatikan adalah perkembangan Covid-19 di Eropa. Peningkatan signifikan kasus harian infeksi Covid-19 di Benua Biru yang dibarengi dengan lockdown nasional di Austria membuat harga minyak mentah ambrol.
Baik kontrak minyak mentah jenis Brent dan West Texas Intermediate (WTI), keduanya ambrol dan turun ke bawah level psikologis US$ 80/barel.
Harga minyak mentah memang bangkit. Namun tekanan akibat kenaikan kasus Covid-19 masih membayangi. Hal ini terlihat dari harga minyak yang masih di bawah US$ 80/barel.
Perlu diketahui, minyak mentah merupakan input utama bagi perekonomian dan masuk ke dalam kategori aset berisiko. Pergerakan harga minyak cenderung berkorelasi positif dengan harga aset berisiko lain seperti saham. Penguatan harga minyak mentah dunia membuka ruang harga saham untuk menguat.
Namun di sisi lain harga minyak mentah yang terus naik bisa membuat inflasi semakin tinggi dan tak terkendali yang berujung menjadi risiko untuk aset-aset keuangan lain. Ini yang patut diwaspadai investor untuk jangka menengah.
Dari dalam negeri, rilis data makroekonomi berupa jumlah uang beredar (M2) dan aksi korporasi bakal mewarnai perdagangan. Selama ini, likuiditas di perekonomian cenderung berlimpah. Namun tekanan inflasi masih rendah sehingga turut menjadi sentimen positif untuk aset keuangan dalam negeri.
Berlanjutnya tren pasokan uang beredar yang tumbuh positif bisa menjadi katalis positif lain jika inflasi belum benar-benar pulih.
Kemudian soal aksi korporasi, jelang akhir tahun banyak perusahaan yang justru mengantre untuk menjadi perusahaan publik. Setidaknya ada 14 perusahaan yang berada di tahap bookbuilding (12) dan penawaran umum (2).
Jika mengacu pada data e-ipo bursa, maka target dana yang diraup oleh 14 perusahaan yang menjajaki IPO tersebut mencapai Rp 11 triliun hingga Rp 14 triliun. Tentu saja bukan nominal yang kecil. Apalagi jika melihat kasus MTEL yang sudah menyedot likuiditas di pasar sebesar Rp 18 triliun.
Artinya investor perlu benar-benar mempertimbangkan apakah likuiditas di pasar tersebut mencukupi untuk memfasilitas IPO jumbo perusahaan-perusahaan yang ingin menyandang status 'Tbk' tersebut.
Apalagi jika melihat tahun depan bakal ramai raksasa teknologi yang didominasi oleh startup unicorn dan decacorn seperti GoTo, Traveloka, SiCepat dan lainnya yang sudah mengantre untuk IPO.
Daya serap pasar yang menurun akan meningkatkan risiko bagi investor yang memburu saham-saham IPO dan berorientasi jangka pendek. Oleh sebab itu investor perlu memilah-milah mana perusahaan yang bakal dibeli lewat skema penawaran perdana.
Halaman 4>>
(trp)