Polling CNBC Indonesia

Bulan Depan Ada yang Bikin Geger Dunia! RI Harus Apa?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 October 2021 11:40
Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan tetap mempertahankan suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Oktober 2021. Harap maklum, Indonesia harus bersiap sekuat tenaga karena bulan depan ada peristiwa yang bisa mengguncang dunia.

RDG BI bulan ini berlangsung pada 18-19 Oktober 2021. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate bertahan di 3,5%.

Seluruh institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus sepakat bulat, tidak ada dissenting opinion.

Kali terakhir Gubernur Perry Warijyo dan kolega 'mengutak-atik' suku bunga acuan adalah pada Februari 2021. Kala itu, BI 7 Day Reverse Repo Rate dipangkas 25 basis poin (bps) menjadi 3,5%. Selepas itu, suku bunga acuan tidak lagi 'dimainkan'.

Kalau melihat dat terkini, sejatinya ekonomi Tanah Air masih membutuhkan 'rangsangan' dari berbagai sisi, termasuk kebijakan moneter. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada kuartal III-2021 selalu di bawah 50, yang menandakan masyarakat kurang percaya diri dalam menghadapi perekonomian saat ini hingga beberapa bulan mendatang.

Penjualan ritel juga selalu tumbuh negatif alias terkontraksi. IKK dan kontraksi penjualan ritel menjadi sinyal bahwa konsumsi rumah tangga masih lemah. Padahal konsumsi rumah tangga adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).

Kelesuan konsumsi rumah tangga ini bisa dibangkitkan dengan berbagai cara, salah satunya adalah suku bunga murah. Saat suku bunga rendah, diharapkan dunia usaha dan rumah tangga mau mengakses kredit perbankan untuk melakukan ekspansi. Nah, ekspansi ini yang nantinya bakal mengatrol pertumbuhan ekonomi.

Halaman Selanjutnya --> Indonesia Harus Tetap 'Seksi'

Namun, sepertinya BI punya pertimbangan lain. Kalau suku bunga acuan diturunkan, yang (semoga) membuat bunga kredit di perbankan ikut turun, maka ada risiko besar yang menyertainya.

Pasar 'meramal' bahwa bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed akan memulai pengurangan stimulus pada November 2021 alias bulan depan. Pengurangan itu adalah dengan menurunkan 'dosis' pembelian surat berharga (quantitative easing) yang sekarang bernilai US$ 120 miliar per bulan. Pengurangan quantitative easing ini yang akrab disebut tapering off.

So, kemungkinan besar mulai bulan depan pasokan dolar AS tidak akan sebanyak sekarang. Seperti barang, pasokan yang berkurang akan membuat 'harga' dolar AS makin mahal.

Mandat utama BI yang diatur dalam Undang-undang (UU) adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Kalau dolar AS 'kesurupan' gara-gara tapering, maka stabilitas rupiah sangat mungkin terancam.

Demi menjaga stabilitas rupiah, Indonesia butuh arus modal masuk atawa capital inflow. Bagaimana caranya agar aliran modal ini bisa terus datang?

Salah satunya adalah suku bunga. Apabila suku bunga rendah, maka imbalan investasi di aset-aset berbasis rupiah jadi ikut turun. Arus modal mampet, rupiah ikut seret.

Jadi, sangat wajar BI belum bisa menaikkan atau menurunkan suku bunga acuan. Diturunkan susah, karena nasib rupiah terancam. Dinaikkan juga belum saatnya, karena perekonomian domestik belum pulih betul dari hantaman pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Opsi yang paling mungkin adalah, ya ditahan saja...

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular