
Rupiah Makin Dekati Rp 14.000/US$, Awas Jangan Jumawa!

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah kembali menunjukkan kinerja impresif melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada awal perdagangan Jumat (15/10), hingga semakin mendekati Rp 14.000/US$. Dolar AS memang sedang terpuruk 2 hari terakhir, tetapi ada analis yang melihat pergerakan tersebut hanya koreksi semata.
Melansir data Refitiv, begitu perdagangan dibuka, rupiah menguat 0,32% ke Rp 14.070/US$, melewati level terkuat kemarin Rp 14.085/US$. Apreasiasi rupiah makin besar hingga ke Rp 14.050/US$ atau 0,46%, level tersebut menjadi yang terkuat sejak 24 Februari lalu.
Sayangnya, level tersebut juga menjadi yang terkuat pagi ini, rupiah setelahnya mengendur berada di Rp 14.180/US$ atau menguat 0,27% pada pukul 10:10 WIB.
Indeks dolar AS dalam 2 hari terakhir terpuruk setelah mencapai level tertinggi satu tahun. Hal tersebut membuat rupiah mulus menguat. Kemarin indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini melemah 0,13%, sementara Rabu lalu ambrol 0,46%.
Shaun Osborne, kepala ahli strategi mata uang di Scotia Capital mengatakan pelemahan dolar AS tersebut sebagai aksi profit taking.
"Saya pikir apa yang kita lihat dalam 2 hari terakhir adalah profit taking. Untuk saat ini saya tidak melihat sesuatu yang signifikan yang bisa merubah tren dolar AS," kata Osborne sebagaimana dilansir CNBC International.
Faktor-faktor yang mendukung penguatan dolar AS memang masih ada. Tapering misalnya, bank sentral AS (The Fed) memproyeksikan di tahun ini.
Dalam rilis notula rapat kebijakan moneter edisi September dini hari tadi, menunjukkan jika The Fed bisa mulai melakukan tapering pada pertengahan bulan November. Dalam notula tersebut, The Fed juga mengindikasikan akan mengurangi QE sebesar US$ 15 miliar per bulan sesuai dengan prediksi pasar. Rinciannya US$ 10 miliar Treasury dan US$ 5 miliar efek beragun aset.
The Fed menargetkan proses tapering akan selesai pada pertengahan tahun depan. The Fed akan mengadakan rapat kebijakan moneter pada 2 dan 3 November mendatang, dan kemungkinan besar akan mengumumkan tapering.
Presiden The Fed wilayah St. Louis James Bullard, menyatakan The Fed bisa agresif dalam melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE).
Pasar memperkirakan The Fed akan mengumumkan tapering di bulan depan, dan eksekusi pertama dilakukan pada bulan Desember. Sehingga jika tapering pertama dilakukan pada pertengahan November, The Fed artinya lebih agresif.
Dengan nilai QE saat ini sebesar US$ 120 miliar per bulan (US$ 80 miliar Treasury dan US$ 40 miliar efek beragun aset), dan The Fed diperkirakan akan menguranginya sebesar US$ 15 miliar per bulan, sehingga butuh waktu 8 bulan untuk menyelesaikannya.
Tetapi Bullard mengatakan ia mendukung program tersebut selesai di kuartal I-2022.
"Saya sudah menganjurkan untuk menyelesaikan proses tapering di akhir kuartal pertama tahun depan, karena saya ingin berada di posisi untuk bereaksi jika inflasi terus meninggi" kata Bullard kepada CNBC International Selasa (12/10).
Reaksi yang dimaksud adalah menaikkan suku bunga, yang seharusnya bisa mendongkrak dolar lebih lanjut. Tetapi, dengan kenaikan suku bunga, ada risiko perekonomian AS akan mengalami pelambatan jika pasar tenaga kerjanya melemah.
Hal tersebut yang memicu pelemahan dolar AS dua hari terakhir, sebab data tenaga kerja yang dirilis pekan lalu terbilang mengecewakan, dan dikhawatirkan akan terus melemah jika dukungan moneter berkurang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
