Krisis Energi Mengintai, Kapan Dunia Bisa Tenang Bung?
Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar buruk seakan tidak ada hentinya menerpa pasar finansial global yang berdampak ke Indonesia. Pandemi penyakit virus corona (Covid-19), kasus gagal bayar Evergrande Group, kemudian plafon utang Amerika Serikat (AS), dan yang terbaru pertumbuhan ekonomi China.
Alhasil, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah merah, sementara pasar obligasi bervariasi.
Untuk perdagangan hari ini, Rabu (29/9), tekanan bagi pasar keuangan dalam negeri masih akan berlanjut, sebab kabar buruk terus bertambah. Yield obligasi AS (Treasury) yang terus menanjak, kemudian ditambah lagi krisis energi di Barat yang bisa berdampak secara global. Kabar buruk tersebut akan dibahas pada halaman 3 dan 4.
Kembali lagi ke pergerakan pasar kemarin, IHSG di awal perdagangan sempat menguat, dan bolak balik ke zona merah sepanjang sesi I. Tetapi begitu masuk sesi II, IHSG tidak bisa lagi keluar dari zona merah, hingga akhir perdagangan melemah 0,15% ke 6.113,112.
Meski melemah, investor asing masih melakukan aksi beli bersih sebesar Rp 191 miliar.
Jika IHSG sempat menguat, rupiah tanpa perlawanan melemah di hadapan dolar AS. Sejak awal perdagangan rupiah sudah masuk ke zona merah.
Sempat melemah 0,18% ke Rp 14.275/US$, yang merupakan Level tersebut merupakan yang terelemah sejak 2 September lalu, di akhir perdagangan rupiah berada di Rp 14.270/US$, melemah 0,14% di pasar spot.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi China yang dipangkas memberikan sentimen negatif ke mata uang Asia. Ekonom dari Goldman Sachs memangkas proyeksi produk domestik bruto (PDB) China di tahun ini menjadi 7,8% dari sebelumnya 8,4%. Pemangkasan tersebut cukup tajam, sebab China dikatakan akan menghadapi tantangan dari pembatasan konsumsi energi.
"Kendala pertumbuhan yang relatif baru berasal dari peningkatan regulasi untuk target konsumsi dan intensitas energi yang ramah lingkungan," kata ekonom Goldman Sachs dalam sebuah laporan yang dikutip CNBC International.
Presiden China, XI Jinping pada September tahun lalu mengumumkan China akan mencapai puncak emisi karbon pada 2030 dan menjadi bebas karbon pada 2060.
Kebijakan tersebut membuat beberapa perusahaan nasional dan daerah mengurangi produksi batu bara dan proses yang menghasilkan karbon tinggi.
Selain itu, yield obligasi AS (Treasury) yang terus menanjak juga membuat dolar AS kuat. Kenaikan yield tersebut juga membuat pasar obligasi Indonesia goyang. Harga Surat Berharga Negara (SBN) mayoritas mengalami pelemahan, terlihat dari imbal hasil (yield) yang naik.
Hanya yield SBN tenor 1 dan 3 tahun yang mengalami penurunan.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika harga naik yield akan turun, begitu juga sebaliknya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Treasury Bikin Wall Street Babak Belur
(pap/pap)